Bagian 14

6.1K 121 2
                                    

Tak terasa waktu beranjak malam, Abi dan Steven terbangun bersamaan, sesaat setelah aku selesai sholat maghrib.

Mama terlihat lebih sumringah, lalu mengajak Steven keluar untuk berbicara serius

"Mama Kenapa?" Abi menatapku

"Entahlah," Aku menggedikan bahu

Aku menyuapi Abi dengan hati-hati, bubur yang dibawa Mama rupanya memang sudah disiapkan untuk jadi menunya malam ini.

"Kamu juga makan, Ra."

Aku tersenyum

"Urusan makan aku gak usah kamu kasih tau kali Bi, Kan akmu juga tau gimana aku kalau lapar." Aku menunduk, mengingat dulu saat dia membuatkanku Spagheti, rakusnya aku saat itu

"Kamu mau kupasakan apa lagi?"

Wajahnya mulai terlihat agak cerah

"Apa aja, yang kamu buat pasti enak."

"Nanti, kamu ya yang belajar masak, masak suami yang masak kamu yang nyari duit." Abi tertawa kecil, hingga hampir tersedak, aku menyodorkan segelas air padanya.

"Pelan-pelan." bisikku khawatir

Dia mengangguk, tersenyum padaku.

Tak berapa lama, Steven dan Mama masuk kembali, wajah mereka tampak tegang

"Ada apa Stev?" Tanyaku khawatir

"Enggak ada apa-apa Ra." Pria tengil itu menyentuh hidungku, sigap aku menghindarinya, dia terkekeh sendiri

Lalu pintu terbuka, aku terkejut ketika melihat sosok yang berjalan mendekat kearah kami

Segera kuhampiri Steven, dan bersembunyi dibalik tubuh itu

"Tenang Ra, tua Bangka itu gak bakalan ngigit." Steven menggenggam erat tanganku

"Jangan takut, Sayang. Om Winangun sudah menyadari semuanya. Dia gak bakal maksa kamu untuk menikah lagi dengannya." Mama tersenyum ke arahku

Aku terdiam, benarkah?

"Maafkan, Om Zahra, Om berbniat menikahimu agar Abi tak lagi bisa mendekatimu. Om tak sadar semua yang Om lakukan ternyata begitu menyakiti Putra Om satu-satunya."

Mata pak Winangun tak segalak dan seberingas dulu.

"Kamu mau kan Maafin Om, Zahra." Tanyanya lekat menatapku

Aku mengangguk, Steven tersenyum tengil, entah apa yang ada di pikiran bocah konyol itu

'Sayang, kamu harus sembuh, Zahra kamu kan sudah ada, kalau kamu sembuh, kita akan segera menetukan tanggal lamaran dan hari pernihakan untuk kalian berdua." Mama menarikku untuk mendekat pada Abi.

Desiran aneh terasa memenuhi dada, nafasku menjadi tak beraturan, mendengar kalimat lamaran dan pernihakan yang tadi dilontarkan oleh Mama Tania

"Tugas kamu sekarang merawat calon suamimu, Zahra, bantu dia agar cepat pulih, biarkan kami yang mengurus semuanya." Pak Winangun berkata tegas.

"Tapi, Om Malam ini Kami harus kembali ke Jakarta, soalnya aku besok ada ujian juga di kampus." sela Steven

Gaya banget dia, pake ngomong ujian segala, padahal yang aku tau dia tak pernah perduli pada pendidikan yang tengah ditempuhnya

"Oh, Iya silahkan, nak Steven, kami mengucapkanterima kasih, berkat kamu Zahra bisa kami temukan." Pak Winangun menjabat tangan Stev, Laksana seorang partner kerja.

Steven mengangguk tanda hormat

Ah, dia memang benar-benar manusia aneh, bisa berubah dalam sekejap

"Baik Om, Tante, aku dan Zahra pulang dulu." Stev menatapku

Aku menatap ke arah Abi, rasanya masih tak tega jika harus meninggalkan pria itu lagi

"Tenanglah, nanti kita kesini lagi." Stev seolah mengerti apa yang kupikirkan

"Baiklah." Aku meraih tas kecil yang kubawa

"Ma, aku balik ke Jakarta dulu ya." Dengan sedikit perasaan ragu kudekati Pak Winangun lalu berpamitan padanya.

"Hati-hati di jalan, Sayang." Mama mengusap kepalaku

Lalu kuberjalan menuju Abi

"Abu balik dulu ya, makan yang banyak biar cepet sembuh." bisikku ditelinganya

Abi tersenyum, wajahnya menyiratkan jika dia ingin selalu kutemani

"Cepatlah sembuh Bro! Karna aku takut jika kau terlalu lama berbaring disini, cewek ini akan jatuh cinta padaku." Stev mencolek daguku

Abi tersenyum, namun aku tau ada sirat khawatir di matanya tentang kedekatanku dan Stev

"Tidak akan pernah." ketusku

"Jangan salahkan jika nanti kau akan mengemis cintaku, nyonya Steven." Senyum Stev begitu penuh percaya diri

Kutatap wajahnya geram, memohon lewat sorot netra agar dia mau menghentikan aksi konyolnya iitu disaat akhir aku akn meninggalkan pria yang masih terbaring ini.

Steven justru tertawa renyah.

Terbuat dari apa hati lelaki ini. Dia sama sekali tak perduli aku begitu khawatir jika Abi berprasangka jelek pada kami.

Baru kali ini aku tak bisa tidur ketika naik kendaraan, wajah tirus dan tatapan lembutnya.

Abi, mengapa kita selalu berpisah disaat kau begitu membutuhkanku?

"Nyonya Steven, tumben kau tidak tidur?"

'Stev, plis aku tidak suka kau memanggilku nyonya Steven." Mataku melotot, tapi dia malah nyengir membalasnya

"Jika kau jadi Abi, apa kau marah melihatku dekat dengan laki-laki lain?" kuberanikan diri bertanya hal yang pasti membuat Stev mentertawakanku

"Maksudmu Abi cemburu padaku?"

"Tidak."

"Lalu?"

"Sudahlah, lagian itu bukan hal penting." Kualihkan pandanganku yang dipenuhi rasa khawatir

"Aneh." Stev bergumam, aku tak berniat membalasnya, mencoba memejamkan mata.

Stev memutar musik berirama mandarin, dengan fasih dia mengikutinya, Tanpa menoleh sedikitpun padaku.

Aku pun akhirnya terlelap juga, dan kembali terjaga saat tiba di depan gerbang Rumah Cantik Mami Luki.

"Terima kasih Stev." Aku turun tergesa

"Ra, Hal tadi jangan dipikirkan,"

Aku mengernyitkan dahi

"Jika kalian benar-benar jodoh, maka kehadiranku hanyalah ibarat sebutir debu, tak akan pernah punya makna, apalagi dianggap bisa menjadi duri penghalang niat suci kalian untuk menikah, itu hanya mimpi Ra,"

Aku tak menjawabnya.

"Sudahlah, istirahat sana, aku mau ketemu Mami Luki dulu."

"Mau ngapain?"

"Memperpanjang kontrak kamu." Cowok tengil itu nyengir tanpa rasa bersalah

Aku memasang wajah cemberut, membalikan badan untuk segera pergi

"Ra," Stev memanggilku

"Apa?"

"Kehadiranku akan punya arti jika saat ini kau pun menaruh hati padaku." Dia mengedipkan mata

Aku melengos, jengah. Ucapannya seolah menampar wajahku, ya, aku khawatir Stev, jika kami tak segera menikah aku takut, takut jika suatu saat aku..."

Bersambung.

AKU ZAHRA Where stories live. Discover now