Suasana sore hari dengan warna jingga menjadi ciri khasnya. Mengagumkan mata yang takjub akan ciptaan Allah yang tak ada tandingannya. Aulia melangkah menuju rumahnya setelah seharian mengurus santriwati dipesantren al-ihsan. Belum sampai ia membuka pintu, seseorang memanggilnya terlebih dahulu. Aulia menoleh. Itu Faza. Didepan pagar ia tersenyum kikuk.
"Assalamualaikum, Lia," sapanya setengah canggung.
Aulia mengeryit. Jarang sekali Faza menghampirinya sampai depan rumah. Walau itu sesuatu yang darurat pun ia lebih memilih menyuruh santri lain memanggil Aulia jika ada perlu.
Aulia kembali berjalan menghampiri Faza yang tetap berdiri diluar pagar depan rumah.
"Waalaikumsalam, iya mas Faza, ada apa?"
Terlihat Faza seperti ingin menyampaikan sesuatu tapi tertahan dengan sikap canggungnya.
"Ada apa, mas?" ulang Aulia.
"Apa ... wanita itu sudah menceritakan tentang keluarganya? Ouh iya apa wanita itu juga baik-baik saja?" tanya Faza masih gugup.
Aulia terkekeh pelan dibalik cadarnya. Sikap Faza membuatnya gemas sendiri. Faza mengangkat satu alisnya tak mengerti.
"Ada apa? Apa aku salah tanya, ya?" Aulia menggeleng pelan kembali tersenyum tipis.
"Gak ada yang salah, aku cuma heran, mas Faza jarang sekali kesini dan lihat, mas Faza kesini bertanya tentang wanita itu," ucap Aulia. "anya untuk bertanya tentang wanita itu, kenapa mas Faza harus canggung, coba?" lanjutnya menahan senyum.
Faza menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Faza juga bertanya pada dirinya sendiri kenapa ia bertingkah seperti itu?
"Bukan begitu, Lia, aku yang membawanya kesini, Jadi aku merasa akulah yang bertanggung jawab dengan keberadaan wanita itu disini." Jawab Faza berusaha menghilangkan canggung. Aulia kembali terkekeh pelan dengan kepala mengangguk mengerti.
"Iya-iya ... Aku ngerti kok, mas. Nama wanita itu Maira," ucap Aulia.
"Maira?"
"Iya."
"Hanya itu yang kamu tau darinya?" Aulia mengangguk. Faza menghela nafasnya panjang.
"Iya, mas, hanya itu yang aku tau, Maira belum menceritakan apa pun sejak pagi padaku, siang tadi pun saat aku ingin menanyainya aku urung, karena kulihat Maira menangis seperti merasakan sebuah trauma, tapi aku tidak tau pastinya."
Faza mengangguk-angguk mencerna setiap yang perkataan yang diucapkan Aulia padanya.
"Ya sudah, Lia, jika Maira sudah menceritakan keluarganya padamu beri tahu aku, aku takut keluarganya malah menghawatirkannya. sekarang."
"Iya mas," ucap Aulia kembali tersenyum.
"Aulia, maafkan aku jika aku harus merepotkanmu, aku janji aku akan mengganti semua keperluan Maira."
"Mas Faza, sama sekali tidak merepotkan aku, aku senang ada Maira yang akan menjadi teman di rumah ini, lagi pula masalah makanan dan yang lainnya aku bisa mengatasinya. Jadi mas Faza tenang saja ya?"
Faza tersenyum menatap Aulia lalu beberapa detik kemudian menunduk.
"Terimakasih, Lia." Aulia mengangguk.
"Sama-sama."
***
Jam sembilan malam. Dimasjid besar berlantai dua, Faza terduduk dengan sebuah Qur'an ditangan. Setelah cukup ia memuraja'ah hapalannya ia beranjak dan kembali ke rumahnya.
Tepat ditengah perjalanan seorang wanita tak sengaja menubruk bahu Faza. Wanita itu terjatuh lalu meringis. Rambut tergerai dengan suara tangis mengiringinya. Faza mengenalnya. Dia wanita yang telah ditolongnya di pinggir jalan kota. Maira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadariku, Almaira[Selesai]
Espiritual"Jadikanlah aku bidadari dihidupmu, walau aku sadar, aku bukanlah wanita yang sempurna untukmu akan dirimu dan akhlakmu yang terlalu sempurna untukku." Almaira Maharani_ "Almaira, seorang wanita yang tak sengaja kutemui dijalan kota. Keinginannya un...