Begin

282 32 2
                                    

Malam yang begitu hangat didalam kapal feri bukan sebuah dekapan, hanya memandang laki-laki yang sedari tadi merasakan mual dan pada akhirnya ia bisa tertidur di pahanya, itu membuat hatinya hangat. Entahlah ia benar-benar menikmati perannya sekarang, ia menyukai kenyataan bahwa pada akhirnya ia merasa dibutuhkan walaupun pada awalnya Neji yang meragukan perjalanan ini karena Ino belum pernah sekalipun naik kapal tapi ternyata dia salah, dialah yang paling banyak muntah sedari tadi, Ino akui ini benar-benar perjalanan yang memakan waktu, dan syukurlah ia tidak merasakan mual berlebihan sehingga bisa menjaga Neji.

Ia melihat lengan laki-laki itu sedikit bergerak, matanya mulai terbuka dan Ino kaget saat mata itu tiba-tiba menatapnya karena kebetulan mata Ino sedari tadi tidak berpaling sedikitpun darinya, merasa suasananya jadi canggung Ino terpaksa tersenyum.

"Tidurmu nyenyak?" Neji mengangguk, tak lama ia pun duduk disebelah Ino, laki-laki itu memanjangkan kakinya.

"Sekarang giliran mu yang tidur," Neji menepuk-nepuk pahanya dengan cepat ino menolak.

"Tidak ngantuk, aku benar-benar menikmati perjalanan ini. Kalau tidur aku tidak akan ingat apa-apa," seperti Neji yang biasanya ia tidak akan pernah memaksa, lagipula Ino memang tidak ingin tidur ia benar-benar senang berada disini karena bisa leluasa memperhatikan Neji.

"Baiklah..." Ino tersenyum mendengar ucapan itu, Neji memang tidak akan pernah berubah.

"Neji-san?" Ino mendengar kata 'hm' sesaat setelah ia bicara, sebenarnya ini adalah hal yang selalu mengganjal dihatinya, ia benar-benar ingin tau.

"Apa kau merasa aneh tentang pernikahan ini, kurasa ini terlalu mendadak kan?" tidak ada jawaban, Ino sudah menduga ini akan terjadi.

"Aku jadi merasa bersalah, ini adalah keinginanku yang egois, kau jadi tidak dianggap anak lagi oleh ayahmu." Ino ikut diam, walaupun tau suasana ini akan canggung tapi ia tetap merasa bahwa tidak ada salahnya mengeluarkan unek-unek kan?

"Dari awal aku memang menginginkan ini..." mereka tidak saling berpandangan, arah yang mereka lihat berbeda, tapi suara itu benar-benar mendominasi membuat Ino hanya fokus mendengarkan tanpa peduli apa yang ia lihat.

"Aku merasa terlalu menurut dan tidak menjadi diriku sendiri." suaranya masih lembut, tidak ada emosi berarti hanya saja mengapa Ino merasa tiba-tiba merasa sedih saat dengan serius mendengar ucapan laki-laki itu.

"Dulu setelah aku masuk universitas dan dipercayai untuk menjadi asisten sensei dalam beberapa mata pelajaran dan mendapatkan bayaran yang lumayan, aku sangat ingin terlepas dari ambisi ayahku." sayup-sayup terdengar suara air dan angin yang bercampur, tapi tetap saja suara Neji yang mendominasi kuping Ino.

"Dan saat aku mendapat gelar kedua dengan cepat, aku merasa bahwa ini adalah waktunya untuk pergi menjadi diriku sendiri, walaupun saat itu sempat ragu juga."

"Kenapa kau ragu Neji-san?" kali ini perempuan yang memilih memakai model rambut pony-tail itu mulai memandang suaminya.

"Karena kita sudah tidak bersama lagi, aku bahkan menyetujui perjodohan itu." pandangan mereka akhirnya bertemu, Neji tersenyum sama persis dengan kemarin saat dengan jelas melihat wajah Ino yang tiba-tiba murung. "Jangan sedih begitu, aku bahkan langsung menyesal keesokan harinya." Ino ikut tersenyum saat mendengar kata 'jangan sedih'

"Apa aku terlihat menyedihkan eh?"

"Iya, sangat jelas sekali.." mereka berdua tertawa dan kembali pada pemikiran masing-masing saat suara tawa itu menghilang.

"Aku bahkan hampir melakukan hal bodoh, membuang semua mimpiku hanya karena patah hati." Ino tertawa lagi saat mendengar hal itu.

"Tapi kau kembali kepada mimpimu kan? Aku harus senang atau sedih ya mendengar ini?" jika disimpulkan Neji terdengar rapuh karena berpisah dengannya tapi secepat itu dia kehilangan rasa sakit hatinya? Hanya dalam satu hari? Ino memukul kepalanya pelan seolah menyuruh otaknya yang bebal untuk berpikir.

"Aku senang saja deh, yang terpenting kan akhirnya kita bersama..."

"Yasudah, tidur ya sekarang?" dan tetap saja perempuan itu menggeleng, dasar keras kepala.

***

Mereka sudah sampai ditujuan akhir, sebuah pemukiman kumuh yang tidak terlalu besar, ada beberapa rumah disana yang jelas Ino malas untuk menghitungnya, walaupun merasa tidak suka dengan pemandangan yang ia lihat sekarang Ino tidak mencoba untuk protes lagipula Neji sudah memberitahunya bahwa disini ia tidak akan bisa memberikan yang terbaik.

"Maaf, ini mungkin hanya cukup untuk satu orang." Ino tersenyum, membuang segala sesuatu yang mengotori otaknya.

"Tidak apa-apa Neji-san, aku malah senang karena tidak akan terlalu lelah jika membersihkannya." Ino lalu memasuki wilayah itu bersama Neji, menemui pemiliknya dan mengambil kunci.

Tak butuh waktu yang lama, mereka bertemu pandang dengan pintu yang akan terbuka sebentar lagi.

Semuanya akan dimulai, entah itu tentang bahagia atau tangis.

"Ino..." setelah berhasil membuka pintu dan masuk Ino hanya tertarik untuk melihat semua sisi dirumah ini.

"Iya?" jawabnya santai tanpa menoleh pada sumber suara, merasa diacuhkan laki-laki itu memegang lengannya erat membawa dia ke kasur kecil satu-satunya itu untuk duduk.

"Apa boleh aku meminta sesuatu padamu?" Ino tentu saja mengangguk, sepertinya apa saja yang Neji pinta akan ia berikan jika ia mampu.

"Ku harap kamu benar-benar menurutinya." dari nada bicaranya yang sangat serius Ino merasa ada sesuatu membebani Neji, bahkan lebih dari itu.

"Ada apa Neji-san?" Neji tampak sedang berpikir sementara perempuan yang berada disampingnya gusar, bertanya-tanya dalam hati apa yang akan Neji pinta darinya.

"Neji-san? Apa yang kau inginkan dariku?" dan Ino hanya berharap bahwa yang membuat Neji begitu serius adalah tentang kesenangan atau apapun yang berbau positif.

Ya sejenis kebahagiaan yang layak mereka dapatkan.

***

Dear InoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang