***
"PAK Farhan!"
Kebetulan sekali pria bermata sipit itu bertemu dengan Farhan saat di persimpangan jalan dekat Kopi Tiam, tidak jauh dari RS Sukabaru.
Saat itu Farhan berjalan lurus ke depan dan ketika dirinya dipanggil oleh seseorang, matanya menerawang ke seberang jalan dan melihat pria yang memakai jaket merah lengan panjang sembari membawa tas raket di punggungnya.
"Loh. Bukannya dia pemain bulu tangkis itu?" gumam Farhan ketika matanya masih menerawang.
"Eh, Rio!" Pria tinggi itu menyapanya senang dan menyebrang ke depan taman teras kafe untuk menghampiri Rio.
"Wah, ada apa memanggilku?" tanya Farhan merasa senang bertemu orang yang dia tolong sejak sebulan lalu.
"Ah, tidak ada. Saya hanya mau memanggil bapak aja. Eh ... karena wajahnya masih terlalu muda, apa boleh saya manggil kakak?" ucap Rio sembari terkekeh. Sementara Farhan hanya tersenyum dan menepuk pundak Rio dua kali.
"Panggil bapak juga boleh, panggil kakak juga boleh. Senyamannya aja."
"Jadi, aku manggil kakak saja. Hehe. Oh iya, kenapa kakak bawa tas koper? Kakak mau ke suatu tempat?" tanya Rio penasaran.
"Ah, ini? Nanti diceritakan. Yuk, kita masuk dalam kafe itu. Sekalian kita ngobrol."
Farhan mengajak Rio masuk dalam kafe yang di mana menu rekomendasinya adalah kopi paduan susu. Banyak diminati pengunjung.
Farhan memesan kopi susu dan roti susu toast sementara Rio hanya es teh. Tanpa ikut memesan makanan.
"Loh, kamu tak makan?" tanya Farhan menyadari.
"Ah, saya tidak lapar kok, Kak. Malah, saya cuma mau bertemu Kakak karena ada yang mau saya katakan," ujarnya agak gugup.
"Apa itu?"
"Ehh ..." Rio merogoh isi kantong jaket sebelah kirinya dan memberikan kartu Merah Putih pada Farhan. "Ini. Kukembalikan pada kakak. Saya merasa tidak enak memakai kartu ATM ini. Bukan apa-apa, sih. Cuma, sayanya aja yang gak enak."
Rio menyesap minumannya sebelum melanjutkan ucapannya.
"Lagipula kakak sendiri yang kasih ke saya. Bilang kalau saya harus makan supaya bisa minum obat. Saya hanya ngambil 100 ribu saja. Dan juga ... maaf saya kelupaan lagi."
Ia merogoh lagi isi kantong jaketnya di sebelah kanan dan mengeluarkan uang sisa kembalian yang ditariknya dari ATM.
"Saya cuma beli nasi padang sama air mineral. Habis itu tidak belanja apa-apa lagi. Maaf sudah membuat kakak kerepotan."
Uang 80 ribu di meja membuat Farhan hanya tersenyum lalu menyeret uang yang dikembalikan tadi pada Rio.
"Jangan merasa bersalah. Aku tahu kamu tidak enak karena memacari istriku, kan?" ujar Farhan hingga membuat Rio bergeming.
"Lagipula aku sudah menolong kamu. Jangan malu-malu. Silakan gunakan uang kembaliannya sesuka hatimu." Farhan berusaha agar uang tersebut jadi milik Rio seutuhnya.
"Terima kasih, kak."
Farhan menanggapi dengan senyuman cerah lalu memegang kepala Rio dan mengacak-acak rambut Rio seperti perlakukan kakak terhadap adiknya.
Rio juga tersenyum ketika mendapat perlakuan tersebut, hingga mereka saling melempar senyum.
"Nah, sudah ada uangnya kan? Belilah makanan," tawar Farhan.
"Pesan apa, Kak?
"Pesan roti toast seperti punyaku, Rio. Gimana?"
"Boleh tuh kak. Saya mau roti dengan daging sapi," ujar Rio bersemangat.
Farhan memanggil pelayan dan menambah roti toast lagi sesuai pesanan Rio.
Mereka masih saling bertukar pikiran sembari memakan roti toast mereka masing-masing. Rio merasa bahwa Farhan adalah "kakak" yang baik. Jarang sekali ia melihat seorang pria sebaik itu. Atau kebanyakan begitu? Tapi sifat-sifat biasa yang dimiliki orang-orang masih belum kalah dengan pria jangkung di hadapannya.
"Oh iya. Kak Farhan. Panggilan itu ... apa membuat Anda tidak nyaman? Apa menurut Anda, saya salah memanggil?" tanya Rio sedikit terbata-bata.
"Kenapa memangnya?"
"Soalnya wajah kakak ini loh ... awet muda gitu. Seperti umur 25 tahunan." Rio memuji ketampanan Farhan yang putih bersih, bahkan merasa malu bahwa dirinya masih kalah sama Farhan.
Farhan hanya tertawa kecil mendengar ucapan Rio yang malah membuatnya tersenyum.
Rio kembali berujar. "Atau mungkin kita belum saling mengenal dengan baik? Kalau begitu, saya perkenalkan lagi ke Anda. Hai, nama saya Rio Yudistira. Saya lebih nyaman dipanggil Rio. Umur saya 28 tahun."
Perkenalan panjang dari Rio membuat Farhan tertawa melihat sikap Rio yang masih seperti anak-anak.
"Oke, sekarang giliranku. Namaku Farhan Heriyanto. Umur 31 tahun. Suami dari Amelia Riyanti, di mana istri saya adalah teman masa kecilmu dan juga mantan. Saya adalah seorang prajurit yang bertugas sebagai Pasiops, dan juga berpangkat Kapten."
Rio sangat takjub dengan perkenalan tersebut.
"Salam kenal, pak. Eh ... kak. Sekarang saya sudah tidak salah memanggil."
Rio lalu bertanya tentang koper yang dibawa Farhan dan pertanyaan itu belum terjawabkan oleh Farhan.
"Oh iya, sedari tadi saya penasaran loh. Bawa-bawa koper itu, ada apa memangnya, kak?"
"Hmm, ada sesuatu. Yah, dirawat di RS selama beberapa hari."
"Kenapa? Kakak sakit?"
"Sakit parah sih tidak. Tapi hanya penyembuhan oleh luka-luka tembak di tubuh kakak."
"Wah, jadi prajurit ternyata banyak risikonya, ya," ujar Rio menopang dagunya. "Entah kenapa aku jadi waswas kalau saja impianku sebagai tentara terwujud."
Farhan memegang erat tangan Rio sebagai penghiburan atas cerita-cerita yang membuatnya sedih.
"Dulu, aku juga merasa begitu. Sebelum menjadi tentara. Aku takut akan kehilangan nyawaku oleh sebuah tugas operasi. Tetapi nyatanya aku masih diberi kesempatan untuk hidup, karena aku berpikir bahwa aku akan pulang membawa nama. Dan hingga itu terjadi, aku terus dan terus mendapat gelar prajurit terbaik. Hingga mendapatkan jabatan. Tetap dengan itu, aku akan tetap mendapat tugas operasi.
Farhan menjeda ucapannya seolah bertanya kepada Rio dan membuatnya bergeming.
"Tergantung. Biasanya kakak akan ditugaskan ke suatu tempat dan sewaktu-waktu kakak bisa terluka."
Lalu Farhan menepuk dan mengelus pundak Rio sambil meneruskan kalimatnya. "Jadi, lakukan kewajibanmu dan jangan takut. Semua prajurit akan merasakan hal itu. Jangan merasa takut dan berjuanglah. Mengerti?"
Rio mengangguk dan Farhan menyungging senyumnya sekali lagi.
Mereka terlarut dalam pembicaraan yang panjang sehingga mereka terkejut roti toast dan minuman mereka habis.
"Kamu ... mau nambah lagi?" tanya Farhan menawarkan.
"Enggak usah kak. Kebetulan saya lagi ada latihan nih kak. Bentar lagi mau ke klub."
"Oh iya. Maaf. Untuk kartunya terima kasih, ya," ujar Farhan lalu menepuk pundak Rio sekali lagi.
"Iya. Aku permisi, ya kak."
Rio pun bangkit dan melangkah keluar dari kafe, sementara Farhan juga menyusul keluar sambil membawa koper ringannya itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hidden Truth Love (Cinta Sejati)
Romance[Publish Ulang] * * * "Awalnya aku menganggapmu sebagai pria yang pengkhianat dan juga suka memanfaatkan orang. Tapi nyatanya ..." - Amelia Riyanti "Aku bodoh mengungkapkan sesuatu yang membuat kamu marah. Wajar saja karena kita belum saling kenal...