***
Seorang pria berbadan atletis tengah menikmati indahnya pemandangan pagi di atas balkon. Seraya menyeruput kopinya, pria itu mengeluh berulang kali.
Dia memikirkan, tentang bagaimana pernikahannya akan berlanjut.
"Hampir beberapa bulan aku bersamanya, tapi tak ada perkembangan sama sekali."
Di samping tugasnya sebagai prajurit, dia tak seperti rekan-rekannya yang keras. Dia garang saat bertugas, namun dia punya sisi yang sangat lembut.
"Akankah ... aku harus mengakhiri pernikahannya dengan Amelia?" tanya pria itu menerka-mereka. "Tapi aku bisa menanggung malu jika terjadi sesuatu padaku juga Amel."
Mengingat ia dengan Amelia hanyalah suami istri di atas kertas, tentu dia tak mau perasaannya terombang-ambing.
Pria itu mulai mengepalkan tangannya, seolah menahan sesuatu pada dirinya.
[Pokoknya aku akan memperjuangkan diriku dengan Amel. Jika memang aku siap untuk cerai darinya, aku akan lakukan.]
***
Menjadi seorang dokter membutuhkan etika yang baik dalam menangani pasien. Namun sebagai co-ass, Amelia sering kelepasan dan melupakan namanya aturan kedisiplinan. Ya, dia dituntut bersikap ramah di depan umum, tetapi ketika memasuki waktu senggang, dia melepas semua itu.
Di ruang co-ass, Amelia sedang menonton pertandingan bulu tangkis tunggal putra antara Indonesia melawan Vietnam.
"Ya! Ya! Pukul lagi. Ya, sisi kanan. Kalahkan dia! Iya, angkat! Angkat!" jerit Amelia kegirangan.
"Keluarkan smash-mu! Jangan menyerah!" lanjutnya.
Matanya fokus pada layar ponsel. Dia memegang dengan baik ponselnya. Amelia tampak menunggu hasil seraya jantungnya berdegup kencang.
"YES!!!!!"
Wanita itu mulai bangkit dan meloncat-loncat di ranjang. Bahkan dia melemparkan ponsel miliknya begitu saja ke tempat tidur dan nyaris jatuh di lantai.
Meski demikian, jagoannya masih harus bertanding satu set lagi sebab belum ditentukan pemenangnya.
"Mel. Amel, plis. Jangan kayak orang gila gitu, bisa enggak?" tegur Rena, rekan satu co-ass-nya. "Alangkah baiknya jika kamu dirukyah dulu. Ada yang tidak beres dengan dirimu, Mel. Baru juga set pertama. Belum tentu menang kan? Bisa saja dia kalah."
Omelan Rena justru ditimpal oleh Amelia.
"Siapa kata tidak menang? Yang main itu Rio. Temen masa kecilku! Jangan perolok dia!" seru Amelia menunjuk, seolah tidak terima ledekan yang dilontarkan Rena.
"Heh. Kalau kamu sesuka itu sama bulu tangkis, mending enggak usah jadi dokter aja. Silakan urus pengunduran dirimu dan jadi atlit saja. Toh, gajinya juga banyak, kalau kamu menang." Rena menjulurkan lidahnya puas
"Dasar kamu! Teman tidak tahu diri!" seru Amelia kembali, melempar handuk kecilnya ke arah Rena.
"Justru itu! Usiamu juga masih produktif, 25 tahun. Kamu masih bisa jadi altit."
"Ish, sudah-sudah. Jangan bertengkar kalian berdua." Ika, salah satu sahabat mereka mencoba melerai.
"Hei, kita tuh harus jaga sikap. Selama kita co-ass, perlu yang namanya fokus kepada stase yang kita jalani sekarang."
Rena tampak menatap sebal Ika. "Mulai lagi dah burengnya."
"Sudahlah. Daripada disemprot dokter residen, mending kita lakukan tugas masing-masing. Gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hidden Truth Love (Cinta Sejati)
Romansa[Publish Ulang] * * * "Awalnya aku menganggapmu sebagai pria yang pengkhianat dan juga suka memanfaatkan orang. Tapi nyatanya ..." - Amelia Riyanti "Aku bodoh mengungkapkan sesuatu yang membuat kamu marah. Wajar saja karena kita belum saling kenal...