The last

357 31 1
                                    

Dua bulan berlalu begitu saja, Neji bahkan sudah tak pernah merasakan sakit kepala dadakan lagi, hidup dan identitasnya sudah kembali. dia sudah sepenuhnya menjadi sosoknya yang lama, dia yang gila kerja, dia yang penuh ambisi, dia yang suka soba, dia yang alergi bulu anjing, dia yang .....pernah Ino sebutkan, perempuan itu ternyata benar-benar Neji luar dalam.

"Makan dulu Neji, kau belum makan dari pagi," dia sedang libur berkerja hari ini, tapi tetap saja pandangan matanya tak mau luput dari laptop dan dokumen, tak ada hari libur, semua harinya sibuk, sekalipun dia berada di rumah. Anggap saja ini adalah pelarian paling mudah untuk dilakukan, pengalihan terbaik untuk sejenak melupakan fakta bahwa sampai detik ini, jejak Ino tak pernah ia temui lagi, dia selalu mencarinya tapi tetap saja hasilnya nihil. Neji tidak menyerah, hanya saja dia butuh kegiatan yang banyak agar bisa melanjutkan hidup.

"Nanti saja bu, setelah ini selesai," Ibunya hanya menghela napas lalu ikut duduk di bangku dekat tempat tidur Neji, memperhatikan mata lelah Neji yang terlalu kentara, perempuan itu tau, anak semata wayangnya ini terlalu memaksakan diri, sungguh menyedihkan, dia tak bisa membantu apapun, tak bisa menarik Neji dari lubang duka, selalu seperti itu sejak dulu, dia tak bisa menjadi ibu yang baik.

"Masih lama?"

"Tidak juga," Neji mendengar desah napas putus asa dari ibunya, dia menghentikan aktifitasnya sejenak lalu menatap sosok ibu yang kini berwajah murung, sosok yang entah bagaimana sulit sekali untuk Neji benci, karena sejatinya sang ibu hanyalah perempuan yang selalu mengalah pada keadaan, tak bisa melawan ayahnya, dia hanyalah sosok rapuh.

"Ibu sudah makan?"

"Sudah, ayo kau juga makan," Neji menatap layar laptopnya sejenak, lalu setelah merasa bahwa pekerjaan ini akan segera selesai, Neji pun beranjak.

"Yasudah, aku akan makan sekarang," ibunya tersenyum lebar sekali, lalu ikut Neji untuk pergi ke ruang makan, padahal jika anaknya malas pergi, dia akan mengambilkan makanan itu kesini.

"Sebentar Neji ponsel ibu bunyi nih," sang anak hanya mengangguk lalu kembali membuat langkah, sementara ibunya kembali duduk dan mengangkat telpon setelah berhasil membawa ponsel itu dari saku baju tidurnya.

"Aaah, serius? Baik, baik, terimakasih sudah memberi kabar," ibunya kembali tersenyum lalu berjalan dengan tempo agak cepat, sambungan telpon itu telah berakhir, tapi entah bagaimana perasaan bahagia itu masih terus saja ada, seolah membelenggu semua rasa yang ada.

"Siapa bu?"

"Habiskan dulu makanannya, nanti ibu beritahu," Neji mengangguk lalu kembali mengambil satu suap nasi dari mangkuknya dengan teratur dan rapi, terus saja begitu sampai suapan terakhir, tak menyisakan satu remeh pun, dia tidak penasaran pada siapa yang menelpon ibunya, tentu saja karena dia lapar sekali.

"Pelayan yang ibu suruh untuk mencari Ino, barusan dia menelpon," Neji merasa ada yang berdetak kencang sekali, tapi tentu saja dia harus mengontrol diri, menyiapkan segala sesuatu agar tak terlalu terluka, dia tak boleh berharap terlalu besar, dia hanya perlu mendengarkan ucapan ibunya dengan benar.

"Lalu?"

"Dia melihat Ino sedang berjalan di jalan dekat kampus------" dengan refleks Neji berdiri, ingin dengan segera menapaki jalan yang sama dengan jalan yang Ino pijak.

"Tapi mereka kehilangan jejak, kalau mau kau....." Ibunya hanya bisa tersenyum saat melihat Neji dengan segera melangkah menuju pintu depan, pasti tak sabar ya? untung saja makanannya sudah habis, dia pasti punya tenaga yang cukup.

"Aku pergi dulu bu," ternyata masih sempat pamit, ibunya hanya mengangguk lalu mengikuti Neji sampai ke pintu.

"Ibu doakan agar kau bertemu dengan Ino ya, bawa dia kesini, ibu butuh teman untuk memasak bersama,"

Dear InoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang