Maira mengerjap-ngerjap matanya. Ia menatap sekitarannya sekarang. Dimana dia? Maira mendudukkan tubuhnya. Pipi kanannya terasa pegitu perih. Sampai ingatannya tentang kejadian Wira menamparnya kembali teringat.Wira.
Nama itu kembali melintas dipikirannya. Ketika lelaki bejad itu hampir saja merampas kehormatannya.Tubuh Maira tiba-tiba gemetaran. Bulir air perlahan kembali membasahi pipi putihnya. Kejadian malam itu membuatnya sangat trauma. Maira menangis lagi.
Tangis itu terhenti saat mendengar obrolan di luar, tangannya mengusap pelan bekas tangisnya itu. Maira mulai berjalan dan membuka pintu perlahan.
Maira memperhatikan obrolan itu.
"Tapi Umi, Abi, sekarang Faza harus bagaimana, dia tidak memberikan alamat rumahnya, dia hanya menyuruh Faza untuk membawanya pergi jauh dirinya, dari tempat itu," ucapnya.
"Ya sudah, tunggu wanita itu sadar, setelah itu biar umi yang tanya rumah dia-"
Obrolan mereka terhenti saat suara tubuh yang kembali ambruk diatas lantai. Tiba-tiba pusing di kepala Maira membuat tubuhnya hilang keseimbangan. Ia terduduk memijat pelipisnya yang terasa sakit dan pusing.
Faza, Abi, Ummi dan juga Aira langsung menghampiri Maira yang meringis. Faza mendudukan tubuhnya. Entah kenapa rasa cemas datang begitu saja pada Maira. seorang wanita yang sama sekali tidak dikenalnya.
"Apa yang kamu rasa? Pusing?" Maira mengangguk pelan.
Faza menatap Aira disampingnya. Tanpa perlu diberitahu Aira mengerti ia mendekat pada Maira lalu membantunya kembali membaringkan tubuh lemahnya di ranjangnya.
Mata Maira kembali menatap Faza. Kedua tangannya terangkat menangkup di depan dada. Manik matanya kembali berkaca-kaca.
"Maafkan aku jika aku merepotkan kalian terutama kamu, tapi aku mohon biarkan aku tinggal disini atau dimana saja asal jangan pernah biarkan lelaki itu menemukanku lagi. Aku takut ... Aku sangat takut." Wajah Maira menunduk tangisnya turun perlahan. Ia terisak sendirian.
Faza menatap Abi juga Umi, keduanya hanya mengangguk seolah biarkan wanita itu menenangkan dirinya di rumah ini. walau mereka masih tidak mengerti kenapa Maira sangat takut untuk pulang dan takut jika lelaki itu menemuinya lagi.
"Aku akan antarkan kamu pulang kerumahmu dengan selamat. Bukannya ada keluarga kamu disana yang akan menjagamu?"
Maira mengangkat wajahnya. Sambil sesenggukan ia menatap Faza dengan lirihnya.
"Lelaki itu adalah kakakku, dia ada dirumahku dan aku takut padanya ..."
Satu alis Faza terangkat. Ia menatap Maira tak mengerti.
"Dia kakakmu, kenapa bisanya seorang kakak memperlakukanmu sekeras itu padamu."
Tangis Maira semakin merambas di pipinya. Membuat semua yang ada dalam ruangan bingung.
"Assalamualaikum," sapa seorang wanita dengan cadar yang terpasang anggun diwajahnya.
"Waalaikumsalam, Aulia," jawab mereka.
Wanita yang dipanggil Aulia itu menatap bingung saat melihat kamar Aira begitu ramai. Tak biasanya. Ia mendekat dan terkejut saat melihat seorang wanita dengan rambut tergerai panjang. Aulia menatap ummi yang sekarang ada disampingnya.
"Dia siapa, Umi?" bisiknya.
"Umi juga tidak tahu, tapi subuh Faza pulang dengan membawa wanita itu yang tengah pingsan."
"Astagfirullah, tapi dia baik-baik saja, kan?" Ummi mengangguk.
