J. Nakayama Rizu

5.3K 873 12
                                    

Semuanya terasa seperti mimpi. Bagaimana aku menapakan kakiku di jalanan bersama seseorang yang berarti bagiku. Kemudian menikmati secangkir cokelat hangat dengan rembulan yang menjaga. Diakhiri dengan menonton film kartun yang disukai Ethan.

Aku membuka mataku. Tunggu. Apa yang tadi hanya mimpi?

Aku melirik jam dinding di kamar yang menunjukan pukul 3 pagi. Ponselku bergetar, menandakan sebuah pesan baru saja masuk.

Udah tidur?
Aku gak bisa tidur
Keinget kamu

Haechan?

Haechan menelepon...

"aahHH!" Dengan cepat aku meredam suara teriakanku dengan bantal. Oh Tuhan. Kenapa dia harus menelepon, sih?

"Ha-halo?"

"Kok belom tidur?"

"Em.. Kamu sendiri belum."

"Kan tadi aku udah bilang. Aku gak bisa tidur. Kamu kenapa?"

"Aku kebangun."

Tidak ada balasan dari seberang sana. Sepertinya Haechan sedang mengangguk mengerti namun visualnya tidak bisa kutangkap.

"Haechan."

"Iya, Hana?"

AjhdjNhsjdbjsjNhdkalaldndhJshkah. Tuhan, apa yang Engkau pikirkan ketika sedang membuatnya? Kenapa suaranya bisa melebihi kelembutan kapas?

"Semalem kita jalan ya?"

Suara tawa Haechan terdengar diujung sana. Membuat aku yang mendengarnya tersenyum karena membayangkan wajahnya.

"Kamu mimpi juga ya?"

"Hah?"

"Aku juga mimpi jalan sama kamu."

"Yang bener, Haechan."

"Bener. Rasanya nyata banget."

"Kita keliling kota, terus mampir ke kafe."

"Beli cokelat panas terus hpku bunyi."

"Kamu nerima penggilan itu dan kita pulang." Aku menghela napasku. "Jadi cuma mimpi ya?"

Lagi-lagi suara tawanya terdengar. "Nggaklah. Nggak mimpi, sayang. Kamu kenapa, sih? Aneh banget."

Aku tertawa. "Jadi mimpi gak nih?"

"Nggak, Hana. Semalem kita kencan."

"Ke-kencan?"

"Ya ampun, Hana. Pokoknya semalem kita jalan berdua. Udah ah. Sekarang tidur. Besok masih sekolah, iya kan?"

Aku mengangguk samar. Tidak peduli dengan fakta bahwa Haechan tidak bisa melihatnya. "Oke. Dadaah."

"Selamat malam, Hana."

Tanganku terus menerus menutupi mulut yang sedari tadi terus terbuka. Otakku yang kekurangan oksigen membuatku menguap.

"Ah ya ampun," gumamku. "Mau tidur ajaa—eH!"

Seseorang merangkulku dengan semangat. Aku sampai ingin jatuh dibuatnya. Tapi untung saja orang itu langsung menahanku. Eh? Aku kenal aroma ini!

"Haechan!"

Laki-laki yang sedang merangkulku tersenyum. "Selamat pagi, tuan putri," sapanya.

"Selamat pagi juga, pangeran," balasku. "Tumben dateng siang."

"Gara-gara kamu," balas Haechan.

"Aku dateng siang juga gara-gara kamu," belaku.

Kami berdua berhenti karena sudah sampai di kelasku. Haechan melepaskan rangkulannya dan menatapku lekat.

Dia kenapa, sih? Bikin deg-degan aja.

Grep.

"E-eh?"

Tangannya melingkar sempurna di leherku. Jari jemari Haechan mengelus suraiku dengan lembut. Rasanya begitu nyaman sampai aku ingin kembali terlelap.

"Haechan, ini di depan kelas," kataku dan Haechan melepaskan pelukannya.

Ia terkekeh. "Belajar yang bener," ucapnya.

"Iya."

"Jangan tidur di kelas."

"Iya, Haechan."

"Jangan lupa mikirin aku."

"Iya—hah?"

Lagi-lagi Haechan terkekeh. Ia menepuk puncak kepalaku dan berkata, "Kamu lucu deh."

"A-apaan sih?" tanyaku gugup. Aku menyingkirkan tangan Haechan yang berada di kepalaku. "Udah ah. Aku mau masuk. Dah!" Aku melongos begitu saja ke kelas.

"aAAAAaA!!" teriakku di dalam kelas. Tidak peduli kalau Haechan bisa mendengar teriakanku dari depan kelas.

"Runa Runa!" panggilku kepada Runa yang sedang mendengarkan musik dengan earphone. Aku menggoyangkan tangannya dan ia melepas sepelah earphone-nya. "Kenapa sih Haechan gemes banget??!"

Haechan di UKS
Kecapekan

Aku membeku membaca pesan dari Mark—teman baik Haechan. Kelasnya sedang belajar olahraga. Tumben sekali Haechan merasa kelelahan. Dia orang yang sangat aktif, bukan?

Kakiku terus mengetuk lantai. Berharap bahwa bel istirahat akan berbunyi sehingga Guru Shin cepat keluar. Kenapa dikeadaan seperti ini waktu terasa begitu lambat?

"Baiklah. Saya sudahi pertemuan kali ini. Selamat pagi."

Dengan cepat aku merapikan bukuku. "Aku ke UKS. Haechan di sana," pamitku pada Runa dan meninggalkannya di kelas dengan kotak bekal merah miliknya.

Kakiku melangkah lebar menuju UKS yang pintunya tertutup. Bunyi decitan pintu terdengar begitu aku mendorong pintu tua itu. Di sana ada Haechan dan seorang perempuan yang kelihatan seperti orang Jepang—atau dia memang orang Jepang?

Aku berhenti di depan pintu sampai Haechan menyadari keberadaanku. "Eh, Han!" sapanya sembari melambaikan tangannya. "Udah Ri, udah ada Hana. Lo balik aja."

Perempuan yang dipanggil Ri oleh Haechan mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan Haechan. "Lo beneran gak apa-apa?" tanya perempuan itu.

Tangan Haechan melepaskan sentuhan tangan perempuan itu. "Udah mendingan soalnya ada Hana di sini." Dasar Haechan. Aku yang dari tadi berdiri dekat ranjangnya hanya bisa menahan senyum sampai perempuan itu keluar kelas.

Laki-laki itu menyuruhku duduk di kursi di depanku. Ia menarik tanganku dan menempelkannya pada pipi kanannya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kamu percaya sama aku ya. Harus. Aku bakal berusaha nggak bikin kamu sedih. Kamu harus percaya."

O-okay, Haechan. But why so sudden?!

enigma [ haechan ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang