Bab 21

4K 93 6
                                    

Aku tak bisa memejamkan mata, bayangan wajah Steven terus menggelayuti kelopak mataku.

Akhirnya aku memberanikan diri melakukan hal yang tak kuduga sebelumnya.

"Selamat malam, Jendral." kukirimkan pesan itu pada Steven, berharap dia pun belum terlena malam ini.

Tak berapa lama pesan itu pun bercentang biru dua.

"Malam juga Nyonya Jendral, eh Nyonya Steven." sebuah senyuman mengiringi pesan itu.

"Aku gak bisa tidur, Stev."

"Pasti mikirin aku."

"Pede amat."

"Orang ganteng harus pede, wajib malah." Steven kembali tersenyum dalam pesannya.

"Kata siapa kamu ganteng? Mungkin yang ngomong buta." kubalas dengan emot meleletkan lidah.

"Duh! Baru emot gitu aja bikin aku ser-seran, Ra."

"Stev, aku mohon, stop deh pikiran mesum kamu."

"Ini bukan mesum, Sayang, laki-laki normal ya pasti bakal nafsu liat muka dan bodi kamu."

"Najis! Nyebelin."

"Aku bayangin muka kamu pasti lagi manyun, bikin aku gemes."

"Stev."

"Ya, Cinta."

"Plis, berhenti manggil aku cinta, Sayang atau apalah."

"Tapi kamu suka kan aku panggil Nyonya Steven?"

Aku tak menjawab, seandainya dia tau kadang sebutan ini yang membuatku merindukan hadirnya.

Wajahku merona, untungnya kami tak sedang dalam kondisi video call.

"Ra, tidurlah, sudah malam, besok harus bangun pagi kan?"

"Untuk apa bangun pagi?"

"Untuk mengingat dan menyebut namaku."

"Ih, Lebay amat kamu."

"Kamu yang selalu membuatku lebay dan tak berdaya."

"Stev, aku... Aku!"

"Aku tau, besok sore aku jemput, kita nonton."

"Benarkah?" hampir saja aku melonjak gembira.

"Ya, sekarang tidurlah, besok dandan yang cantik."

"Hm!"

"Good night, baybeh." Stev memberikan kiss jauh.

Aku tak membalasnya.

Ah, apa dia tau aku merindukanya?

Shit! Memalukan sekali kamu, Ra.

Tapi hanya ini yang bisa menenangkan hatiku saat ini, ya, suara dan pesan dari pria konyol yang kadang tingkahnya menjengkelkan.

_______________________

"Naik." Steven menatapku lekat.

Segera aku mengikuti perintahnya, hingga hampir membentur pintu mobil saking buru-burunya.

"Hati-hati, nyonya Steven, aku tidak akan kemana-mana." sekilas dia tersenyum dan itu membuatku jengah.

"Kamu cantik sekali, Ra.' bisiknya, aku tersipu.

Seandainya dia tau kalau hampir satu jam lamanya aku memilih baju dan aksesoris ini agar dia bisa senang saat melihat penampilanku.

"Tumben pake ini." Stev mengusap pipiku, pelan,

Aku semakin merasa malu, ya hari ini aku mencoba memakai blush on pink rose, agar pipiku sedikit merona.

"Ah, aku tiap hari pake ini kok,"kilahku.

"Benarkah? Rasanya baru hari ini aku melihatnya." mata Steven kembali menatap jalan yang mulai padat.

"Kamu yang kurang perhatian."

"Hm, yang butuh perhatian."

Aku terdiam.

Musik mandarin kesukaan Steven mulai mengalun. Betapa seringnya lagu ini diputar. Entah apa artinya.

"Mau ganti lagu?"

Aku menggeleng.

"Sudah sampai, Ra. Kita turun, kamu tunggu di sana, aku, parkir dulu."

Tak banyak bicara aku langsung mengikuti segala yang dia perintahkan.

Tak berapa lama bocah tengil itu kembali.

"Yuk," dia menarik tanganku.

Kami memasuki sebuah bioskop yang terbilang mahal. Sebuah film diputar, tapi aku tak begitu memperhatikannya.

Sebuah kisah cinta segitiga yang berujung dramatis, ah! Basi.

Si Pria mati bunuh diri dengan menjatuhkan tubuhnya dari lantai tertinggi sebuah gedung pencakar langit.

Tubuhnya hancur, darah berceceran.

Aku menyusupkan kepala pada dada Steven, tak bisa melihat adegan konyol tapi mengerikan itu.

Tubuhnya beraroma sempurna, begitu jantan, dan memesona.

Tak sadar Aku semakin merapatkan tubuhku padanya.

Hangat dan nyaman.

Benarkah rasaku ini? Apa yang sebenarnya kucari dari sosok menyebalkan ini?

Stev, kau bisa membuatku gila.

Steven menggenggam jemariku terasa sangat lembut.

Hembusan nafasnya menyapu leher dan tengkukku.

Desiran aneh mulai menjalari darahku, jantungku berdetak tak karuan.

Kami tak bicara,  perlahan dia mengangkat wajahku.

Aku memejamkan mata, tak berani menatap wajahnya.

Kini napasnya menyapu wajahku, yang artinya wajahku dan wajahnya hanya berjarak beberapa inci saja.

Entah apa dan siapa yang memulai, bibir kami sudah saling memagut, begitu hangat, dan terasa manis.

Dalam beberapa menit, bibir kami saling melumat, laksana sepasang kekasih yang lama tak bertemu dan haus akan kasih sayang.

Dan aku, membalas apa yang dia berikan malam ini.

Wajah Abi melintas. Sontak kudorong pria itu agar menjauh.

"Ra." dalam remang Steven menatapku bingung.
Aku menunduk, bulir air mata mengalir perlahan, sekilas kulihat bayangam wajah Abi menatapku dengan kecewa.

"Kita pulang, Stev."

"Tapi filmnya masih, Ra."

"Aku mau pulang."
Aku terisak.

"Oke, Ra, maafkan aku." dia mencoba meraih tanganku. Tapi kutepiskan.

"Ra, aku minta maaf, sungguh tadi aku gak sengaja, itu terbawa suasana." ujarnya saat kami kembali ke mobil.

Aku tak menyahut.

"Ra, maafkan aku, plis."

"Stev, aku... Aku." kini tak bisa lagi kutahan isak itu.

Steven meraih tubuhku.

"Kamu gak salah, Ra, jangan menangis, aku mohon."

"Tapi, Stev, kita sudah menyakiti Abi."

"Kita tidak menyakiti siapapun, aku dan kamu tak bisa menepis rasa yang hadir dalam hati kita. Zahra, demi Tuhan aku mencintaimu, sangat mencintaimu." kini dia memelukku erat, seolah tak rela melepaskannya kembali.

Dunia terasa gelap semua membingungkan untukku.

AKU ZAHRA Where stories live. Discover now