Not today

192 19 0
                                    


Hari ini tidak lah berjalan mulus seperti keinginannya, semenjak pagi kemarin, harinya disini terasa tak begitu menyenangkan, ingatannya terus terhenti dimasa-masa bahagia itu, saat mereka bersama di rumah kecil penuh kenangan, ternyata dia tak bisa kuat, jika saja akal sehatnya tak dipakai, mungkin kemarin laki-laki itu sudah berakhir dalam pelukannya yang dingin, tak akan dia lepas walaupun terasa pegal, sekarang Ino malah membayangkan betapa tenangnya Neji jika berada dalam dekapannya yang erat, dia tersenyum tipis, dia membalas pelukannya dengan sama eratnya, mereka sering berbagi cerita tanpa kata, cukup rengkuh Neji, maka semua rasa sakit akan hilang, sekarang dia jadi mengerti mengapa rasa resah nya kali ini tak pernah mau pergi, karena Neji pun tak ada.

"Ino ada yang mencari mu," tanpa mau repot mengetuk pintu, teman kerjanya itu malah berteriak, seingat Ino jika pun ada yang mencari pasti laki-laki itu.

"Siapa?" belum sempat Ino melanjutkan ucapannya bahwa dia tak ingin menemui siapapun, ternyata ada seseorang yang seenaknya memaksa dia untuk keluar.

"Keluar kamu, Bibi ingin bicara...." dan dia tidak mengerti ekspresi apa yang harus dikeluarkan, ini terlalu mendadak dan.... Pasti ini ulah gadis berambut merah muda itu, kenapa dia malah membawa bibinya kesini sih.

"Ino," panggilnya lagi membuat Ino bangun dari lamunannya.

"Iya iya aku keluar," dengan reaksi alami Ino menghempaskan satu kakinya dengan keras ke lantai, baru saja dia selesai bekerja, baru saja dia merenung, sekarang apalagi?

***

Wajah Bibinya benar-benar tampak marah, kesal, dan terluka, Ino bisa melihat itu dengan mudah, walaupun Bibinya berusaha untuk merendahkan volume suaranya tapi tetap saja terlalu kentara.

"Kenapa?" Bibinya memulai percakapan ini dengan suara dingin, Ino hanya bisa menerima takdir seperti biasanya, hidup Ino terlalu banyak mendapatkan kejutan, hal seperti ini seharusnya tidak aneh lagi 'kan?

"Kenapa apanya?" jawabnya polos, bahkan tampak seperti tak takut sedikit pun.

"Kenapa kau melakukan ini semua? Pergi dari Konoha, tiba-tiba Bibi mendengar kabar buruk, kau bekerja disini, kenapa tidak terbuka pada Bibi lebih awal, kau pikir----"

"Karena aku tau bibi akan seperti ini," sudah bukan waktunya lagi dia bersembunyi, tampaknya dia memang tak benar-benar pandai, bahkan Sakura di pojokan sana menatap Ino dengan penuh penyesalan, tapi yasudah lah ini semua sudah terjadi. "Bibi pasti tak akan menerimanya,"

"Tentu saja, dia merendahkan mu kau pikir Bibi akan diam saja begitu?" sesuai dugaan, akan seperti ini jika wanita itu tau.

"Itu lah mengapa aku tidak memberitahu siapapun, karena kalian tak akan pernah mengerti," 

"Ino, jika laki-laki tua itu memaksamu untuk melakukan hal gila seperti ini, kau pikir kami bisa menerimanya? Kau ini berharga, dia tak layak melakukan hal jahat padamu," di ruangan ini hanya ada mereka berdua sekarang, barusan Deidara dan Sakura memutuskan untuk mengobrol diluar, mungkin mereka ingin memberikan ruang gerak yang bebas untuk dua orang yang terikat hubungan keluarga itu.

"Bibi tak akan mengerti,"

"Kalau kau tak menjelaskan mana bisa aku mengerti," ucap sang Bibi lebih keras daripada tadi.

"Neji dan aku....." Ino memang terlalu ringkih, air mata yang dari tadi menggumpal di pelupuk mata sudah berhasil terjun bebas tanpa jeda, isakan nya kencang, jantungnya bergemuruh, kejadian itu memang teramat menyakitkan, dia tak mau ingat lagi, dia tak mau bercerita lagi.

"Tolong sekali saja hargai keputusan ku, aku sudah besar, sudah dewasa, aku tau apa yang baik untukku dan hidupku," kali ini sang bibi diam, merasa tertampar melihat sosok itu menangis tersedu-sedu, benar... keponakannya sudah besar, seharusnya dia mengikuti alur yang sudah Ino buat, tapi tetap saja sulit, dia tidak terima anak gadis yang dia besarkan di perlakukan tak baik oleh keluarga suaminya, tapi dia memilih untuk pergi dan kalah, jika sampai menangis seekstrim ini bibinya jadi tau kalau ini keputusan Ino yang sulit.

"Tolong..." ucapnya sekali lagi sebelum semua rasa sakit menyerang, dia bahkan merasa kesulitan untuk sekadar menghentikan tangis, seolah semua perihnya ingin pergi semua, tak betah berada di dalam organ tubuh dinginnya yang mungkin tak nyaman untuk ditinggali, bahkan lihat sekarang, semua tampak lebih bagus jika mereka pergi dari hidup Ino kan?

***

Setibanya Neji ke rumah nenek Hotaru tadi pagi wajah dinginnya terus menguasai, bahkan sampai malam ekspresi dingin itu tampak terus tinggal di wajah tampannya, terasa begitu ganjil dan membuat Hotaru sedikit curiga, jangan-jangan gadis itu..... Tapi sebelum berpikir yang tidak-tidak Hotaru memutuskan untuk memastikan semuanya, menelpon calon mertuanya mungkin menjadi pilihan paling benar, salah dia saat itu tak mau tau bagaimana visual dari Yamanaka Ino, dia memang terlalu percaya diri saat Neji tampak terpesona padanya, memang tidak mungkin menemukan perempuan itu disini, tapi melihat Neji yang bereaksi berlebihan begini mau tak mau dia harus mencari tau, sebelum semuanya terlambat.

"Halo paman," kali ini dia harus menelpon beberapa kali karena ayah Neji terus menerus tak menjawab, setelah kesabarannya hampir habis barulah dia merasa telponnya diangkat.

"Ya?" dia bahkan sekarang berusaha untuk tak menggunakan nada tinggi, dia tak boleh berlaku tak sopan pada calon mertuanya.

"Yamanaka Ino berambut pirang 'kan? Apa dia memiliki mata hijau sedikit biru seperti warna laut?" tanyanya tanpa basa-basi, ada jeda lumayan lama, tampaknya lawan bicaranya sedang berusaha mengingat-ngingat.

"Kurasa iya, dan setiap bertemu dengan paman dia selalu mengikat rambutnya, dia memiliki poni yang agak panjang, ada apa Hotaru?" tiba-tiba saja tangannya gemetaran, yang kemarin dia lihat pun begitu, wanita itu mengikat rambutnya, tanpa perlu meminta foto atau apapun Hotaru sudah yakin, ditambah Neji bisa mengenalinya, dia harus bergerak cepat sekarang.

"Kami bertemu dengannya kemarin, ini benar-benar diluar dugaan," ucapnya panik, tampak tidak tau harus berbuat apalagi.

"Kau yakin? Cepat bawa Neji pergi dari sana," Hotaru mengangguk, mungkin dia harus kembali lebih cepat, sial.

"Ya, paman bisa tolong urus perjalanan pulang kami besok?" karena ini terlalu mendadak Hotaru tak bisa mengurusnya sendiri.

"Ya akan paman urus,"

"Terimakasih paman, aku akan berusaha membawa Neji untuk pulang lebih cepat," Hotaru mematikan sambungan telpon, detakkan jantungnya makin menggila kali ini, ini sungguh-sungguh kebodohan luar biasa, benar-benar tak bisa ditebak dan diterka, bagaimana bisa dia bertemu Ino disaat Hotaru pergi dari Konoha agar Neji tak ingat tentang wanita itu, sial sekali, dia merasa menyesal setengah mati.

Tak mau lagi membuang-buang waktu yang berharga Hotaru pergi ke ruang tengah, menemui sosok laki-laki yang sedang menatap jendela, disentuhnya bahu itu agar Neji mengalihkan pandangan.

"Tadi ayahmu menelpon," sesuai arahan laki-laki itu menoleh ke arahnya, mendengarkan Hotaru bicara dengan ekspresi dingin yang sedari pagi belum hilang.

"Dia bilang ada sesuatu yang penting, jadi kita disuruh pulang, tapi----"

"Ya, lebih baik kita pulang saja," Hotaru terkejut tentu saja, tapi lebih dari itu dia merasa senang sekali, senyumnya mengembang, ternyata tak sulit, dia pikir Neji akan bersikukuh untuk diam disini karena wanita itu, sepertinya laki-laki itu masih belum mengingat apa-apa.

"Oke, kita harus berkemas sekarang,"

***

Dear InoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang