Bab 19

5K 133 41
                                    

"Tante, tuh Zahra udah ngebet pen kawin. Sepanjang jalan ngomongin kawin mulu, cepet gih nikahin mereka." Stev merajuk pada Mamanya Abi.

"Stev bohong, Ma." Aku tersipu
Segera kutuangkan bubur kacang hijau buatan ibu untuk Abi.

"Makan bubur dulu ya, ini kiriman Ibu, katanya biar kamu cepat sembuh." Kubantu Abi untuk duduk, Steven menatapku sekilas.

Abi mengangguk, Tangannya menggenggam jemariku erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi.

"Aku gak kemana-mana kok." Ujarku, mencium tangan hangat pria itu
Netra hitam yang teramat lelah itu menyiratkan hal yang tak bisa kupahami.

"Cepatlah sembuh," Bisikku lembut.

Ada rasa haru menyeruak, menjalari dada.

Tuhan! Jangan biarkan aku menghianatinya, cepatlah satukan hati kami.

Aku menyuapinya perlahan, Abi lahap menyantap bubur yang dibuat Ibu untuknya

"Enak Ra." Pria itu tersenyum

"Pasti dong, kan ibu buatnya pake cinta."

"Aku mau bubur buatan kamu." Ucapnya pelan

"Nanti aku buatin, yang penting kamu sembuh dulu, aku sudah belajar cara buat Spagheti Juga Bi." Jawabku malu-malu

"Serius?" Mata Abi terlihat berbinar.

"Heeh." Aku mengangguk

Kami tertawa, rasanya bahagia bisa melihat pria gagah itu sedikit melupakan rasa sakitnya.

Sementara Stev terlihat mengobrol dengan Mamanya Abi, mereka sangat akrab sesekali Mama menepuk bahu dan mencubit Pipi Steven
Abi turut tersenyum melihat kedekatan Mama dan Steven.

"Kita berhutang banyak pada dia." Abi melihat sekilas pada Steven
Aku mengangguk.

Sangat Bi, sangat banyak, dia juga berjasa untukku, entah apa yang bisa membalas semua kebaikan yang sudah diberikan Stev padaku.

"Kita pasti bisa membalasnya." Ujar Abi, seolah tau isi hatiku.

"Jangan dipikirkan, Stev orangnya nyantai kok."

"Lusa aku pulang Ra, nanti kamu langsung saja ke rumah."

"Pasti Bi, aku akan sering-sering nengokin kamu."

Kembali kami tersenyum bahagia, semoga ini langkah awal untuk merajut asa yang pernah ada
Aku meyakinkan Pria bijak itu, jika semuanya akan baik-baik saja.

Ya, semoga semuanya baik-baik saja, seperti yang kita harapkan.

Kugunakan waktu sebaik-baiknya untuk mengisi kebersamaan bersama Abi, menceritakan hal-hal indah yang pernah kami lalui dulu.

Ketika kusebut kota Batam, kening Abi berkerut, tampak dia mengingat hal yang pernah dilupakannya.

"Bilang sama Mama tolong belikan aku mie lendir khas Batam." Ujarnya antusias

"Kamu ingat Bi?"
"Ingat Ra, aku ingat kamu mabuk saat naik pesawat." Abi tersenyum
Aku tersipu.

"Aku tak akan melupakan semua hal yang pernah kita lalui, semuanya begitu indah Ra." Ucapnya terbata.

Aku terharu mendengarnya, kita akan banyak melalui hal indah sekarang, dan tak akan kubiarkan seseorang merenggutnya kembali.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, Stev seperti biasa memilih tidur di sofa dengan posisi sembarangan

Setelah sholat Maghrib, aku dan Mama Tania membantu Abi untuk bertayammum.

Kucium tangan Mama Tania Khidmat, wanita itu mengusap kepalaku lembut, lalu kami berpelukan, Abi tersenyum bahagia

"Stev tampaknya sangat lelah Ra." Ujar Mama Tania

"Iya, Ma, seharian dia nyetir terus."

"Seandainya abi dan Steven itu bersaudara, Pastinya Mama bahagia banget punya anak kayak Steven." Mata melirik kearah Stev.

"Mama kayaknya suka banget sama Stev, aku sih sebel dia, Ma."

"Stev apa adanya, dia jujur dan senang bercanda, itu yang Mama suka dari dia."

"Kami banyak berhutang budi padanya Ma." Abi tiba-tiba ikut berbicara walau dengan suara pelan

"Iya sayang, kalian banyak berhutang budi padanya." Mama mengusap rambut Abi.

Mama meletakan jari di bibirnya ketika melihat Stev terbangun.

Wajah polosnya terlihat lucu saat bangun tidur

"Tante, Jam berapa ini?" Stev terlihat bingung

"Jam tujuh pagi tau!" ujarku iseng

"Ya, Tuhan! Aku ada ujian semester hari ini." Pria konyol itu kalang kabut

"Bohong Sayang, ini baru pukul 19.00." Mama tersenyum

"Tega banget kamu Ra." Stev menghampiriku, tanpa basa-basi dia memencet hidungku

"Sakit Tau." Ketusku.
Dia tak membalas, malah langsung meneguk air yang kupersiapkan untuk Abi minum obat

"Stev itu air buat Abi, dia mau minum obat."

"Ngambil lagi aja, tuh air minum masih banyak." Telunjuknya mengarah pada galon.

"Dasar!" umpatku.

Stev cuek

Shit! Dia terlihat menyebalkan.

"Bro! Pikir dua kali deh, mau jadiin dia istri, otaknya kecil, kalau kerja juga salah mulu." Ucap Stev pada Abi dengan seenaknya, yang jelas dia menyindirku yang kadang ceroboh

Abi ikut tertawa, sedangkan aku langsung memasang wajah cemberut.
Apalagi saat kepala Abi ikutan mengangguk.

"Heran gue, kenapa loe mau ngorbanin diri demi cewek yang ngimong aja kadang gak nyambung?"
Stev mengeluaran sebatang Rokok hendak menyulutnya.

"Ini rumah sakit tau, gak boleh sembarang ngerokok, baca tuh!" Kini telunjukku mengarah pada dinding yang bertuliskan 'Don't Smoking'.

"Tumben pinter!" Stev menoyor jidatku.

Abi menggelengkan kepala, dia tertawa lepas.

"Kamu Jahat!" Kucubit pinggang Abi kesal.

"Lah kok marah sama aku? Stev kan kan yang ngatain kamu, Sayang!"

"Tapi kamu ikut tertawa."

"Siapa yang ketawa? Aku diem aja. Kok." Abi kembali tersenyum, dengan meringis dia menarikku mendekat padanya.

Dia merengkuhku dalam peluknya.

"Masih ingat kana pa yang aku katakana saat kita di Batam?" Abi berbisik.

Aku menangguk.

"Itu lah arti dirimu buatku."
Betapa terharunya diriku mendengar yang diucapkan olehnya.

"Akan kubuktikan jika pilihanmu tidak lah salah." Gumamku

Steven memalingkan wajahnya. Aku tak bermaksud menyakitimu, Stev!

Namun tak berapa lama Pria itu bangkit dan menghampiri kami

"Oke nyonya Steven! Kita pulang, saatnya kamu balik lagi ke kandang." Stev menarik tanganku.
Aku berusaha menepis tangan isengnya, namun cengkramannya begitu erat

"Maaf mas Bro! Gadis nakal ini harus kukembalikan pada pawangnya," Stev menepuk bahu Abi.

Abi mengangguk, semoga dia tak berprasangka buruk pada kami

Bersambung

AKU ZAHRA Where stories live. Discover now