Bab 16

5.1K 138 1
                                    

Pagi itu Steven datang menjemput, aku akan mengajaknya bertemu Ibu, karna Mami hanya mengijinkanku pergi bersama si tengil itu, sesuai dengan apa yang disarankan Pak Winangun

"Cantik sekali kamu pagi ini, Cinta." Mat Stev menatapku tak berkedip

"Bisa tidak matamu tak menunjukan betapa kotor isi kepalamu itu Stev?" Tak kuhiraukan pandangan nakalnya pagi ini

"Ayo jalan!" perintahku, saat sudah duduk disampingnya

"Bisa tidak kau sedikit saja bertingkah manis di depanku, seperti saat kau bertemu pacarmu, Si Abi?" Balasnya

"Laki-laki seperti kamu kalau di kasih hati minta jantung."

"Sorry Ra, aku tidak suka hati, apalagi jantung, aku lebih suka dada dan paha." Ujarnya terkekeh
Mataku menatapnya gemas, dia selalu pintar mengalihkan amarahku

"Kamu kira aku ayam goreng?' Geramku

"Bukan? Aku selalu menganggapmu wanita paling spesial, kalau tidak mana mau aku menemanimu pagi ini. Sayangnya, kau ini ibarat ponsel jadul yang tak mampu menangkap signal-signal cinta yang kutebarkan."
Stev tertawa sendiri, menyebalkan

"Sudah Ah, aku malas debat sama kamu, nyebelin."

"Tapi bikin kangen kan?"
"Hoek." Aku pura-pura mau muntah

"Pede banget kamu."

Stev tak membalasnya, hanya senyum yang diberikannya padaku.

"Itu apa?" tanyaku saat melihat beberapa bungkusan berserakan di jok belakang

"Itu oleh-oleh buat keluargamu."

Aku tertegun, ah aku saja tidak kepikiran untuk membawa oleh-oleh buat mereka, AH, si Tengil ini kadang memang membuatku baper.
"Tidurlah Nyonya Steven, perjalanan panjang ini akan membuatmu lelah." Tangan Stev mulai memutar musik, seperti biasa, ya Rhoma Irama yang tiba-tiba jadi artis favoritnya.

"Aku mau dengar lagu mandarin." Ujarku cepat

Lagi dia tersenyum, mengganti musik dan ikut bersenandung mengikuti lantunan lagu yang tak kutau artinya itu.

Dan aku kembali tertidur pulas

***
Ibu menangis ketika melihat kedatanganku, wanita sabar ini tak berhenti mencium dan memeluk tubuhku, kami menangis dalam keharuan serta kebahagian

Sesakali Ibu mengguncang bahuku, seakan-akan ibu tak percaya jika aku benar-benar tengah berdiri dihadapannya.
Setelah puas, baru ibu melirik kearah Steven

"Siapa dia, Nak?"

"Kenalkan Bu, ini Steven."

Steven mengulurkan tangan dan ibu menerimanya

Mereka bersalaman singkat

Lama sekali ibu meneliti keadaan Steven, hingga matanya tertumbuk pada kalung salib yang tergantung di lehernya.
"Dimana kalian bertemu?" Mata Ibu menyelidik
Aku tersentak, bagaimana kalau Stev menyatakan hal yang sesungguhnya pada Ibu

"Saya Sopir di tempat Zahra bekerja, Tante, Eh Ibu." Jawab Stev, agak gugup namun berusaha tenang

Aku tersenyum lega

"Oh. Jadi kamu udah lama kenal Zahra?"

"Iya, Bu, kami kerja di tempat yang sama." Kini Steven terlihat lebih santai

"Lain kali biarkan Zahra pulang sendiri, tidak usah dianterin sama kamu, tidak baik buat Zahra, dia sebentar lagi mau menikah." Suara Ibu jelas menggambarkan jika dia tidak suka terhadap Stev.

"Iya Bu, maaf."

"Ibu masak apa? Aku kangen masakan Ibu." Kupotong obrolan keduanya, tak enak rasanya melihat Ibu mencecar Stev dengan pertanyaan yang menyudutkan

"Oh iya, sampe lupa, ayo makan dulu." Ibu mengajak kami menuju meja makan, walau masih bersikap tidak suka pada Steven.

Stev memuji masakan Ibu, Pria itu makan dengan lahap, dia tak perduli dengan tatapan Ibu yang sangat jelas tidak mengingikan kehadirannya.

Stev ternyata mudah bergaul, dia begitu mudah dekat dengan adik-adikku, mereka seoalh sudah menenal Stev dalam waktu lama, apalagi Stev banyak membelikan hadiah hari ini, entah dia tau dari mana tentang keluargaku.

Terharu rasanya saat Stev mengajari Adik-adikku cara menggunakan memasang Lego, bocah itu sangat ahli membuat berbagai macam jenis benda dari mainan itu. Tentu saja adik-adikku begitu terkesan.

Aku menyaksikan semuanya, ketulusan yang diberikan Stev pada kami hari ini.

"Zahra, ikutlah, ada yang ingin ibu bicarakan."

Walau kaget, aku menuruti keinginan ibu untuk bicara di kamarnya.

"Siapa laki-laki itu?" Mata ibu menatapku lekat, seakan mencari kejujuran yang bisa sampaikan padanya.

"Stev temanku bu," Jawabku gagap

"Benarkah kalian hanya berteman?"

"Iya Bu, kami hanya teman, Stev banyak membantuku selama ini."

"Zahra, jangan bermain api, kau dan Abi akan menikah, Ibu mohon menjauhlah dari pria itu."

Aku tidak memahami ucapan Ibu

"Kalu begitu Zahra pamit Bu, kami diijinkan hanya untuk hari ini saja." Aku berdiri, padahal aku hanya menghindari pertanyaan lebih lajut dari Ibu.

"Baiklah, tapi Ibu harap kau segera mengundurkan diri, kita sekarang sudah punya perusahaan lagi, kamu tidak perlu bekerja, pesiapkan saja diri kamu untuk acara pernikahan nanti."

Aku mengangguk, lalu berjalan memanggil Steven

"Kita pulang stev."
"Sekarang?"

"Iya sekarang."

"Padahal aku masih betah disini, rumahmu nyaman, adik-adikmu lucu, aku suka." Senyuman tak lepas dari wajah imutnya

Aku hanya membereskan barang-barang

"Awas Stev, ponsel kamu tertinggal."

"Udah ada nih, Eh Ra, aku boleh ya kapan-kapan kesini lagi?"

Aku mengangguk

Kami berpamitan pada Ibu dan semua keluargaku.
"Kakak, jangan lupa nanti kmain lagi kesini ya." Faqih adikku yang baru kelas tiga SD merajuk
"Oke, Nanti Kakak main lagi kok." Stev mengusap kepala adik-adikku
Mereka tersenyum bahagia

"Zahra, ingat kata-kata Ibu, teguhkan pikiranmu, jangan bermain apai kalau kau tidak mau kita semua terbakat karenanya." Lagi ibu mengingatkanku

Stev tersenyum mendengar kata-kata yang keluar dari mulut ibu.

Rasanya masih tak tega harus berpisah kembali dengan keluargaku, namun apa daya Mami Luki tak mengijinkan kami menginap
Lambaian tangan mereka mengiringi laju pelan mobil yang dikemudikan Stev, pria itu terlihat sangat senang.

"Stev, maafkan sikap Ibu ya." Kataku, karna merasa tidak enak pada Stev hari ini

"Nyantai Ra, lagian ibu kamu itu belum mengenal aku, kalau sudah kenal, bisa-bisa dia ukut daftar jadi calon istriku." Stev terkekeh
Aku mencubit pahanya, gemas

Jemari Stev meraih tanganku yang mendarat di paha kirinya, ada rasa hangat yang menjalari aliran darahku saat jemari kami bersentuhan, apalagi ketika Stev meremasnya perlahan.
Aku membiarkan pria itu melakukannya.

Benarkah aku sedang bermain api? Tapi apakah aku salah jika membiarkan hatiku bahagia saat menikmati waktu bersamanya?

Bersambung. (Nanti akan berubah judulnya, buat yang kevo lanjutan kisah ini harus follow terlebih dahulu, karena akan di privat.

AKU ZAHRA Where stories live. Discover now