T. A Date

4K 682 33
                                    

"Hanaa ! Ada apaan nih?"

Aku ikut melihat apa yang dilihat Runa. Kemudian bibirku membentuk senyuman. "Dari Haechan. Gak boleh minta!"

"Yeee, siapa juga yang mau minta?"

Aku tertawa menanggapinya. Setelah olah raga tadi, rasanya ingin cepat-cepat ke kelas karena penasaran sama apa yang dibawa Haechan. Nyatanya, laki-laki itu benar-benar memberikan kebab.

"Run, ada catetan kecilnya ih! Gemes," kataku. "AaaaAaaA diajak nge-date !!"

"Ikut," kata Runa sembari memasukin baju olah raganya ke dalam tas kecil. "Mau nge-date sama Haechan juga."

Aku memicingkan mata. "Gak! Kan aku udah bantu kamu deket sama Jeno. Gak usah deket-deket Haechan."

Runa duduk dan menghela napas. "Kayaknya dia ramah ke kamu doang ya, Han. Dia cuek banget, kesel."

Tawaku pecah begitu mendengar penuturan Runa. Lee Jeno orangnya ramah, tapi memang sulit untuk dekat dengan orang baru. Sejujurnya, aku juga nggak begitu dekat sama dia. Tapi nggak tau kenapa dia ramah waktu aku nyapa dia. Mungkin karena dia teman dekat Haechan juga.

"Semuanya butuh waktu, Runa," balasku. "Atau mau sama adik kelas? Chenle? Kakak kelas gimana? Kak Winwin?"

"Sukanya Jeno," kata Runa dengan samar karena dia menenggelamkan kepalanya di meja.

"Pasti pipinya merah nih."

"Hana !!"

Masuk ke kelas, aku mendengar ponselku berdering dan kemudian berhenti. Aku melipat jas labku dan menyimpannya dalam tas. Setelah itu, mendudukan diri dan memeriksa ponselku.

"Ayo pulang," kata Runa. "Eh lupa. Mau kencan ya?"

Aku terkekeh mendengarnya. "Iya. Kamu duluan aja. Hati-hati!"

Runa meninggalkan kelas dan aku kembali terfokus pada benda persegi panjang di tangan. Ada lebih dari 50 pesan dari Mark, 20 panggilan tidak terjawab dari Mark juga, 5 kali panggilan tidak terjawab dari ibu, dan 3 kali panggilan tidak terjawab dari nomor tidak dikenal.

"Hana."

Aku mengangkat kepalaku begitu mendengar suaraku terpanggil. Di pintu kelas ada Mark. Wajahnya berkeringat. Ekspresinya sulit dijelaskan. Dia seperti habis berlari.

"Han, ke mana aja?" tanya Mark.

"Abis dari lab," jawabku. "Kenapa? Haechan mana? Mark, lucu banget deh dia bikin note—"

"Ikut gue ya?"

"E-eh? Ngapain? Nanti Haechan marah ah."

"Gu-gue disuruh Haechan kok."

Mark gugup. Mungkin karena dia lari-lari ke sini. Oke gak apa-apa kalo memang disuruh Haechan. Berarti kejadian waktu itu nggak bakal keulang lagi dong?

Aku keluar sekolah, dengan Mark tentunya. Dia bawa mobil. Mobil yang sama kayak waktu dia anter aku ke rumahnya—ketika hujan. Di dekat sekolah, tepatnya di depan kedai Bibi Shin, ramai sekali dengan orang. Ada polisi juga di sana.

"Ada apa tuh? Kecelakaan?" tanyaku pada Mark. Beberapa detik menunggu jawaban, tapi Mark tidak juga membuka mulutnya.

Tapi nggak ada korbannya. Mungkin sudah dibawa ke rumah sakit dan polisi masih mengurus kecelakaannya.

Aku bersandar pada kursi. Kemudian membuka ponselku.

Haechan

Di mana?
Aku sama Mark nih

"Siapa yang sakit?" tanyaku begitu mobil milik Mark memasuki pekarangan rumah sakit. "Haechan lagi jenguk temennya?"

Lagi-lagi Mark tidak menjawab. Aku keluar dari mobil ketika Mark membuka pintunya. Dia berjalan dengan tergesa-gesa. Sampai di tempat resepsionis, dia bertanya letak UGD dan kembali berjalan tergesa setelah mendapat jawabannya.

Mark memberikan pelukan hangat kepada wanita paruh baya di depan UGD. Wanita itu menangis dan sepertinya Mark juga ikut menangis.

Tunggu, ada apa sih?

"Ha-Hana ya?" Suara wanita itu bergetar ketika menyebut namaku. Aku mendekat dan melihat wajahnya. Mirip Haechan. Ngomong-ngomong dia ke mana sih?

Wanita itu memelukku. Walaupun belum mengerti situasinya, aku tetap membalas pelukannya sambil melihat Mark yang mengusap matanya yang merah.

"Siapa?" bisikku pada Mark.

"Mamanya Haechan," jawabnya dengan berbisik.

Aku mengelus punggung yang ternyata adalah orang tua Haechan. "Kenapa tante?" tanyaku.

"Hae-Haechan," ucapnya lirih.

"Aku belum ketemu Haechan, tante. Aku gak tau dia di—"

"Han," panggil Mark. Aku menoleh dan melihat apa yang Mark tunjuk. Kaca pintu UGD. Ada seseorang di sana.

Aku menautkan alis. Maksudnya apa? Ma-maksudnya? Ja-jangan bilang Haechan...

Pelukan pada Nyonya Lee aku lepaskan. Berjalan lemas kearah pintu UGD dan menyesuaikan netraku pada pencahayaan di sini, dengan maksud memastikan siapa yang di dalam sana.

Memang tertutup orang-orang yang mengurusnya, namun memang jelas bahwa orang yang berbaring di dalam sana adalah seorang laki-laki yang sudah pasti bernama Lee Haechan. Napasku tercekat. Apa-apaan ini? Haechan bilang nanti kita mau kencan. Kenapa sekarang malah di rumah sakit?

"Ma-Mark, bukan Haechan," kataku dengan suara bergetar. "Mirip aja kan, Mark? Kan kita punya 7 kembaran di dunia."

Aku melirik Nyonya Lee yang kembali menangis sendiri. Kemudian menatap Mark yang terlihat lemas. Dia mendekat.

"Bukan dia kan?" tanyaku. Namun seakan memori diperjalanan menjawab semuanya. "Di-di depan—" Aku menggantungkan kalimatku dan menatap Haechan yang sedang berbaring di sana.

"Haechan," panggilku lirih. Air mataku jatuh. Aku sedih, sangat. Kehilangan Haechan untuk Rizu aku tidak masalah. Kalau kehilangan Haechan untuk selamanya aku belum siap atau bahkan tidak akan siap.

"Mark," panggilku. Aku memeluknya, meneteskan semua air mata ketakutan juga kesedihanku pada kaos putihnya. "Mark hari ini kita mau kencan," kataku. "Mark..."

enigma [ haechan ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang