X.

3.9K 677 35
                                    

Kalian percaya kalau hujan menyimpan banyak kenangan? Apa kalian berpikiran sama sepertiku kalau hujan bisa menyembuhkan?

"Kamu tau jalan ini?" tanyaku pada Haechan. Sepertinya dia sedikit bergumam tapi tidak begitu terdengar bahkan ketika hujan sudah mereda ini.

"Tau!" serunya. "Jalan ke rumah lo, kan?"

"Kamu ingat?!" Sontak aku menoleh kearahnya. Yang kulihat hanya dirinya yang tertawa dan menggeleng.

"Nggak ingat," jawabnya. "Tapi kita mau ke rumah lo, iya kan?"

Aku tertawa dan mengangguk samar. Ternyata memang sulit untuk membangkitkan memori yang masih terlelap. Aku benar-benar tidak tau harus apa lagi. Aku rindu Haechan.

Kaki kami masih berjalan seirama seiring hujan mengguyur kota. Haechan masih memegang payungnya dan tangannya yang bebas masih merangkulku. Katanya dia takut Mark marah kalau aku sampai sakit. Hujannya memang tidak sederas tadi, tapi suhunya terasa dingin.

Sampai tibalah kami di dekat halte bus. Ini halte bus yang saat itu menjadi saksi ketika Haechan bertemu dengan Rizu. Kenapa harus di halte bus dekat rumahku sih?!

Kakiku terpaksa berhenti karena tangannya yang merangkulku terlepas. Air hujan sempat menyentuh kepalaku. Aku berbalik dan melihat Haechan mematung. Sorot matanya terlihat kebingungan seraya menatap halte bus yang berjarak lebih dari 10 meter. "Haechan?" panggilku.

Dia tetap diam. Aku menyentuh tangannya yang dingin dan menggoyangkannya. "Chan?" panggilku lagi.

Yang terjadi selanjutnya adalah tubuh Haechan yang lemas dan jatuh mengenai tubuhku. Oh ayolah! Aku gak pernah menyiapkan semua ini! Lagi pula tubuh Haechan lebih besar—aku gak mungkin kuat!

"H-Haechan! Jangan pingsan!" Aku berusaha membuat dirinya berdiri. Tapi tetap saja sulit. Tubuhnya lebih besar dariku dan saat ini dia sama sekali nggak menopang berat badannya sendiri. Dengan susah payah, aku membawanya ke pinggir—dekat sebuah toko pakaian. Kami berteduh di sana dan aku melipat payungku.

"Haechan, kamu kenapa?" Aku ingin menangis. "Haechan, bangun dong! Aku gak kuat bawa kamu ke rumah kalo kamu pingsan!"

Aku menangis. Tidak lama karena akal sehatku sudah kembali muncul. Aku merogoh saku dan mengambil ponselku.

"Kenapa?"

"M-Mark..."

"Lagian kenapa jalan sih?! Kenapa kamu gak naik bus dari sekolah? Kamu tau kan kalo Haechan masih dalam waktu pemulihan?!"

Ibuku berteriak tidak percaya ketika ada 3 orang remaja yang datang dan salah satu dari mereka pingsan. Setelah aku mengganti bajuku, ibu masuk ke kamar dan langsung memberikan pertanyaan bertubi-tubi.

Mark yang membawaku dan Haechan ke sini. Untung saja dia masih di sekolah jadi jaraknya ke rumahku tidak terlalu jauh. Dia ada ruang tamu. Di sana juga ada Haechan yang masih belum sadar.

"Aku nggak tau kalo dia bakal pingsan, bu," jawabku. "Dan aku kan biasanya memang jalan kaki."

Ibu berjalan mendekatiku. Beliau mengelus rambutku dan berkata, "Ya udah. Sana temenin temen kamu."

Aku keluar kamar dan menemukan Haechan yang masih menutup matanya. Sedangkan Mark sedang berbaring dengan mata tertutup. Sepertinya dia kelelahan.

"Mark," panggilku. Dia membuka matanya dan bangun dari tidurnya. "Mau makan?"

Mark diam. Dia melarikan jarinya ke rambut halusnya. "Mau makan nggak?" tanyaku lagi.

Laki-laki itu mengangguk dan berjalan masuk ke dapur. Mark menuang air minum ke dalam gelas, kemudian meneguknya. "Aku tau pasti ada yang gak beres," katanya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Aku pengen nganter kamu sama Haechan. Tapi kayaknya kamu pengen banget berdua sama dia. Perasaan aku udah aneh dan ternyata emang bener ada kejadian yang gak terduga." Tangannya digunakan untuk menopang wajah kecilnya. Dia gemesin ya.

Aku menarik kursi di depan Mark dan duduk di sana. Suara air yang mendarat di gelas menemani keheningan yang kali ini tercipta. Aku meneguknya. "Maaf," kataku.

Mark tertawa renyah. "Nggak apa-apa kali," ujarnya. "Yang penting sekarang kita udah di sini."

Aku tersenyum. Tanganku terulur untuk membuka tudung saji yang menutupi masakan ibu. Segera saja aku mengambil dua piring, satu untukku dan satunya untuk Mark.

"Kak." Aku menoleh dan mendapati Ethan yang memasuki dapur. "Berduaan aja. Nanti pacar kamu marah loh," katanya.

Aku menatapnya sinis. "Nggak beruda, kan ada kamu."

Ethan tertawa dan ikut mengambil piring. Dia mengambil spagetti yang ada di meja. Setelahnya, dia duduk dan berdeham.

"Kak Haechan lagi duduk," katanya.

Aku menatap Mark yang sedang menatapku. "A-apaan sih? Kamu jangan bangunin dia, Ethan."

Ethan menghela napasnya. "Ngapain juga aku bangunin orangn yang pingsan? Kak Haechan beneran—"

"Han."

Kami bertiga menoleh ke sumber suara. "Astaga," ucapku.

"Dibilangin malah nggak percaya," kata Ethan.

"Haechan..."

kalian kangen aku atau kangen haechan?hihi

enigma [ haechan ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang