Bab 25

3.3K 107 23
                                    

Jangan lupa kasih bintang ya giys!

"Zahra."
Terdengar pintu dibanting dengan sangat keras.

Kami tersentak,  spontan kulepaskan pelukan Steven.

Mata ibu terlihat dipenuhi amarah.

"Kamu telah mengecewakan ibu, Ra."Ujarnya gusar. Tubuh ibu terlihat menggigil.

"Maaf bu, ini tak seperti yang ibu lihat kok,"jawabku terbata.

"Ibu kecewa, Ra, kecewa padamu." mata ibu mulai berair.

"Zahra tidak bersalah, aku yang menemuinya hari ini, tapi kami hanya bertemu saja, bu tidak lebih dari itu." Steven berusaha membelaku, dia terlihat tegang, namun berusaha untuk tenang.

"Semua memang salahmu, kau yang memaksa anak gadisku untuk menghianati calon suaminya, ingkar akan janji mereka." suara ibu terdengar kasar, telunjuknya mengarah pada muka Steven.

"Tenang dulu, Bu, kita bicara ini baik-baik."

"Tidak ada yang harus dibicarakan lagi, sebaiknya kau pergi dari sini. Aku tidak sudi tubuh najismu itu mengotori rumah kami."

"Ibu."Jeritku.
Tak menyangka wanita yang biasa bijak ini bisa bersikap sekasar itu pada Steven.

"Bu, Stev tak bersalah, kami hanya bicara kok, tidak lebih. Ibu salah faham."

"Salah paham katamu? Apa ibu salah ketika melihat dua mahluk bukan mahrom berlainan jenis berpelukan? Sedangkan di sana calon suamimu sedang berjuang, bertarung antara hidup dan mati. Demi membahagiakanmu, Zahra." mata ibu melotot.

"Kita memang susah, tapi ibu tidak mengajarkan anak-anak ibu untuk jadi seorang penghianat, menjadi pengecut, egois, Ra, demi kebahagiaanmu sendiri kau abaikan laki-laki yang sudah berjuang dan memberikan nyawanya untukmu." jerit ibu histeris.

Lututku bergetar hebat.

Tubuhku terkulai lemas,kata-kata ibu membuatku kehilangan kekuatan untuk berdiri.

Apa ibu tau perjuanganku melepaskan diri dari rasa yang menyakitkan ini?

Dan Steven menatapku serba salah.

Namun, sinar matanya menyiratkan jika semuanya akan baik-baik saja.

"Tenang, Ra."desisnya.

"Menjauhlah dari anakku. Pria jahanam."

"Baik bu, tapi kumohon, jangan katakan apapun lagi pada Zahra, dia tak berkhianat pada Abi, bu. Percayalah!"

"Cukup, aku ibunya, aku lebih tau dia dibanding kamu."

"Oke,itu artinya ibu tau siapa Zahra, dia tidak akan berbuat serendah itu."

"Satu yang harus kau ingat, seandainya tidak ada lagi pria yang mau menikahi Zahra, tidak pernah pula kuizinkan kau menikahinya, camkan itu. Jahanam!" jerit ibu sambil menunjuk wajah Steven, kilat matanya penuh kemarahan dan rasa benci yang sempurna.

"Ibu...!" jeritku.

"Jangan usik kebahagiaan kami, kamu orang kaya, bisa mendapatkan siapa saja, apa arti Zahra buat kamu? Dia hanya gadis kampung, tidak berpendidikan pulak, atau kau hanya berniat mempermainkannya.

"Demi Tuhan, Bu, saya tidak berniat demikian, Zahra bagi saya wanita istimewa. Saya akui memang mencintainya, bahkan teramat mencintainya. Maafkan jika itu salah." Steven terlihat jujur, hatiku serasa diiris sembilu, pria itu menundukkan wajah, seolah telah melakukan sebuah dosa besar karena mencintaiku.

"Hari ini kau boleh menyanggahnya, tapi nanti setelah Zahra jatuh ke pelukanmu, kau akan menjalankan niat busukmu itu, ingat anak muda, bagi kami keyakinan itu adalah hal yang tidak bisa diutak atik, keyakinan itu adalah segalanya dalam hidup, cinta tidak akan meruntuhkannya. Apalagi harus ditukar dengan harta dan bendamu itu."

"Dan kau Zahra, mudahnya kau masuk dalam perangkap pria yang tega masuk kedalam hubungan kalian, merusak nama cinta demi ambisi kotornya itu."

"Sudah, Bu komohon!" aku memelas memohon agar ibu tak lagi menjelekkan, dan menyudutkan Steven.

"Apa yang sudah kau berikan pada anakku, hingga dia lebih membelamu dibandingkan aku ibu yang sudah mengandung dan melahirkannya?"

"Bukan begitu bu, aku mohon,  Stev tidak bersalah, kami hanya bicara hari ini aku yang memintanya untuk datang, Bu,"aku berusaha menjelaskan pada ibu, agar sikapnya sedikit melunak.

"Ibu tidak percaya lagi padamu. Dan kau segeralah pergi dari rumah ini, jangan menambah keruwetan dalam rumah tangga kami."

"Baik bu, maaf jika kedatangan saya membuat ibu marah, tapi saya tak bermaksud untuk itu."Stev menjulurkan tangan, tapi ibu tak bergeming.

"Ra, aku pamit,  ingat kata-kataku, semua akan baik-baik saja." Stev menatap wajahku.

"Jangan pikirkan ini, kau harus bahagia."

Tak tega rasanya melihat pria itu pergi dari rumah dengan kondisi seperti ini. Tapi apalah dayaku.

Ada banyak luka di wajahnya.

Stev! Sekarang kau lihat, siapa wanita yang kau bela ini? Kehadirannya selalu membuat pria di sekelilingnya menderita.

Kenapa aku selalu membuat laki-laki yang mencintaiku terluka?

Raungan mobil Steven terdengar semakin samar lalu menghilang.

Pergilah Stev, Menjauhlah dariku, kau pun layak bahagia. Aku mendoakanmu.

AKU ZAHRA Where stories live. Discover now