Bab 20

3.7K 50 8
                                    


Menunggu Mami Luki mengijinkanku keluar dari rumah cantiknya memang gampang-gampang susah, Pak Winangun harus banyak melakukan perjanjian yang tidak kumengerti dengan wanita itu.

Yang aku tau, hanya Stevenlah pria yang berhak dekat bersamaku saat ini.

Abi sudah mulai membaik, dia mulai bisa duduk walau hanya sebatas untuk makan dan waktu-waktu tertentu saja, kami menunggu itu dengan sabar!

Menunggu agar kami segera bisa menyatukan ikatan suci ini, karena benar kata Ibu, jika tidak kemungkinan besar akan ada hal yang membuat hati ini goyah akan rasa yang begitu besar untuk hidup mendampingi Abi.

Kata dokter Abi akan segera bisa melewati masa sulitnya, itu pun jika tidak ada lagi hal yang mengganggu, apalagi jika terjadi benturan, atau kecelakaan lainnya. Hingga Mama Tania betul-betul sangat hati-hati dalam merawat Abi.

Bagi wanita itu Putra semata wayangnya itu ibarat berlian yang sangat berharga, tak berhenti dia memintaku untuk terus mensupport Abi, Terutama dengan rencana pernikan yang sudah disusun oleh kedua belah pihak.

Rasa bersalah memang tak bisa hilang dari hatiku, karena walau apapun yang terjadi, Abi seperti ini demi aku, dia mengorbankan dirinya untukku yang saat itu belum begitu dikenalnya. Dan rasa bersalah selalu muncul saat aku menatap wajah dan matanya yang terlihat sayu.

Abi tak pernah mnyalahkanku, dia merasa bahagia karena bisa melihatku kembali, baginya aku adalah segalanya, laki-laki itu terus berucap akan berusaha untuk sembuh hanya untukku.

Dengan telaten aku merawatnya, tentu saja atas ijin dari Mami Luki, dan Stev lah yang akan meyakinkan Si Mami untuk bisa membawaku keluar, entah apa yang diuacapkan Stev padanya hingga Mami begitu yakin jika Stev tidak akan membawaku kabur dari.

"Ra, aku rela tenggelam dalam lautan air mata, asal kau selalu tersenyum dan terus ada disisiku." Bisik Abi, setiap kali aku akan meninggalkannya.

Ya Allah, aku serahkan pada-Mu semua tentang alur dan langkah hidup yang akan kutempuh nanti!
Seandainya Abi tau, jika saat ini aku sedang menepis sebuah rasa yang akan sangat menyakitinya.

***

Walau ibu sangat tidak menykai Steven, namun tiak menyrutkan Steven untuk mendekat pada keluargaku, berkali-kali dia mengajakku untuk terus mengunjungi Ibu. Taka da sifat menyerah dalam kamusnya, itu yang disampaikannya padaku.

Konyol memang!

Tak tega rasanya ketika melihat Ibu memandangnya dengan sinis, seolah melihat hewan saja, ditambah tetangga dan keluarga pun sama saja, mereka sangat tidak menyukai Steven, bahkan untuk sekedar menjadi temanku.

Yang paling menyakitkan, Ibu selalu membuang Barang-barang yang pernah dipakai Stev saat berada di rumah, menurutnya, itu Najis, karena sebagai Non muslim Stev pasti sering menyentuh barang-barang haram, apalagi Stev pernah bercerita tentang anjing kesayangannya, Ibu juga melihat foto-fotonya di ponsel yang ditunjukan adik-adikku.

Bahkan bocah tengil itu, dengan senangnya menunjukan gambar saat dia berada di Bar, Duh! Stev, semakin benci saja Ibu dan keluargaku.

padanya, walau itu tak berlaku pada adik-adikku, mereka sangat sayang pada Stev, ternyata pikiran mereka jauh lebih maju dan dewasa.

Ibu bahkan menyaranku untuk mandi dengan air tanah laksana mensucikan diri dari najis mughaladoh, Ya Allah, Bu, Stev itu manusia bukan hewan yang mengandung najis dan haram untuk disentuh seperti anjing dan Babi.
Entahlah, tiba-tiba aku merasa dadaku sesak saat melihat tatapan ibu yang begitu penuh kebencian padanya.

Aku bahkan sampai hendak menjelaskan siapa sebenarnya Steven, dan berapa banyak jasa baiknya untukku.

Tapi stev selalu menolaknya.

"Nyantai aja Ra, nanti juga Ibu akan lebih menyayangiku dibanding kamu." Jawabnya santai, menjalankan mobil yang dikemudikannnya di hiruk pikuknya lajur ibu kota.

"Syukurlah, Kalau itu terjadi."

Kutatap mata cerah itu.

"Jangan baperlah." Ujarnya menyentuh ujung hidungku
Aku tak bereaksi

"Ra, sudah dengar Abi akan pulang minggu ini?"

"Serus? Kamu tau dari mana?" tanyaku cepat.

"Yaelah, Soal Abi aja antusias banget." Dia tersenyum kecut.

"Masa sih? Biasa aja kok." Balasku, menenangkan deburan dada yang mulai tak beraturan.

"Wajahmu gak bisa bohong Ra." Stev mencubit Pipiku yang mungkin kini merah merona.

"Ingatan Abi, belum sempurna Ra, dia masih harus banyak istirahat, dan Tante Tania sdang berusaha membangkitkan kenangan masa kecil Abi, yang mdah-mudahan bisa membuat ingatannya pulih."

"Kamu tau banyak juga."

"Iyalah, kan dokter Sandy Mahardika itu dosenku Ra. Jadi aku sering nanyain kondisi Abi pada beliau." Jelas Stev, tersenyum padaku

"Apa Abi bisa sembuh?"

"Bisa, kalau ditangani dengan baik, dan orang-orang yang merawatnya sabar. Menurutku, kamu juga harus bantu tuh, buat kenangan balik yang pernah kalian lakukan, tidur bareng misalnya." Stev melirikku nakal.

"Abi gak semesum kamu tau!" tukasku, Sebal.

"Yang mesum siapa yang disalahin siapa?" Balasnya

"Maksud kamu?" Mataku melotot
"Inget yang nyosor waktu aku tidur siapa?"

"Stev, Sumpah, saat itu aku gak ngapa-ngapain kamu kok!" Ucapku berharap dia percaya apa yang aku ucapkan.

Dia terkekeh geli.

"Yang nafsu menciumku di kafe siapa juga hayo?"

Aku tertegun, mengingat masa itu, Tuhan! Rasanya kau ingin menghilang saat ini juga.

"Gelinya masih berasa Ra, sampe sekarang." Stev menggigit ujung bibirnya, duh ingin rasanya melempar wajah mesumnya dengan gelas.

Sangat menyebalkan!

"Masih berani bilang aku mesum?" Kini tatapannya terlihat serius.

Aku tak menjawabnya
Memalingkan wajah yang bersemu merah ini darinya.

"Menikahlah dengan Abi secepatnya." Gumam Stev, mengangetkanku

"Apa?"

Kini Stev yang terdiam, matanya serius menatap padatnya jalanan, mengalihkan perhatianku.

"Stev, kita langsung ke rumah sakit ya, ada titipan ibu untuk Abi."
Steven mangangguk, entah apa yang ada di benaknya, tiba-tiba dia jadi pendiam

"Kamu baik-bakin saja kan?"
Lagi, dia mengangguk, tanpa melihat apa lagi tersenyum nakal padaku

Ah, rasanya perjalan terasa lebih lama, tanpa canda tawa bersamanya

bersambung.

AKU ZAHRA Where stories live. Discover now