"Bagaimana keadaanya?" tanya Faza pada Aulia yang baru keluar dari pintu rumahnya.
"Maira sakit, tubuhnya demam, Mas," ucap Aulia.
Faza menghela. "Katakan pada Maira, jangan terlalu capek." Aulia mengangguk.
"Iya."
"Aulia."
"Iya, Mas, ada apa?"
"Maafkan aku soal kemarin, maafkan aku yang telah menyentakmu, seharusnya aku tidak melakukan itu."
Aulia tersenyum tipis dibalik cadarnya. "Kenapa harus minta maaf? Aku mengerti, mas Faza seperti itu karena khawatir pada Maira. Tidak apa-apa."
"Kuharap kamu bisa menjaganya, aku tidak ingin Maira pergi tanpa sepengetahuan kita lagi."
"Iya, Mas, insyaallah," ucap aulia. "Mas Faza, apa aku boleh tanya?"
"Boleh Aulia tanyakan saja."
Sejenak aulia menatap Faza dihadapannya lalu kembali mengalihkan pandangannya kearah lain.
"Apa mas Faza mulai mencintai Maira?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Aulia.
Faza terdiam sejenak.
"Mungkin iya, aku mencintai Maira, rasa yang sama saat dulu aku mencintaimu," Aulia menoleh. "Tapi ya sudahlah, tak perlu lagi memperjuangkan atau memaksa seseorang yang kita cintai untuk mencintai kita. Aku pamit dulu, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aulia menatap tubuh Faza yang mulai menjauh. Matanya memanas menatap lirih Faza. Ia menunduk mencoba menyeka matanya yang berair tanpa ia sadari. Aulia mengambil nafas dalam-dalam menenangkan hatinya yang teramat sesak.
Kenapa saat aku mencintaimu kamu beralih mencintai orang lain?
***
Setelah shalat ashar berjamaah, Faza masih terdiam di mesjid, kyai Yusuf menghampiri dan duduk tepat disamping Faza. Faza tersenyum dan menyalami tangannya dengan sopan.
"Faza."
"Iya, Bi."
"Abi ingin ngobrol sebentar denganmu, nak, kamu tau alasan Abi suruh kamu ke sini?" Faza menggeleng. Ia tidak tau. "Akhir-akhir ini Abi sering sakit, dan pesantren ini sekarang kurang dalam pengawasan Abi, Abi ingin kamu mengurusnya," ucap kyai Yusuf dengan wibawanya.
"Tapi, bi, Faza-"
"Biar Ali temanmu yang mengurus pesantren disana, Abi percaya sama dia, dan Abi harap pesantren ini kamu mengurusnya,"
Faza tidak bisa menolaknya, walau sudah sangat nyaman mengurus pesantren disana. Ia pun mengangguk mengiyakan permintaan Abi yang sangat ia hormati.
"Dan ouh iya Faza, umurmu sudah cukup untuk membina rumah tangga, dan kemarin, orang tua Aulia menginginkan anaknya untuk kamu halalkan."
Faza terdiam. Kenapa hatinya tak bereaksi apa-apa sekarang? Bukannya dulu ia sangat mengharapkan hari ini tiba? Menjadikan Aulia, sosok yang ia kagumi dari dulu menjadi pendamping hidupnya.
"Bi, Faza menghargai pendapat Abi, Faza juga menghargai keinginan kedua orang tuanya aulia, tapi Faza tidak ingin menyakiti siapapun, Faza ingin menikah tapi Faza ingin Faza yang memutuskannya."
"Apa ada gadis lain yang kamu suka Faza?"
Faza kembali terdiam, ia menunduk sekarang. Jika ia mengatakan ia menyukai wanita yang sebulan lalu telah ditolongnya apa Abi nya akan menerimanya? Teringat hari pertama itu Maira bukan lah siapa-siapa, bahkan tentang keluarganya juga mereka tidak tau apa-apa.
Seseorang menghampiri keduanya di dalam mesjid. Sebari mengucapkan salam Aulia tergesa begitu nampak hawatir membuat Faza terheran. ada apa?
"Maaf jika Aulia mengganggu obrolan pak kyai dan mas Faza."
"Iya Aulia, ada apa?" ucap Faza.
"Mas, kondisi Maira semakin parah, suhu badannya semakin tinggi. Aulia takut ia kenapa-napa."
"Kita bawa ke rumah sakit, Aulia," Aulia mengangguk.
"Abi, maaf, Faza harus segera bawa Maira ke rumah sakit," ucapnya nampak hawatir.
Tangan kyai Yusuf menyentuh lembut pundak Faza. Ia tersenyum lalu mengangguk.
"Segeralah."
***
Mata itu perlahan terbuka setelah lama terpejam. Samar-samar lantunan surah terdengar begitu merdu di seisi ruangan. Seorang pemuda duduk tak jauh darinya dengan sebuah Qur'an ditangannya.
"Kak Faza?" gumam Maira pelan.
Suaranya tak terdengar Faza, ia terus saja melantunkan setiap ayat-ayat Al-quran dengan penuh ketenangan. Tanpa sadar jika Maira telah terbangun dan terus memperhatikannya disana.
"Aku tidak tau dengan apa yang aku rasa sekarang, aku hanya tidak mau kehilanganmu dan aku tidak ingin kamu Kenapa-napa, Maira!"
"Aku tidak tau apa aku mulai mencintaimu atau apa, tapi aku mohon, Maira, tetaplah di pesantren. Sampai semua baik-baik saja maka aku tidak akan pernah mencegahmu lagi jika kamu mau pergi, Maira."
Tak terasa mata itu berair lalu terisak. Maira menangis. Perkataan Faza kembali diingatnya. Faza yang menyadari itu dengan cepat menghampirinya nampak kegelisahan itu diwajahnya.
"Ada apa Maira? Apa yang sakit? Aku panggil dokter, ya?"
Ucapan Faza membuat Maira semakin terisak.
"Jangan sampai kak Faza mencintaiku," lirihnya menatap begitu sendu Faza dihadapannya.
Faza mengerti sekarang kenapa Maira menangis, kejadian kemarin yang membuatnya seperti ini. Faza hanya menghela nafasnya.
"Apa salahnya? Aku berhak mencintai siapa saja-"
"Tapi jangan aku, aku tidak akan pantas dan tidak akan pernah pantas."
"Kenapa tidak pantas."
"Aku bukan wanita yang baik, aku baru saja belajar Islam, jauh dari wanita sempurna aku tidak ada apa-apanya, Kak."
"Usahamu untuk mengenal Islam lebih dalam itulah yang membuatku mencintaimu, Maira. Aku tidak pernah memandang masa lalu seseorang seperti apa, tapi yang aku lihat ketika kamu berusaha merubah masa lalumu menjadi sebuah pelajaran, dan menjadikanmu wanita lebih baik."
Maira terdiam. Ucapan Faza membuatnya menunduk dan menangis lagi. Faza mengangguk meyakinkan Maira.
"Kamu pantas Maira. Dan aku tidak ingin membiarkan perasaanku ini semakin besar lagi pada seorang yang bukan mahramku. Aku mencintaimu, Maira dan itu benar. Aku ingin kamu mau menjadi pendamping hidupku, Maira."
"Pendamping hidup?" Maira masih tak menyangka. Wajahnya nampak tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan tapi semua itu nyata. Faza mengatakannya dengan sungguh-sungguh.
Seulas senyum kembali tercipta. Faza kembali mengangguk.
"Iya, Maira."
***
Jangan lupa vote nya temen"💞
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadariku, Almaira[Selesai]
Spiritual"Jadikanlah aku bidadari dihidupmu, walau aku sadar, aku bukanlah wanita yang sempurna untukmu akan dirimu dan akhlakmu yang terlalu sempurna untukku." Almaira Maharani_ "Almaira, seorang wanita yang tak sengaja kutemui dijalan kota. Keinginannya un...