"Ia baik-baik saja tapi tadi sempat merasa pusing."
Faza menoleh sekejap pada Aulia lalu kembali pada Ummi. "Ummi, apa sebaiknya wanita ini tinggal saja di rumah Aulia? Diakan sendirian dirumahnya." Mata Faza kini menatap Aulia didepannya. "Aulia, kamu tidak keberatan kan jika wanita ini tinggal sementara bersamamu?"
Aulia mengangguk patah-patah walau sebenernya ia masih tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi.
"Aku tahu kamu masih tidak mengerti, Lia, tapi nanti akan aku jelaskan setelah ini," ucap Faza seolah tau apa yang dipikirkan Aulia.
Aulia tersenyum dibalik cadarnya. Ia pun mengangguk. "Iya, mas Faza, tidak papa, sekalian, kan, ada teman di rumahku," ujar Aulia lembut.
Faza tersenyum. Ia kembali menghadap Maira.
"Baiklah, kamu akan tinggal disini, bersama Aulia."
Maira yang masih menangis kini tersenyum. "Terimakasih." Faza mengangguk sebagai jawaban.
***
Untuk pertama kalinya, Maira terkagum dengan semua yang ada disekitarnya. Lingkungan pesantren yang sangat indah dengan nuansa bangunan asrama, sekolah, dan yang tak kalah indahnya sebuah mesjid bertingkat dua dengan dua tiang menara menjulang. Langkahnya terus mengikuti Aulia yang selangkah lebih dulu berjalan didepannya.
Aulia tersenyum melihat Maira begitu terpesonanya dengan pesantren itu. Sekarang keduanya berjalan sejajar.
"Ouh iya, namaku Aulia, salah satu asatidzah dan pengurus santriwati disini." Jelasnya. Maira menoleh lalu tersenyum.
"Namaku Maira, senang aku mengenalmu."
"Kamu sepertinya terkagum dengan pesantren al-ihsan ini?" Ucap Aulia.
Maira mengangguk. Senyum itu terus terukir diwajah cantiknya.
"Disini juga ada pesawahan yang lumayan luas kamu akan lebih terkagum saat melihatnya."
"Iyakah?"
"Iya, nanti aku akan ajak kamu kesana."
Keduanya saling mengobrol sampai tak terasa mereka sudah berdiri di halaman rumah yang di sediakan pesantren untuk para asatidz.
"Ini dia rumah dinasku, kamu akan tinggal disini, mas Faza sudah titipkan kamu ke aku, jadi jangan sungkan bila kamu butuh bantuan atau apa pun, ya, Ra?" Aulia kembali tersenyum dibalik cadarnya.
Maira mengangguk tersenyum.
"Faza tuh, nama pemuda tadi?"
"Iya, dia adalah anak dari pemilik pondok pesantren ini. Walau dia jarang sekali kesini karena harus mengurus pesantren lain."
"Kamu calonnya, ya?" selidik Maira menebak. Aulia mengernyit lalu beberapa detik kemudian tertawa pelan.
"Calon? Maira, aku dengan mas Faza telah berteman sejak lama, kami dulu satu angkatan di pesantren ini. Ya walau ia memilih SMAnya dibandung," jelas Aulia.
"Aulia, beneran kalian hanya berteman? Kalian serasi sekali, cantik dan juga tampan, kalian juga sangat baik."
"Mas Faza adalah teman aku, dia juga menganggapku sama seperti itu," paparnya. "Yasudah kamu istirahatkan tubuhmu di kamar ini, Ya?" Lanjut Aulia menunjuk satu kamar didepannya.
Maira mengangguk. Aulia tersenyum.
***
Ditunggu vote dan saran dari kalian 🤗😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadariku, Almaira[Selesai]
Spiritual"Jadikanlah aku bidadari dihidupmu, walau aku sadar, aku bukanlah wanita yang sempurna untukmu akan dirimu dan akhlakmu yang terlalu sempurna untukku." Almaira Maharani_ "Almaira, seorang wanita yang tak sengaja kutemui dijalan kota. Keinginannya un...