Luka itu masih ada.

361 31 2
                                    


Laki-laki berusia dua puluh empat tahun itu tidak terlihat gugup sedikitpun saat mengucapkan janji, saat semua orang hanya fokus pada dia, dan dia seolah meyakinkan Ino bahwa jalan yang ia tempuh sekarang bukanlah hal yang salah.

'Di dalam senang dan sedih, disaat sehat dan sakit, aku akan selalu berada disampingnya.'

Saat Ino kecil ia pernah memiliki mimpi menikah seperti seorang putri disney, penuh dengan pernak-pernik, ornamen-ornamen lucu, memakai gaun yang indah, melemparkan bunga kepada para tamu. Walaupun tidak terwujud Ino menganggap ini lebih indah dari apa yang ia inginkan sebelumnya, Ino tidak butuh bunga, tidak butuh gaun. Ino hanya membutuhkan Neji....

Hari itu Ino baru tau bahwa terlalu bahagia pun bisa membuatnya menangis.

***

Disini adalah rumahnya yang lama, dulu sekali sebelum ia dewasa dan lebih memilih tinggal sendirian di apartemen, rumah yang diisi oleh rasa sepi seorang gadis kecil. Bahkan disalah satu sudut tembok tulisannya masih ada, ia ingat dulu ia sering mencari perhatian dengan mencorat-coret dinding tapi bibi dan pamannya tidak begitu mempedulikan, yang Ino ingat bahwa sering sekali ada orang lain yang mengecat ulang tembok-tembok itu.

Dulu ia tidak mengerti bahwa bibi dan pamannya berusaha mati-matian untuk kelangsungan perusahaan orangtuanya, Ino adalah anak kecil yang tidak mau tau walaupun mereka selalu memberi pengertian tentang pekerjaan mereka, yang jelas ia hanya ingin menjadi anak-anak lain seusianya, yang selalu menceritakan hari-hari mereka disekolah pada orangtuanya.

Masih sibuk bernostalgia Ino sampai tidak sadar suaminya sudah duduk manis disampingnya, kenangan pahit itu benar-benar mengambil alih seluruh perhatian Ino.

"Hey bukankah ini harusnya menjadi hari yang bahagia?" suara lembut itu seolah masuk kedalam kenangan buruk yang sedang terputar di otaknya, Ino menoleh pada sumber suara dan hanya tersenyum.

"Aku hanya sedang mengingat beberapa hal dimasa lalu dan tentu saja ini hari yang sangat membahagiakan," jawab Ino dengan sangat jujur

"Sudah sore Ino, ayo kita berpamitan pada paman dan bibi," Ino masih diam ditempatnya tidak beranjak sedikitpun seolah enggan untuk meninggalkan tempat ini.

"Neji-san?" Ino menahan lengan Neji saat pria itu terlihat sudah hampir bangun dari duduknya.

"Hm?" Neji kembali duduk dan menatap lurus-lurus wajah Ino yang tampak lesu.

"Bagaimana rasanya memiliki orangtua?" Neji kaget mendengar kalimat itu tapi ia berusaha untuk menutupinya, ia tidak ingin membuat Ino tersinggung disaat seperti ini.

"Rasanya......kau akan merasa tidak membutuhkan apa-apa lagi jika mereka berada disisimu," Ino mengangguk seolah mengerti apa yang Neji maksud, mungkin rasanya seperti saat Neji datang ketika ia terpuruk kemarin.
"Mungkin sesekali kami akan berbeda pendapat, mereka memang tau yang terbaik untuk kita tapi ada kalanya kita merasa bahwa mereka salah." Ino tersenyum mengerti lebih jauh dari apa yang Neji jelaskan.

"Iya aku mengerti Neji-san,"

"Oh iya kita harus meminta restu pada orangtua-mu juga Ino..." perempuan itu tidak menjawab ia langsung menundukan kepala mengingat seumur hidupnya ia baru sekali pergi kesana dan ia memutuskan untuk tidak pernah lagi kembali, ia belum bisa menerima takdir.

"Aku...merasa belum siap pergi kesana," Neji mengerti saat dengan jelas melihat ekpresi terluka yang ia lihat dari wajah perempuan itu.

"Bukankah kita akan pergi kerumahmu Neji-san?"

***

Selama berada dalam perjalanan mereka berdua tidak banyak bicara, mengingat bus yang sedang mereka tumpangi benar-benar penuh sesak, Neji  yang sudah meyakinkan diri untuk melindungi Ino sudah memulai tugasnya untuk tidak membiarkan dia terdorong atau merasakan sesak, ia akan aman sampai tujuan. Sebenarnya paman dan bibi Ino menawarkan Neji untuk memakai kendaraan pribadi, tapi ia berhasil meyakinkan mereka bahwa ia dan Ino akan memulai segala sesuatunya dari nol.

Dear InoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang