22. Abidel

412 55 10
                                    

"Kamu baik-baik di rumah ya Bi." Di depan pintu keberangkatan, Sofia memeluk putranya erat. Pelukan itu kemudian terlepas ketika suara pemberitahuan untuk memasuki pesawat terdengar dari speaker. Wajah Sofia sendu karena kali ini harus meninggalkan Abu selama dua minggu untuk pekerjaan.

"'Kan sudah biasa Bun. Aku bakal baik-baik aja kok," ujar Abi pelan.

Sofia memandang Abi lekat, dia tidak tega. Apalagi perkataan Abi tentang sudah biasa ditinggal juga membuatnya merasa bersalah. "Maafin Bunda ya karena sering ninggal Abi." Wanita itu mengusap rambut Abi dengan sayang.

"Aku 'kan sudah besar Bunda. Aku bakal baik-baik aja. Dan rumah kita masih tetap utuh kok pas Bunda pulang nanti."

Sofia terkekeh pelan. "Kalau ada apa-apa kabari Bunda ya Bi. Jangan nakal. Jangan galau terus."

"Siapa yang galau sih Bun?" sergah Abi.

"Siapa yang habis makan keripik kentang lima bungkus terus bungkusnya nggak dibuang ya?" balas Sofia.

Pipi putih Abi bersemu malu. Kebiasaannya memakan berbungkus-bungkus keripik sebagai penghilang galau tentu saja dihapal sang Bunda. Karena malu, cowok itu akhirnya mengalihkan pembicaraan. "Bun, cepet masuk deh. Nanti ketinggalan pesawat loh."

Pulang dari bandara, waktu hanya tersisa setengah jam sebelum jam masuk sekolahnya. Abi bergegas berganti pakaian dengan seragam dan menyambar tasnya. Dia keluar dari rumah bersamaan dengan Adel yang lewat. Adel terlihat duduk di boncengan motor dan Abi mengenali Keenan lah yang sedang menyertir.

Tanpa sadar, rahang Abi mengeras. Kesal karena posisinya di hidup Adel digantikan oleh orang lain.

Adel terlihat tertawa. Dan Abi bisa merasakan sengatan tidak nyaman di dada. Gadis itu nampak berbeda. Dimana letak perbedaannya, Abi tidak bisa mengatakannya dengan pasti. Bukannya Adel yang berbeda ; melainkan dirinyalah yang memandang Adel secara berbeda. Dia melihat sahabatnya dibalik pernyataan itu. Hal itu merubah segalanya—dan itu membuat Abi tidak nyaman.

Mendesah kesal, cowok itu melampiaskan kemarahannya dengan membanting pintu mobilnya keras-keras. Kemudian mengendarai mobilnya secara gila-gilaan di tengah kemacetan.

Dan berkat itu, Abi bisa sampai ke sekolah hanya dalam waktu sepuluh menit. Bahkan Abi sudah sampai terlebih dahulu sebelum Adel datang.

"Kita perlu ngomong." Abi menghampiri Adel yang baru saja turun dari sepeda motor Keenan.

Adel mengulurkan helm yang dia gunakan pada Keenan. Sepenuhnya mengabaikan kehadiran Abi di sebelahnya.

"Del."

"Makasih ya Nan," ucap Adel pelan sambil menyisir rambutnya dengan jari.

Abi lantas memegang pundak Adel. "Del, lo dengerin gue nggak?"

Adel bergeming di tempatnya. Gadis itu berpura-pura membetulkan letak dasinya.

"Del," panggil Abi sekali lagi dengan sedikit keras.

Merasa keberadaannya tidak diinginkan di sana, Keenan yang tahu diri berjalan pergi meninggalkan dua orang itu, "Gue ke kelas duluan ya Del." Cowok itu melambaikan tangan.

"Gue juga—"

"Nggak! Gue masih mau ngomong Del," cegah Abi.

"Udah mau bel masuk Bi." Adel melangkah pergi. Disusul oleh Abi yang ikut mesejejarkan langkah dalam diam.

"Sejak kapan lo deket sama Keenan?"

Adel berhenti dan menoleh pada Abi. "Dan sejak kapan lo peduli gue deket sama siapa?" balasnya.

AbidelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang