[18] Really?

155 36 4
                                    

Seongwoo berlari menyisiri koridor untuk menuju ke sebuah ruangan. Tepatnya ia akan mendatangi ruang multimedia. Tempat dimana mahasiswa yang sedang pkl berkumpul untuk sementara.

Sehabis mengisi pasokan energi di kantin, Seongwoo dengan buru-buru berlari menuju ke ruangan itu. Sampai rela meninggalkan dua sohibnya yang refleks ternganga saat melihat sikap Seongwoo.

Sesampai disana, hanya ruang kosong yang dapat Seongwoo lihat. Tidak ada satupun mahasiswa tersisa.

Seongwoo menghela napas panjang. Tak lama, ia merasakan getaran dari handphonenya yang berada di saku seragam.

Bobby is calling...

Ngapain dah ini bocah nelpon gua? batin Seongwoo.

Karena Seongwoo kepo, alhasil dia langsung ngegeser ke kanan buat ngejawab panggilan dari Bobby.

"Ngapain dah lo--Kak Irene??"

Mata Seongwoo menatap ke depan. Kebetulan sekali. Orang yang ia cari akhirnya ia temukan juga.

"Woi songong, ini gua Bobby bukan Bu Irene," sahut Bobby dari seberang sana.

"Ck, iyaiya gua tau, brisik ah," jawab Seongwoo sambil berjalan ngikutin Irene dari belakang. "Ngapa dah lo nelpon?"

"Ini kita mau balik cui. Lo kalo masih lama kita tinggalin, makanan lo juga ntar jangan lupa dibayar," jelas Bobby.

"Yaudah sana lo pulang aja. Gua bisa balik sendiri anjir. Lagian kan yang suka nebeng itu lo, bukan gua," ucap Seongwoo.

"Sialan lo! Kalo ngomong suka bener aja," tawa Bobby terdengar jelas di telinga Seongwoo.

"Bacot."

Tanpa banyak omong, Seongwoo langsung matiin sambungan teleponnya sama Bobby sambil ngegerutu kesal, "Beginilah definisi teman laknat. Kecilnya dikasih makan apa sih?"

Seongwoo memasukkan handphonenya kembali ke saku seragam. Matanya lalu mencari-cari sosok perempuan yang daritadi dia ikuti. Nihil. Malah nggak ada.

"Gara-gara si Bobby ah gua kehilangan jejak Kak Irene," gumam Seongwoo sambil terus menyisiri koridor kelas 11, siapa tau dia bisa nemuin Irene.

Setelah lumayan lama berjalan sambil melihat ruang kelas yang masih terbuka, tepatnya di ujung koridor perbatasan antara gedung kelas 10 dan 11, Seongwoo menemukan Irene. Cowok itu tersenyum senang. Hatinya juga bersorak gembira. Seperti menemukan sebuah permata yang telah lama hilang.

Namun, hatinya mencelos seketika saat melihat Irene menangis sesenggukan disana. Sendirian. Duduk di bangku yang ada di perbatasan gedung.

Seongwoo melangkah perlahan. Maksudnya ingin menenangkan Irene. Padahal jauh dalam lubuk hatinya dia penasaran kenapa Irene bisa menangis sampai sesenggukan seperti itu.

"Kak Irene?"

Irene terlonjat kaget. Meneguk salivanya lumayan susah. Dia gak langsung menoleh, menyeka dulu air mata yang membasahi pipi.

"Seongwoo? Ada apa?" tanya Irene dingin.

"Kenapa belum pulang?"

Oh, shit. Kenapa Seongwoo malah menanyakan hal itu? Pertanyaan yang gak berbobot dan ngebuat dia nepokin mulutnya berkali-kali.

"Saya belum dijemput," jawab Irene datar.

Hng, masih aja saya-sayaan sih, Mbak, batin Seongwoo.

"Yaudah, pulang bareng aku aja ya?" tawar Seongwoo.

Irene menatap Seongwoo. Tatapan yang nggak seperti biasanya. Ada sebuah kesedihan yang dapat Seongwoo lihat.

Namun sekarang bukan waktu yang tepat buat Seongwoo nanyain Irene lagi kenapa atau habis ngapain. Bisa-bisa rencananya buat lebih dekat sama Irene gagal karena kekepoan yang melandanya.

Irene tersenyum tipis dan mengangguk. Seongwoo membulatkan kedua matanya. Kaget. Gak percaya. Kok bisa? Seriusan?

Secara terus-menerus ia bertanya seperti itu didalam hati sambil mencubit tangannya bahkan sampai nabokin pipinya. Dan sekarang Seongwoo percaya apalagi saat Irene ngomong dan berdiri di sampingnya.

"Kamu kenapa? Kok daritadi aku lihat nepokin pipi terus?" tanya Irene.

Seongwoo makin sulit percaya pas Irene gak saya-sayaan lagi. Hatinya bersorak gembira sampai gak sadar mengukir senyuman yang luwes banget.

"Seongwoo?" panggil Irene.

"Hah?" Seongwoo menoleh ke Irene masih dengan senyuman.

"Kamu kenapa? Tadi aku liat nepokin pipi terus sekarang malah senyum-senyum gak jelas," jelas Irene. Dia nempelin punggung tangannya ke kening Seongwoo, "Gak panas tuh."

Seongwoo bagai disengat listrik saat Irene menyentuh keningnya. Yaiyalah. Ini pertama kalinya Irene gituin Seongwoo. Setelah sekian lama menunggu, walaupun cuma nempelin punggung tangan, akhirnya Seongwoo merasakan tangan cantik Irene menyentuh wajahnya.

Seperti sebuah mimpi. Tapi ini bukan mimpi. Ini nyata. Seongwoo yang awalnya pengen ngebaperin Irene, malah dia yang tambah baper. Hih ciut juga hatinya.

Cowok itu gak bisa berkata-kata lagi. Bahkan ia lupa Irene tadi mengatakan hal apa. Seongwoo sudah terlalu blushing.

Irene malah kesal karena Seongwoo dari tadi diam aja. Ditanyain, diam. Berusaha diajak ngobrol, diam juga. Dulu malah cowok itu yang suka ngajak Irene ngobrol sampai bahas hal yang gak penting ke Irene.

"Jadi pulang gak?" tanya Irene sambil ngecubit pelan perutnya Seongwoo.

"Aww!! Iya iya, Kak, jadi. Yaelah pake dicubit," ringis Seongwoo.

Irene tertawa kecil. Seongwoo menyadari hal itu dan ia tersenyum tipis, ya setidaknya dia melihat pelangi setelah hujan. Walaupun mata Irene masih terlihat merah.

"Bodoamat, siapa suruh kayak orang gila?"

"Ceilah, Kak, nyelekit banget sih. Baru aja aku terbang eh malah dijatohin," kata Seongwoo.

"Hah? Kapan aku nerbangin kamu?" tanya Irene.

Seongwoo tersenyum pasrah. Irene emang gak sadar atau beneran gak tau? Rasanya Seongwoo pengen menenggelamkan diri ke kolam ikan yang ada di belakang gedung kelas 12.

Tapi nggak jadi soalnya Irene sudah terlebih dahulu menarik tangannya dan menyeret Seongwoo agar cepat berjalan. Sedangkan Seongwoo hanya bisa pasrah berjalan dengan keadaan jantung yang lagi jedak jeduk.



















Dalam perjalanan pulang mengantar Irene, mereka berdua hanya bisa diam. Menikmati angin dan jalanan yang cukup ramai sore ini.

Sampai macetpun melanda dan ngebuat Seongwoo kesal parah. Padahal dia sudah berusaha buat cepet-cepet supaya kehindar macet. Namun nihil. Dia sekarang kejebak macet.

Kesalnya juga gak jadi soalnya baru inget lagi boncengin bidadari di belakang.

Iya gengs. Seongwoo hari ini sekolahnya pakai motor. Awalnya dia ragu juga ngajakin Irene pulang bareng naik motor dia. Tapi, mumpung bidadarinya gak nolak kayak biasanya, ya sudah.

Setelah kemacetan berlangsung sekitar 15 menit, akhirnya lalu lintas kembali pulih dan Seongwoo bernafas dengan lega.

"KAK, MAAF YA PULANGNYA AGAK TELAT NIH GEGARA MACET," ucap Seongwoo berteriak supaya Irene bisa dengar.

Irene diam aja dibelakang. Antara gak dengar atau males jawab.

"KAK??" panggil Seongwoo.

"HAH KENAPA??" sahut Irene mencodongkan badannya ke Seongwoo. Untung aja ada tas yang ngehalangin. Kalau nggak ada? Ya Seongwoo tercekat.

"MAU MAMPIR MAKAN DULU GAK??"

Irene berpikir lalu pada akhirnya nganggukkin kepala, "BOLEH DEH."

Seongwoo makin senang lah. Soalnya kali ini Irene benar-benar enggak nolak ajakan dia. Mulai dari ngajak pulbar dan ngajak makan sebelum pulang. Terus tentang Irene yang udah nggak pakai saya-sayaan lagi.

Apakah Irene mulai welcome dengannya?

Bahagia walau sehari doang itu sangat berkesan. - Seongwoo Raditya, 2k18.





++

HALOOO HEHEHE

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 04, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

How LuckyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang