"Pembohong," Ino mengernyitkan halis nya melihat Neji pagi-pagi begini, ada apa sih? Apa yang kemarin itu belum jelas, Ino merasa sudah melakukan kebohongan yang sempurna, seharusnya Neji tak datang lagi 'kan?
"Apa? Sudah kubilang kan bahwa kita tidak memiliki hubungan apapun lagi," posisi Ino yang sedang membelakangi Neji sambil menyiram tanaman kini berganti, mereka berhadapan sekarang, dan tentu saja alat siram itu sudah Ino simpan.
"Kenapa kau bohong?"
"Aku.. tidak," kini bukan hanya berhadapan tapi Neji sudah berhasil merengkuh Ino dengan erat, suhu tubuh hangat Neji menguar, membuat rasa rindu Ino bertambah banyak sekali, sampai dadanya sesak, sampai dia sulit menahan air matanya agar tak jatuh, tapi dengan cepat dia menghapusnya memakai lengannya yang bebas.
"Apa-apaan, ini tidak boleh,"
"Sejak kapan ada larangan tak boleh memeluk istri sendiri eh?" suaranya meninggi mengalahkan deruan angin yang sedari tadi mengganggu pendengaran Ino, andai saja dia memiliki jantung yang lemah, sudah dipastikan dia akan mati.
"Kenapa kau tidak ada di sana? Saat aku sakit? Saat aku lupa?" Ino menggeleng-gelengkan kepala sambil terus berusaha untuk melepaskan diri, bahu Neji sedikit bergetar, Ino bahkan ragu mengenai jantungnya yang masih menetap atau sudah jatuh.
"Neji-san?"
"Membuat jarak yang terlalu jauh, kepalaku sakit setiap malam mencoba mengingatmu, tapi kau malah seenaknya pergi..." kini Ino tak lagi berusaha melepaskan rengkuhan suaminya, kini dia merasa seluruh tubuhnya menegang, tak tau harus merespon seperti apa.
"Kau sudah ingat?"
"Jawab pertanyaan ku dulu, apa aku tak layak untuk diperjuangkan?" Ino terdiam sambil menangis, satu hal yang harus laki-laki ini tau, keadaan ini sungguh tak menguntungkan untuknya.
"Aku yang membuatmu terluka, kau tidak seharusnya denganku, kalau kau...kalau kau bersama perempuan yang dipilihkan orangtuamu kamu pasti tidak akan begini, kau pasti tak akan menderita, kau tak akan kehilangan ingatanmu," keluarga Neji membenci Ino dan Ino tak menurut untuk berdiam diri di rumah, ini semua tak akan terjadi kalau Neji, tak bersama dia, kau pasti akan bahagia,"
"Omong kosong apa itu hah?"
"Itu benar, kau tidak seharusnya denganku."
"Apa karena ayah? Apa yang sudah dia lakukan sampai membuatmu menyerah begini?" mereka masih berbagi kehangatan dalam pelukan, mereka masih berbagi rasa perih untuk banyak hal yang terlewati begitu saja, mereka masih tak percaya pada takdir, pada apa yang mereka lihat sekarang, terlalu menyakitkan, ini tak adil.
"Neji-san, ini bukan karena siapa-siapa, tapi jauh dari lubuk hatiku aku menyadarinya, kamu dan aku memang tidak bisa bersama,"
"Jelas sekali, memang jika kau mengorbankan diri begini aku akan bahagia begitu? Kau tau? Kau adalah tujuan dan masa depanku." kini Neji melepaskan rengkuhannya dan hanya memegang kedua bahu Ino sambil menatap wanita itu dengan penuh perasaan.
"Aku tidak mau bahagia jika harus mengorbankan mu, demi apapun Ino jika sampai hujan membuatmu sakit aku akan marah pada hujan, apa yang akan aku lakukan jika aku sampai pergi dan membuatmu sakit? Kau pikir aku akan diam saja menikmati kebahagiaan yang kau bilang itu?" Ino menggeleng, air matanya jatuh gila-gilaan sampai matanya terasa perih, dia bahkan merasa tak bisa mengontrolnya, dan dengan sigap Neji menghapus air mata itu, lagi dan lagi selama air mata itu terus turun.
"Neji-san, dengar..."
"Kenapa? Kenapa disaat aku sangat membutuhkanmu, disaat aku lemah, kau malah tak ada? Asal kau tau saja aku menderita sekali," ucapan Neji yang terus menyudutkannya membuat Ino jengah juga, memangnya semua ini dia yang memintanya?
"Memang kau pikir aku bisa apa? Aku tak bisa melakukan apapun, kau hampir mati saat itu, lalu kau membutuhkan banyak darah, dan aku, aku tak berguna," kali ini suaranya terdengar parau sekali, seolah merasakan kejadian itu sekali lagi, otaknya dipaksa untuk mengingat malam itu, di saat dia berjanji untuk menjauh.
"Tak ada stok darah karena darahmu langka, makanya aku harus meminta pada orangtuamu, dan kau tau ...ayahmu ...memberikannya, dia membuatmu kembali hidup,"
"Ino,"
"Neji-san, pulanglah, aku sudah berjanji pada keluargamu untuk pergi, ku mohon, aku tak mau kau terluka lagi,"
"Aku tidak mau, rumahku ada disini," dia menunjuk bahu Ino dengan lembut, tapi Ino tetap menggeleng, janji tetaplah janji sekali pun Neji mengingat semuanya.
"Itu dulu, sekarang bukan lagi," Ino hendak mundur tapi lengan Neji malah menariknya.
"Dulu, sekarang dan selamanya, rumahku itu kau,"
"Tapi aku tak bisa,"
"Aku akan membuatmu berbicara bisa lagi, itu bukan janji, itu omong kosong, itu memang tugas orangtuaku, jadi ayo pulang, ke rumah kita,"
"Tapi aku..."
"Oke akan ku selesaikan sekarang," Neji membuka ponselnya, mengirim email pada ayahnya, beberapa berkas penggelapan pajak, bukti transaksi pencucian uang, beberapa pasword yang sudah berhasil Neji bobol tentang bisnis perdagangan manusia, dia ingat sekarang tentang semuanya dan tentang ini, dulu dia membuat ini agar ayahnya membiarkan dia bebas, sebuah ancaman picik memang, atau bahkan Neji sekarang ingin melaporkannya pada pihak berwenang karena sang ayah sudah berbuat begitu jauh, membuat dia dan istrinya begitu menderita, dia bahkan akan membunuh Ino.
To : hizashi29@hyuuga.co.knh
Mau bersenang-senang di penjara?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Ino
FanfictionCinta itu bukan hanya tentang memiliki, bahagia dan tertawa. Lebih dari itu kau harus mempunyai keyakinan sekeras baja, hati yang kuat, dan pengorbanan yang besar. Karena.... setiap pertemuan akan diakhiri dengan perpisahan apapun alasannya, dan dis...