Tujuan

303 31 1
                                    


"Pakai ini," sebuah kalung terulur, ia ingat ini adalah kalung yang dulu pernah Neji berikan tapi tunggu, liontin nya berbeda.

"Kenapa kau ganti bandulnya? Ini tidak terlihat lucu," walaupun mengeluh kalung itu sudah berada dalam genggamannya sekarang.

"Kemarin malam saat kau tidur aku membuat ini, jika sesuatu terjadi padamu aku akan tahu dimana kamu berada." Laki-laki itu masih terlihat resah masih sama dengan kemarin.

"Dengan kata lain ini mirip gps, kurasa jika sesuatu buruk terjadi ponsel tidak begitu membantu." Ino paham pada akhirnya laki-laki itu khawatir padanya, tapi apa memang harus berlebihan begini?

"Tapi kan..."

"Aku merasa aneh dengan perilaku ayah, dia bukan tipe manusia yang mudah menyerah. Ku rasa sikap dia kemarin terlalu ganjil." Ino meremas kalung itu pelan lalu membenarkan cara duduknya karena merasa pegal sambil mendengarkan Neji bicara.

"Dia bahkan bisa memakai cara kotor untuk menjatuhkan lawannya, aku benar-benar tidak bisa berpikir hal baik sekarang."

"Jika begitu aku rasa kau pun dalam bahaya Neji-san," Neji menggelengkan kepala.

"Tidak apa, kau lebih penting,"

***

Ino dengan bebas merebahkan seluruh badannya dalam kasur yang hanya cukup untuk satu orang, tidak masalah untuk sekarang karena Neji masih mandi dan Ino tadi mandi lebih awal, ia bahkan sudah memikirkan rasanya tidur dilantai.

Sambil berbaring ia tidak sepenuhnya menikmati rasa nyaman kasur kecil ini, ucapan Neji terus menerus terngiang bagaimanapun suaminya berada dalam masalah yang besar, membuang napas kasar Ino memegang bandul kalungnya, meremasnya pelan, apa dengan benda ini semuanya akan aman terkendali dan baik-baik saja?

Suara langkah kaki terdengar dalam ruangan yang sepi itu, Ino menoleh dan langsung kaget melihat Neji bertelanjang dada dengan cepat ia membuang muka, matanya berusaha melarikan diri dari pemandangan indah yang tidak boleh ia lihat, tidak butuh waktu lama Ino pun sadar bahwa ia tidak boleh tidur dikasur itu, salah dia bukan memaksa ikut waktu Neji memberitahu rumahnya kecil?

Ino menoleh sedikit, Neji tidak tampak melakukan hal yang aneh, dia tenang-tenang saja, mungkin hanya Ino yang terlalu berlebihan disini, Ino jadi ingat saat wajah Neji memerah saat tidak sengaja tidur bersama waktu itu, kemarin disaat malam pengantin mereka Neji memilih tidur ditempat lain, mungkin laki-laki itu butuh waktu mengingat pernikahan yang mendadak mereka adakan. Ino mengerti, ia tidak butuh hubungan yang seperti itu, ia hanya ingin bersama Neji selamanya, itu saja. Ia tidak akan menuntut apa-apa lagi.

"Kasur ini mungkin hanya cukup untukmu saja? Aku tidak apa-apa jika tidur dilantai, aku sudah bawa kain yang hangat, lihat ini Neji-san," Ino melebarkan kain berwarna merah muda itu sambil tak henti-hentinya tersenyum.

"Tidak, kita akan tidur bersama."

"Tapi itu kan hanya cukup untukmu...lagipula kau bukannya tidak begitu suka tidur denganku?

"Kau itu kurus Ino, ini cukup untuk kita berdua." Neji sudah memakai bajunya lalu pergi mendekat pada perempuan yang terlihat agak aneh hari ini. "Siapa yang bilang begitu? Kemarin malam aku lelah, jadi aku tidak sadar tidur di sofa, ternyata saat bangun aku merasa sedih." Neji melepas ikat rambut Ino merapihkan rambut panjang perempuan itu, mengusap-ngusapnya lalu membawa kepala itu kepada pundaknya.

"Tidak apa-apa Neji-san jika kau tidak siap, aku mengerti." Mendesah pelan Neji hanya bisa menatap mata Ino saat perempuan itu melepaskan diri darinya.

"Kau meragukan aku?" Ino dengan cepat menggeleng.

"Aku...tidak, hanya saja ini terlalu mendadak. Aku mengerti Neji-san, kau butuh waktu. Tidak apa-apa," Ino tersenyum lalu balik membalas tatapan itu.

"Kau tidak perlu mengerti apapun,"

"Aku tidak ingin kau melakukan hal yang tidak kau sukai," Ino mengatakan itu sambil menunduk, ini tidak akan benar jika ia terus-terusan memandang Neji.

"Kau benar-benar meragukan kemampuanku, jangan karena aku pernah melakukan hal yang memalukan saat kita belum menikah kau jadi berpikir aku tidak membutuhkan ini," Neji memegang dagu Ino memaksa wajah itu untuk berhadapan dengannya. "Malam ini akan ku ubah pola pikirmu."

Ini hanya perasaannya atau Neji terlihat sangat berbeda, tatapannya aneh, senyum itupun terlihat janggal, sibuk melamun Ino langsung tersadar saat ia tiba-tiba sudah berbaring dikasur, ia juga merasa ada yang menekan mulutnya, tapi ia senang, lalu tidak lama ia sudah ikut bermain, ia tidak akan hanya diam.

***

Pagi itu Ino hanya diam, ia tidur sebentar semenjak permainan itu selesai atau bahkan ia tidak tidur? Yang jelas ia benar-benar berubah pikiran, ia benar-benar terkejut dengan kenyataaan yang ada, dan betapa Neji sangat tangguh. Demi apapun, laki-laki itu..membuat durasinya sangat lama.

Dia diam bukan karena ingin, Ino bahkan sudah merencakan banyak hal, dan sekarang jika bisa ia ingin sekali membantu Neji didapur, tapi ia benar-benar lemas, tidak kuat berjalan apalagi beraktifitas, jadilah ia hanya diam menatap langit-langit yang usang, tapi sekali lagi...ia senang, ia benar-benar senang.

Walaupun agak lama semburan uap sup sudah memenuhi ruangan itu, Neji pun sudah duduk rapi didekatnya, dia membangunkan Ino lalu memeluk perempuan itu.

"Maaf ya?" Ino membalas pelukan itu, hangat. Ia benar-benar suka ada disini, didalam rengkuhan Neji.

"Maaf untuk?"

"Sudah membuatmu terluka," ini bukan gurauan, bukan juga kalimat penenang, Neji benar-benar merasa bersalah.

"Aku menyukainya, jadi tidak perlu khawatir." Ino mengedipkan sebelah matanya membuat Neji gemas.

"Aku bisa makan sendiri kok, kau siap-siap berkerja saja." Ino melepas pelukan itu lalu mengambil sup yang berada diatas meja.

"Kau yakin?" Neji beranjak saat melihat Ino mengangguk lalu pergi membuka tas besar, ia mengambil bajunya disana karena belum sempat merapikan lemari.

"Neji-saan.." masih sibuk dengan mangkuk dan nasi Ino masih sempat-sempatnya bersuara.

"Iya?" Neji sudah siap, hanya tinggal memakai sepatu lalu duduk disamping Ino dan menerima satu suapan dari perempuan itu.

"Aku sudah makan, kau makan saja semuanya."

"Neji-san....hmmm...apa benar aku tidak boleh keluar walaupun hanya didepan pintu?" Ino memandang laki-laki itu penuh harap, seolah dengan memandang dengan kesedihan seperti itu bisa melunakan hati suaminya.

"Maafkan aku, aku harap kau tetap disini. Jangan pergi kemana-mana ya?" walaupun agak kecewa Ino berusaha lapang dada untuk menerima.

"Jangan cemberut begitu, oh iya bagaimana kalau aku ada waktu luang, kita pergi bersama?"

"Benarkah?"

"Hmm"

"Baiklah Neji-san, aku tidak akan pergi kemanapun,"

Neji pergi dengan hati yang tenang, melihat Ino tersenyum seperti itu ia merasa mempunyai tujuan, ia memiliki tempat untuk kembali, memiliki seseorang yang bisa ia lindungi. Ia akan bersemangat kerja untuk tetap bisa menjaga semua itu.

Dear InoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang