Maira terduduk di tepi tempat tidurnya. Matanya terus memperhatikan Aulia yang tengah bercermin memakai hijab dan juga cadarnya.
"Maira, ada apa?" ucap Aulia saat menyadari Maira memperhatikannya.
Maira dengan cepat menggeleng pelan lalu tersenyum. "Kamu terlihat cantik dengan hijab itu, Lia, sangat menawan sekali."
"Iyakah? Aku rasa hijab ini juga akan membuatmu lebih cantik dariku, Ra."
"Aku tidak akan pantas memakainya," ucap Maira memelan.
"Kenapa?" Sekarang Aulia menoleh. Duduk disebelah Maira yang menunduk.
"Kamu tidak tau aku yang sebenarnya, Lia, jika tau pun, aku yakin kamu akan menjauh, dan kak Faza juga tidak akan membantuku lagi jika tau aku ini seperti apa diluaran sana."
Aulia menghela.
"Yang aku tau, berhijab itu wajib bagi seorang perempuan, itu juga untuk menjaga dirinya dari pandangan yang bukan mahramnya."
"Tapi perilakuku tidak akan pantas memakai hijab."
"Maira, aku tidak mengerti apa maksud perilakumu yang tidak pantas. Yang aku tau kamu wanita baik, jika kamu merasa ahklakmu tidak pantas memakai hijab ini, tapi hijab itu adalah kewajiban, cobalah pakai, insyaallah, jika kamu ingin memakainya, maka akhlakmu juga akan terbawa baiknya dengan niatmu memakai hijab ini."
"Tapi ...."
Aulia tersenyum mendekap kedua bahu Maira dengan lembutnya.
"Aku tidak akan memaksamu, yasudah, aku harus ke kajian sore dulu, kamu tidak apa-apakan jika aku tinggal disini?"
Maira hanya menjawabnya dengan anggukan pelan. Aulia pergi setelah mengucapkan salam.
***
Langkah Aulia terhenti saat didepan rumah itu keluar juga Faza yang sudah siap ke kajian yang sama. Faza menghampirinya.
"Assalamualaikum, Aulia," sapa Faza.
"Waalaikumsalam, Mas," sahut Aulia dengan lembutnya.
"Dimana ... Maira? Apa ia tidak ikut?"
"Tadinya aku mau ngajak dia tadi-" ucap Aulia terpotong.
Seseorang dari arah belakang Aulia tampak berlari. Hijab biru yang dipakai wanita itu tampak sekejab membuat Faza dan Aulia tertegun. Maira sekarang berdiri di samping Aulia dengan tangannya terus membenarkan hijab yang dipakainya secara ngasal.
"Lia, aku ingin ikut ke kajian, tapi lihatlah hijab ini dari tadi tidak bisa diam," ucap Maira mengadu.
"Masyaallah, Ra. Kamu bener mau ikut?" Ucap Aulia diangguki Maira.
Senyum Aulia mengembang, Faza sepertinya masih tertegun dengan Maira yang menutup rambut panjangnya sekarang dengan hijab.
"Biar aku benarkan dulu hijabmu, Ra." Maira mengangguk semangat.
Selagi Aulia membenarkan tak sengaja mata Maira menatap lelaki didepannya. Faza langsung menunduk mendapati Maira juga menatapnya. Entah kenapa sudut bibir Maira terangkat. Ia tersenyum.
Aulia tersenyum menatap Maira sekarang. "Masyaallah, cantik sekali, sudah kuduga, Ra, kamu memang sangat cantik dengan hijab ini," puji Aulia membuat Maira tersenyum singkat. "Mas Faza, gimana? Cantik kan?"
Faza sekilas menatap Maira, Senyumnya juga terulas. "Akan selalu cantik jika seorang wanita menutup rambutnya dengan hijab. Alhamdulillah klo kamu mau pakai hijab, Maira, semoga kamu Istiqomah." Maira mengangguk.
"Yaudah, kajiannya bentar lagi mulai." Faza mengangguk. Ia melangkah lebih dulu didepan Aulia dan Maira.
Kajian yang diadakan rutin setiap sore di hari Minggu berada di sebuah mesjid yang tidak jauh dari lingkungan pesantren Al-Ihsan, sekitar 5 menit jalan kaki mesjid itu sudah nampak terlihat dari sebrang jalan raya.
***
"Maira, apa kamu bisa pulang sendiri ke pesantren? Soalnya aku ada rapat disini," ucap Aulia diteras mesjid.
"Emang rapatnya akan lama?"
"Iya, Ra."
"Ouh, yaudah aku pulang duluan, Lia." Aulia mengangguk. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Maira berdiri. Didepannya sebuah jalan raya yang cukup ramai oleh hilir mudik mobil dan motor yang melintas. Sekilas Maira menatap ngeri jalanan ini. Kenapa ia tidak bilang ke Aulia jika ia takut sekali menyebrang jalan? apalagi ini jalan raya.
Tangan Maira menyentuh tiang tinggi disampingnya. Apa ia menunggu saja Aulia selesai rapat?
"Maira?" Seseorang memanggilnya. Membuat Maira sontak menoleh.
"Eh, kak Faza."
"dimana Aulia?"
"Aulia lagi ada rapat katanya."
"Terus, ngapain berdiri disini?"
"Mm.. itu kak, ingin nyebrang jalan, tapi aku takut." Faza tersenyum kecil.
"Yaudah, ikuti aku, Maira," ucap Faza. Maira mengangguk senang.
Diperjalanan menuju pesantren, Maira menatap terus lelaki didepannya. Banyak pertanyaan yang ia ingin tanyakan.
"Kak Faza," panggil Maira. Faza sekilas menoleh lalu melanjutkan langkahnya.
"Iya Maira, ada apa?"
"Apa aku boleh tanya?"
"Tanya apa?"
"Tadi, sebelum kita pergi ke kajian, kak Faza bilang Istiqomah, Istiqomah itu apa? siapa?"
Faza tertawa pelan mendengar itu, Maira mengernyit tak mengerti, kenapa Faza tertawa?
"Ada apa? Apa aku salah ucap?"
"Tidak." Faza menghentikan langkahnya menghadap Maira dan menatapnya sekejap lalu mengalihkannya kembali kearah lain.
"Terus kenapa kak Faza tertawa?"
"Bukannya pas aku bilang istiqomah kamu mengangguk, Maira? Aku kira kamu mengerti saat itu."
Maira tersenyum kecil menampilkan deretan gigi putihnya lalu menggeleng.
"Sebenarnya aku tidak mengerti, aku iyakan saja. "
Faza kembali tertawa pelan mendengar pengakuan Maira dengan jujurnya.
"Yasudah biar aku jelaskan," Maira mengangguk.
"Istiqomah itu mempunyai arti lurus atau tegak. supaya mudah dimengerti Istiqomah itu adalah konsisten, Ra. Jadi, saat aku bilang semoga kamu Istiqomah berarti semoga kamu tetap konsisten dengan hijab yang kamu pakai ini dan semoga tidak kamu lepas, Ra." Tutur Faza lembut. "Mengertikan sekarang?"Maira mengangguk kembali.
Sudut bibir Maira kembali terangkat. Ia tersenyum menatap Faza didepannya. Menatap begitu kagum lelaki yang ditemuinya beberapa hari lalu. Langkah Maira mengikuti Faza yang kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.
Senyum itu masih terukir. Seolah ada rasa baru yang hinggap dihati Maira sekarang. Apa ia mulai mengagumi lelaki didepannya ini? Entahlah, Maira hanya berpikir itu hanya sebuah rasa yang tak akan tercapainya.
Terlalu mustahil bisa mencintai dan memiliki seorang lelaki baik shaleh seperti Faza, mungkin lelaki sepertinya tidak akan mau mempunyai pasangan yang jauh dari kata wanita sempurna.
Sekilas senyum itu memudar. Maira menggeleng pelan.
Jangan sampai perasaannya itu tumbuh semakin besar, yang menjadikan rasa kagum itu menjadi rasa cinta. ia harus menyadari bahwa dirinya tidak akan pantas dengan Faza, jauh dari kata wanita shalehah, Maira tak ada apa apanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadariku, Almaira[Selesai]
Spiritual"Jadikanlah aku bidadari dihidupmu, walau aku sadar, aku bukanlah wanita yang sempurna untukmu akan dirimu dan akhlakmu yang terlalu sempurna untukku." Almaira Maharani_ "Almaira, seorang wanita yang tak sengaja kutemui dijalan kota. Keinginannya un...