V. Forgotten

3.9K 675 37
                                    

Aku berlari menuju lobi rumah sakit. Katanya, Nyonya Lee sudah sampai. "Selamat sore!" sapaku pada Nyonya Lee. "Haechan udah bangun, tante."

Begitu sampai di depan ruangan Haechan, beberapa perawat keluar dan mempersilakan kami untuk masuk. Aku menolak dan membiarkan Nyonya Lee masuk terlebih dahulu. Lagi pula, yang harusnya Haechan lihat saat pertama kali adalah ibunya, bukan pacarnya.

"Han!"

Aku menoleh ketika mendengar namaku. Di sana ada Mark dengan jaketnya dan kacamata yang bertengger pada batang hidungnya. He looks so fine.

"Hana," panggilnya lagi. "Ibunya Haechan udah dateng?"

Aku mengangguk. "Ada di dalem," jawabku. "Abis beliau, kita masuk, oke, Mark?"

Mark mengangguk. Ia mengambil tempat di sebelahku dan mendudukan dirinya. Wajahnya terlihat khawatir namun juga lega. Ia bersandar dan berkata, "Gue gak tau lagi gimana jadinya kalo Haechan kena koma."

Telingaku mendengarkan keluh kesahnya. Menceritakan hal-hal konyol yang Haechan lakukan. Juga cerita-cerita mengenai perasaan Haechan padaku.

"Ya udah. Yang penting dia udah bangun," ucapku.

Tak lama pintu ruangan Haechan terbuka. Nyonya Lee keluar dengan wajah tenang, namun masih ada keresahan di sana. "Kalian mau masuk?" tanyanya.

Mark dan aku berdiri, kemudian menjawab kalau kami berdua ingin bertemu Haechan. "Ada yang berubah dari dia. Kalian hati-hati. Tante mau ketemu dokter dulu," ujarnya dan kemudian meninggalkan kami.

Mark ingin membuka pintu namun aku menarik lengannya. "Mark," lirihku. "A-amnesia?"

"Hah?"

"Katanya Haechan berubah. Kan nggak mungkin karena kecelakaan dia jadi ganas. Berubahnya pasti amnesia, kan?"

Mark melepas tangannya pada kenop pintu. "Salah satu cara buat tau jawabannya itu dengan ketemu sama dia. Ayo."

Dibukanya pintu tersebut. Di sana ada Haechan yang sedang duduk bersandar di ranjang dengan segelas air mineral di tangan kanannya. Oh ya Tuhan. Aku benar-benar merindukan matanya.

"Mark!" pekiknya.

Kulihat Mark tersenyum melihat sahabatnya yang sudah membuka matanya. "Udah sehat nih?" tanyanya.

Haechan mengucap kepalanya. "Ya, sedikit," jawabnya. "Eh?" Kali ini dia menunjukku. Aku tersenyum. "Mark, lo udah jadian sama dia?"

Senyumanku memudar. Aku menoleh pada Mark yang ternyata sedang menataoku juga. Kami berdua memfokuskan netra pada Haechan, memberikan tatapan bingung.

"Kenapa? Hts doang? Payah lo, Mark! Bilang sekarang deh biar gue jadi saksi."

Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Haechan benar-benar kehilangan setengah ingatannya. Yang menghilang ingatannya tentangku. "Apa kabar?" tanyaku.

"Ya gini aja," jawab Haechan.

"Mau makan gak?" tawarku.

Senyuman Haechan merekah. "Mau dong! Beliin nasi—"

Aku menggeleng, membuat Haechan menghentikan kalimatnya. "Sup aja ya?"

Mark mengintrupsi. "Gue aja deh yang cari makan," katanya sambil berdiri dari kursinya.

Aku melihat punggung Mark yang menjauh dan akhirnya menghilang dibalik pintu ruangan. "Haechan," panggilku ketika aku mulai menatapnya. "Kamu inget apa tentang aku?"

Memang bodoh untuk bertanya seperti itu pada Haechan yang faktanya telah mengalami amnesia. Ya—tapi nggak ada salahnya untuk coba bertanya kan?

Dia terlihat berpikir keras. Seperti memaksa mencari sebagian memori yang hilang. Selanjutnya dia menggeleng. "Mark suka sama lo, Han," kata Haechan. "Dari kelas 1."

Aku mengangguk mengerti. Haechan pernah bilang soal itu saat perkelahian di kantin. Tapi yang aku butuhkan bukan jawaban seperti itu. "Yang lain?" Sebut aku gila karena terdengar memaksa sekali.

Ada keheningan yang menyelimuti ketika laki-laki itu sedang berpikir. Aku menatap sekelilingku, dengan maksud berusaha untuk tidak merasa sangat sesak. "Lo cinta pandangan pertamanya Mark," kata Haechan lagi.

Oke cukup. "Kalo hubungan kita berdua?"

"Lo yang sekelas sama Runa, kan?"

Aku menghela napas dan mengangguk. Tidak lupa untuk tersenyum. "Sekarang lagi ngerasa gimana?" tanyaku.

Haechan bersandar. Dia mempernyaman duduknya dan menarik selimutnya mendekati dagu. "Capek, pusing, sakit sedikit," jawabnya. "Gue mau pulang."

Setelah mengumpulkan keberanian, tanganku terulur untuk mengelum jari jemari Haechan. "Sebentar lagi pasti kamu bisa istirahat di rumah," ucapku.

Ada jeda cukup lama di sini. Aku sama sekali nggak tau harus gimana. Rasanya mau peluk Haechan yang udah sadar, tapi pasti dia nggak bakal paham apa-apa. "Cepet sembuh ya, Haechan."

Ditemani dengan segelas es cokelat, aku terus memandang keluar jendela. Ada Mark di sebelahku. Dia sedang sibuk mengaduk kopinya. "Maaf," kata Mark.

"Kenapa?" tanyaku hampir tidak terdengar.

"Kalo gue gak suka sama lo, pasti semuanya gak bakal kayak gini," ucapnya. "Kalopun nantinya lo gak sama Haechan, setidaknya lo masih bisa liat dia tanpa tersakiti gini."

Diam sebentar, aku menarik napas dan mengeluarkannya perlahan. "Nggak apa-apa," jawabku. "Kalo emang udah takdirnya dia kayak gini, mau gimana lagi?"

Hai, Mark. Jujur, aku penasaran banget sama perasaan kamu. Kalau Haechan lebih memilih untuk lupa, mungkin aku bisa sama kamu.

Halo, semuanya ! Percaya gak kalo aku lanjutin ini lagi karena Haechan ada di konser NCT 127 ?

enigma [ haechan ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang