D. Posesif

7.4K 1.1K 142
                                    

Mataku yang awalnya terpejam mulai terbuka ketika suara nyaring dari ponselku terdengar. Gelap. Itu yang kulihat. Aku menggulingkan tubuhku ke kanan dan berusaha mencari saklar lampu nakasku.

Klik!

Setidaknya ini tidak segelap tadi. Aku bersandar pada kepala ranjang dan menghela napas panjang.

"Itu Haechan bukan sih?" tanyaku pada diriku.

Aku bisa menjawab dengan pasti kalau laki-laki kemarin yang bersamaku adalah laki-laki yang sama yang sedang bersama perempuan lain. Tapi semuanya belum tentu benar. Bisa saja yang bersama perempuan lain adalah Haechan dari dimensi lain, ya kan?

Aku menggulung diriku dengan silimut. Rasanya tidak ingin masuk sekolah. Rasanya tidak ingin bertemu Haechan. Rasanya aku ingin melupakan yang kemarin terjadi.

Haruskah aku kembali tidur supaya tekesan bangun kesiangan?

"Tumben banget baru rapi." Mama menyapaku dengan kalimat itu ketika aku ke ruang keluarga dengan membawa tas.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Aku memang tidur lagi. Tapi nyatanya aku tidak bisa sama sekali bangun kesiangan untuk sekolah.

"Roti kamu ada di depan," kata mama sembari menyiapkan bekal untuk adikku.

Alisku mengerut. "Kenapa di depan?" tanyaku.

Mama malah tersenyum. "Ada temen kamu. Katanya sih Haechan," balas mama. "Aih, udah resmi nih?"

Atmosfer di sini terasa panas. Aku menyembunyikan senyumanku dan pamit keluar untuk menemui Haechan sekaligus pergi ke sekolah.

"Haechan," sapaku.

Laki-laki itu baru saja menyesap teh buatan mama. Ia menoleh dan tersenyum. "Udah siap?" tanyanya.

Aku mengangguk dan duduk di kursi sebelah Haechan. Segelas susu hangat Haechan berikan untukku. Setelah meneguknya, tanganku beralih mengambil roti selai stoberi.

"Udah lama ya?"

Haechan mengangguk. "Nggak apa-apa kok," katanya. "Mungkin semalem kamu tidur malem gara-gara gak bisa berhenti mikirin aku, ya kan?"

Runa yang berada di depanku kelihatan kesal. Tangannya ia kepalkan di atas meja. Kakinya sibuk mengetuk-ngetuk lantai kelas.

"Jangan gitulah!" ucapnya. "Dia pacar lo. Kalian baru aja jadian tapi dia malah mesra-mesraan sama cewek lain?! Tanya dia!"

Runa, aku juga ingin bertanya pada Haechan. Tapi bagaimana kalau itu bukan Haechanku? Aku menunduk, merasa takut karena Runa sedikit menggertakku.

Aku merasakan tangan Runa di bahuku, dia mengusapnya pelan. "Baru jadian loh. Dia gak serius kali sama lo?" tanyanya.

"Gak ngerti deh," jawabku. "Haechan bilang, dia emang suka sama aku. Nggak sih, dia bilang kalo dia pacaran sama aku dia bakal seneng dan ternyata dia memang seneng."

"Ya udah, kalo lo gak mau mastiin yang kemarin, lo coba aja bikin perjanjian kecil gitu. Gimana?"

Ide yang bagus. Bagus untuk dicoba.

Aku membalas lambaian Haechan yang sedang duduk bersama teman-temannya. "Hai semuanya," sapaku ketika sampai di meja kantin.

"Pacar lo nih?" tanya Mark pada Haechan. "Yang bener? Kok lo mau sih sama Haechan? Dia kan toa."

Aku hanya tertawa menanggapi pertanyaan Mark. Selanjutnya aku duduk di depan Haechan karena Renjun—yang sebelumnya duduk di depan Haechan—bergeser dan memberikan tempatnya untukku.

"Kalian udah pada makan?" tanyaku.

"Udah nih," jawab Haechan. "Lo mau makan?"

Aku menggeleng. "Tapi aku mau bicara sama kamu, boleh?" Haechan mengangguk dan menyuruh kedua temannya—Mark dan Renjun—untuk pergi.

"Kita baru jadian sehari ya, Chan?" tanyaku dengan senyuman lebarku.

Haechan terkekeh. "Iyaa. Kenapa?"

"Aku mau ngasih saran!" kataku dengan semangat. "Gimana kalo kita bikin perjanjian kecil, kecil aja, untuk jaga perasaan satu sama lain? Kayak misalnya—" Aku menghentikan kalimatku karena melihat air muka Haechan yang tiba-tiba suram. Dia terlihat tidak suka.

"Jangan terlalu posesif deh," katanya sebelum meninggalkanku di kantin, seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya.

enigma [ haechan ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang