N. Diam

4.2K 751 18
                                    

Mark ngapain di sini?

"Eh, lo gila apa gimana, sih?!" Mark mengulang pertanyaannya. "Ayo jalan!"

Aku masih menatap Mark bingung. Jalan ke mana? Mataku melihat restoran Italia yang berada pas di sampingku. Mungkinkah ke sana?

Aku bergeser kearah restoran namun Mark menahan. "Mau ke mana?" tanya Mark.

"Ka-katanya di suruh jalan."

"Jalan ke mobil gue," balas Mark yang akhirnya menuntunku ke mobilnya yang terparkir dipinggir jalan.

Setelah aku dan Mark sudah berada di dalam mobil, keheningan mulai terjadi. Mark ngapain di sini? Pertanyaan itu kembali terulang.

"Lo kenapa nangis di jalan?" tanya Mark.

Aku diam dan menunduk. "Kursi mobil kamu basah, Mark," jawabku dan setelahnya aku bisa mendengar helaan napas.

"Lo kenapa?"

"Tadi mau belanja," jawabku. "Cuma gak jadi."

Aku masih setia memandang hujan yang menghujam kaca mobil milik Mark. Aku bingung, juga kedinginan.

"Lo mau balik?" tanya Mark.

Pertanyaannya tidak kuhiraukan sebentar. Aku basah, tidak mungkin pulang ke rumah dikeadaan seperti ini. Ibu dan ayah pasti cemas. Akhirnya aku menggeleng. "Nggak mau, Mark. Tapi aku gak tau harus ke mana."

"Mau ke rumah gue?"

Ke rumah Mark? Awalnya kan mau ke rumah Haechan. Kenapa jadi ke rumah Mark?

"Ya udah, ke rumah gue aja." Mark langsung menyalakan mesin mobilnya yang sebelumnya belum sempat dinyalakan. AC-nya dibiarkan mati. Mungkin dia tahu kalau aku akan merasa kedinginan.

Aku berdeham, berharap suasana di sini tidak sedingin apa yang kurasakan. "Kamu kok bisa liat aku, Mark?" tanyaku memulai pembicaraan.

"Toko musik punya gue kan di sana. Tadi mampir gitu terus ujan. Pinjem payung pegawai di sana deh," jawab Mark. "Lo sendiri kenapa bisa di sana?"

"Kan tadi udah cerita," jawabku.

"Ya iya," katanya. Aku menoleh dan melihatnya menggaruk tengkuknya. "Maksud gue lo ngapain ujan-ujanan?" tanyanya lagi.

Haruskan aku menjawabnya?

"Emang gak dimarahin Haechan kalo lo ujan-ujanan?"

Haechan ya? Aku sama sekali gak tahu apa yang bakal Haechan bilang kalo dia tahu aku nangis di tengah hujan deras.

"Lo lagi berantem sama Haechan?"

Mark ngapain sih nanya terus? Kepo banget. "Nggak," jawabku singkat. "Eh, Mark. Kamu tau kalo Haechan dijodohin?" tanyaku sembari menatapnya. Mark terlihat kaget karena matanya membulat.

"Ha-hah? dijodohin?" Mark balik bertanya. Haduh, Mark. Jangan sok gak tau gitu deh.

"Iya. Sama Rizu," ucapku. "Aku tau Mark. Haechan yang kasih tau aku."

Kepala milik Mark mengangguk. "Tapi dia sayang sama lo kok, Han. Dia cerita kalo dia bakal usaha terus supaya perjodohannya batal. Rizu juga udah sama Jaehyun, jadi ya ada peluang untuk batal."

Iya ada sih. Tapi keliatannya kenapa nggak ada peluang sama sekali?

"Turun, Han," suruh Mark ketika mobilnya sudah terparkir sempurna di garasi. Mark sudah keluar dari mobil, tapi aku masih enggan untuk keluar.

"Heh, ayo keluar. Lo diem mulu deh!" teriaknya dari luar mobil.

Aku membuka pintu mobil dan bertanya, "Di rumah kamu ada siapa, Mark?"

"Semua lengkap," jawabnya santai. "Ayo ih nanti lo masuk angin."

Aku merasa seperti gelandangan yang ditemukan Mark di jalan. Ini nggak bener. Aku seharusnya nggak ke rumah Mark. Tapi aku gak mungkin juga pulang ke rumah. "Mark," panggilku.

Mark mengurungkan niatnya yang ingin memasuki rumah. Dia membalikkan badannya. "Baju aku bener-bener basah," kataku. "Mending kamu ambilin aku handuk dulu terus baru aku masuk. Aku gak mungkin jalan dengan keadaan kayak gini. Lantai kamu bakalan basah semua."

Laki-laki keturunan Kanada itu menjentikkan jarinya. "Ya udah. Bentar ya, gue ngambil handuk dulu." Mark menghilang dari pandanganku. Aku bersandar pada mobil Mark yang sama basahnya denganku.

Aku sudah gila. Sedih boleh, tapi kenapa harus ujan-ujanan sih? Bodoh banget.

"Han," panggil Mark. "Nih handuk." Dia memberikan handuknya padaku. "Gue udah bilang ke mama. Beliau lagi nyanriin baju buat lo. Ayo masuk."

Mark baik. Begitu juga keluarganya. Masuk ke kediaman Lee terasa seperti bagian dari keluarga Lee. Mamanya Mark benar-benar meminjamkan—tidak maksudku memberikan bajunya karena kebetulan mamanya punya toko pakaian. Mark juga langsung disuruh mamanya untuk membuat sup instan untukku. Papanya Mark selalu mencairkan suasana di ruang keluarga. Rasanya seperti keluarga yang diidamkan semua orang.

Hanya saja pikiranku selalu tertuju pada Haechan. Memikirkannya membuatku tidak bisa menikmati keadaan seperti ini.

Ting!

Oh ponselku tidak mati.

Di mana?
Kata ibu kamu belom pulang dari supermarket
Aku di rumah kamu

enigma [ haechan ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang