Zahra, seorang gadis yang berjuang untuk meraih bahagia, mempertahankan kesucian dari tangan-tangan para pencari nikmat duniawi sesaat.
Penuh intrik, derai air mata serta ketulusan yang akhirnya membawanya bertemu dengan dua pria yang teramat mencin...
"Jangan bunuh rasa itu, biarkan saja tumbuh disana walau kau tak berniat menyiram dan merawatnya'"
Sebuah quote bergambar bunga mawar merah dikirimkan Steven pagi ini.
Bocah konyol itu mungin sedang kemasukan arwah para penulis sastra, hingga bisa mengirim kata-kata semanis ini.
"Ra, Kamu dipanggil Mami tuh!" Trisia berdiri di depan pintu Tubuh langsingnya terlihat lebih menarik dalam balutan kemeja putih lengan panjang dan jeans pendek berwarna hitam, seuntai kabel kecil berwarna putih menggantung di lehernya.
"Mbak gak keluar?"
"Enggak Ra, Aku agak flu, baru aja minum obat." Kami berjalan beriringan menuju ruangan pribadi mami Luki Trisia mempersilahkanku masuk
Aku duduk berhadapan dengan wanita yang kini menatapku tajam
"Zahra, seandainya kau keluar dari sini, bisakah kau menyimpan rahasia tentang rumah cantik dan kehidupan ayang ada didalamnya?" Suara Mami terdengar berat
Aku tak menjawab, bibgung dengan pertanyaan yang dia ajukan padaku
"Kau ingin keluar dari sini kan?" Aku mengangguk cepat
"Bisa kau menjaga rahasia Rumah cantik ini?"
"Bisa Mam, Bisa."
"Bisa kupegang janjimu itu?"
"Aku janji Mi,"
"Aku percaya padamu, bersiaplah, besok kau akan pulang, Teddy akan menjemputmu."
"Om Winangun maksud Mami?"
Mami Luki mengangguk, aku melonjak gembira
"Terima kasih Bu, eh Mam." Aku memeluk wanita itu
"Kamu..." Wanita itu menepuk punggungku Kulihat matanya berkaca
Ah, rupanya wanita sekuat ini bisa terharu juga
"Pamitlah pada teman-temanmu."
Aku keluar dari ruangan Mami Luki, setelah berkali-kali mencium tangannya.
Trisia menatapku tak percaya, berkali-kali wanita cantik itu mengguncang bahuku
"Serius Ra? Kamu diizinin keluar dari sini?" Aku mengangguk kembali
Semua teman-temanku bersikap sama, mereka tak percaya jika aku bisa keluar dari sini atas izin dari mami Luki.
Aku juga masih bingung, apa yang dilakukan pak Winangun hingga Mami Luki membiarkan Pria itu membawaku keluar dari sini Yang jelas malam itu kami jadikan sebagai malam perpisahan, kusumbangkan lagu untuk mereka, kami bernyanyi bersama, apapun yang terjadi disini kami tetap teman yang saling menyayangi Trisia memberiku sebuah jam tangan mahal, Okta dan Narin pun sama mereka memberikanku kenang-kenangan yang bisa membuatku tak melupakan keberadaannya di tempat ini.
Takdirlah yang membawaku ke tempat ini
====
Pagi itu Pak winangun datang menjemputku, setelah berbicara dengan Mami Luki pria itu langsung menghampiri dan mengajakku untuk mengikutinya.
Setelah berpamitan pada Trisia dan yang lainnya aku menyusul Pak Winangun yang sudah duduk di belakang kemudi
Mataku berkaca-kaca saat para pekerja rumah cantik berbaris mengantarkan kepergianku, mata Trisia terlihat sembab, dia yang terlihat paling sedih saat tau aku akan keluar dari sini. "Jangan lupakan aku ya Ra." Bisiknya berulang kali
Aku mengangguk
Tidak akan Mbak, aku tidak akan melupakan kalian, dan tempat ini, karena disinilah aku bisa bertemu orang baik seperti kamu dan dia!
Mobil bergerak perlahan, lambaian tangan teman-teman semakin tak menjauh
"Ra, nanti mintalah izin pada Ibumu untuk menetap sementara di rumah kami,"
"Baik Pak, bagaimana kabar Abi?"
"Dia mulai bisa menggerakan anggota tubuhnya, sekarang malah sudah bisa duduk di kursi roda sendiri, perkembangannya pesat setelah bertemu kamu."
"Semoga saja Pak, saya yang salah meninggalkan Abi yang sedang terluka saat itu."
"Kamu tidak salah Zahra, semua karena keserakahan saya, maka dari itu saya berharap kamu mau memaafkan semua kesalahan yang pernah saya lakukan pada keluargamu."
"Kami sudah memaafkan bapak."
"Saya kagum pada keluargamu Zahra, ibumu berjiwa besar, dan kau pun tak jauh darinya."
Aku tersenyum mendengar kalimat yang diucapkan pria itu, terdengar begitu tulus
"Zahra apa Steven tau kamu hari ini keluar dari rumah itu?"
"Tidak pak, Tapi nanti akan segera saya kasih kabar."
"Kalian terlihat begitu dekat, Anak itu sangat memperhatikanmu." Pak Winangun menoleh sekilas
"Stev baik pada semua orang kok Pak, bukan hanya padaku."
"Zahra, Berjanjilah untuk tidak meninggalkan Abi, apapun yang terjadi."
"Kenapa Bapak bicara begitu? Saya sangat mencintai Abi." Tegasku
"Saya tau, tapi melihat kondisi Abi, saya khawatir kamu akan tertarik pada orang lain, apalagi disampingmu selalu ada dia."
"Steven maksud Bapak?"
Pak Winangun tak menjawab Pembicaraan kami terhenti ketika tiba di pekarangan rumah.
Keluarga menyambut kedatanganku dengan gembira, apalagi saat pak Winangun menyatakan jika aku sudah berhenti bekerja dan akan tinggal kembali bersama mereka.
Mata ibu berkaca-kaca, mungkin wanita ini belum percaya bahwa kehidupan kami akan kembali normal seperti sebelumnya, saat masih ada bapak disamping kami.
"Sekali lagi saya minta, tetaplah dampingi anak saya, Zahra."
Kalimat permohonan itu kembali meluncur dari mulut pria yang dulu terlihat begitu garang. Permohonan tulus dari seorang bapak yang jelas begitu mengkhawatirkan kondisi anaknya.
"Percepatlah pernikahan kami." Ujarku cepat.
"Baiklah, akan saya sampaikan semua ini pada Mamanya Abi."
Semburat bahagia terlihat jelas di raut pria itu, ketegangan dan rasa khawatir yang tadi sepat hinggap di wajahnya sirna sudah, berganti dengan senyuman bahagia hingga sosok itu pamit pada keluarga besarku.
Bersambung
selanjutnya silahkan follow ya Jangan lupa klik bintang, serta saran dan kritiknya untuk part selanjutnya
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Steven kek gini cocok ga tuh?? Yuk ikut pilih dan sebutkan karakter artis yang kamu suka untuk dua tokoh 1. Abi 2. Steven