U. Hai, Haechan

4K 679 28
                                    

Semalam Hana pulang bersama Mark. Perempuan itu tidak berhenti menangis, bahkan ketika pasokan air matanya sudah habis. Mark sendiri tidak bsa berbuat banyak. Dirinya juga merasakan hal yang sama seperti apa yang dirasakan Hana.

Mark tidak membiarkan Hana masuk sendiri ke dalam rumahnya. Ia pasti akan diintrogasi dengan orang rumah dan mungkin yang perempuan itu lakukan hanyalah menangis, meninggalkan tanda tanya besar pada orang-orang di sana. Di sini, Mark berperan sebagai orang yang akan menjelaskan semuanya ketika Hana memilih untuk mengurung diri di kamarnya.

Dugaan Mark tidak salah. Hana meninggalkannya di dalam mobil untuk memasuki rumah dan dari luar terlihat Hana yang mematung di depan pintu. Mark buru-buru keluar dari mobil dan menyapa orang rumah.

"Lo ke kamar aja deh," kata Mark. "Biar gue yang cerita ke mereka."

Hana pergi ke kamarnya, sedangkan Mark duduk di sofa bersama kedua orang tua Hana dan adiknya. Laki-laki itu menceritakan semuanya yang membuat orang tua Hana kaget. Bahkan ibunya Hana terlihat ingin menangis.

Sebelum pulang, Mark meminta izin untuk menemui Hana di kamarnya. Pintu bercat putih itu terkunci. Di dalamnya terdengar suara tangisan kecil. Ia mengetuk pintu.

"Han," panggil Mark. "Hana, gue pulang ya," katanya. "Lo... jangan di kamar terus. Jangan lupa makan. Jangan lupa mandi juga. Besok harus tetep sekolah. Pamit ya, Han."

Paginya Hana benar-benar masuk sekolah. Matanya bengkak. Malam itu Hana tidak bisa tidur. Pikirannya hanya tertuju pada Haechan yang sedang berbaring lemah di ranjang rumah sakit.

"Kenapa lo?" tanya Runa. "Abis nangis ya? Ayo ngaku!"

Hana ingat pesan dari Mark, katanya jangan beritahu siapa-siapa tentang ini. Ibunya Haechan sendiri belum bercerita pada Rizu.

"Semalem sibuk nonton drama," jawab Hana.

"Hih, kebiasaan," balas Runa. "Ajak-ajaklah biar bengkaknya berdua, hahaha."

Hari ini berjalan seperti biasa. Pembelajaran tetap berjalan. Haechan dan Mark juga masih dalam skorsnya, jadi tidak ada yang bertanya mengenai mereka. Kalau Haechan tidak kecelakaanpun Hana akan tetap merasakan sepi karena laki-laki itu tidak di sekolah. Namun sekarang, rasanya sepinya begitu terasa karena Hana tahu apa yang sedang dilakukan Haechan.

"Mark, di mana?" tanya Hana melalui panggilan suara.

"Di rumah sakit. Kenapa?"

Hana bergumam. "Sekolah pulang cepet. Ada rapat besar."

"Ooh gitu."

"Aku mau ke sana, Mark."

"Emang—"

"Aku udah bilang ibu. Runa udah pulang duluan. Aku mau ke sana."

"Sendir— e-eh ya udah, tunggu di sana. Gue jemput."

Kemudian panggilan terputus. Hana menghela napasnya dan bersandar pada dinding kedai milik Bibi Shin. Sebelumnya ia mampir ke sana. Ingin membeli makan, juga ingin mengetahui kronologi kecelakaan Haechan.

"Haechan lagi nyebrang. Terus ada pengemudi gila yang bawa mobilnya cepet banget. Rasanya baru sekali kedip terus Haechan udah ketabrak. Saya kaget banget. Badannya kelempar gitu. Nggak jauh sih, tapi y-ya gitu. Saya tetep panik lah ya."

Badan milik Haechan terlempar begitu bertabrakan dengan mobil. Kata Bibi Shin tidak jauh, tapi pasti buruk karena nyatanya kepala Haechan mengalami pendarahan. Hana segera menggeleng begitu pikiran negatif tiba-tiba muncul. Ia kembali duduk di kursi kedai Bibi Shin sambil menunggu Mark datang.

Hari ini sudah mulai sore. "Hai, Haechan," sapa Hana pada tubuh yang terbaring lemas di ranjang. "Kamu gak mau bangun?" tanyanya.

Haechan masih belum sadar juga paska operasinya. Hana, juga Nyonya Lee, Mark, dan beberapa orang yang mengetahui kecelakaan Haechan, berharap bahwa Haechan masih dalam pengaruh obat bius. Hana takut. Hana takut semuanya tidak berjalan lancar walaupun dokter sendiri yang bilang kalau operasinya sukses.

"Aku tadi mampir ke kedai Bibi Shin," kata Hana. "Dia cerita tentang kecelakaan kamu." Hana menghela napas. Ia ingin menangis, tapi menangis tidak mungkin membuat Haechan sadar. "Kamu tuh," Hana menggantungkan kalimatnya. Ia tertawa sebentar. "Kamu ada-ada aja sih," katanya.

"Haechan, ayo bangun..."

Hana tidak bisa apa-apa selain berdo'a. Sekeras apapun ia menangis sampai meminta Haechan untuk bangun, jika Tuhan tidak berkehendak, maka tidak ada Haechan yang sadar.

Perempuan itu sadar. Barusan tangan milik Haechan bergerak. Ia terkejut. Hana semakin terkejut ketika mendengar suara erangan kecil milik Haechan. "Haechan," lirih Hana. Hana ingin segera memeluk Haechan tapi akal sehatnya masih berjalan. Ia menekan tombol untuk memanggil perawat dan perawatpun datang bersama seorang dokter.

Hana keluar. Ia berkabar dengan Ibu Haechan yang sedang berada di rumah, juga Mark yang katanya sedang berada di jalan menuju rumah sakit.

Bibir milik Hana membentuk senyuman. Ia menutup wajahnya. "Terima kasih," katanya.

hai... jadi aku ngerasa nggak bisa lanjutin cerita ini. tapi aku masih pgn nulis kelanjutannya.

ini cuma perasaan selewat aja kan ya?

enigma [ haechan ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang