New Journey (2)

207 30 3
                                    


Sebelum dia benar-benar terlarang untuk menginjak tempat kelahirannya, sebelum Neji kembali kesini untuk menetap hidup, perempuan yang dikenal ceria dan banyak bicara itu memutuskan untuk pamit pada kehidupannya yang lama, termasuk pada keluarga dan teman-temannya di Konoha, kota yang sudah ia anggap sebagai tempat penuh kenangan dan tempat yang sudah menyaksikan betapa Ino sudah benar-benar tumbuh.

Pukul tujuh belas limapuluh empat, dia sudah menapakkan kaki di kota itu dan berusaha dengan keras agar bisa sampai kesini, tempat yang sudah lama sekali tidak pernah ia kunjungi, bukti bahwa dia pernah marah pada sang pencipta karena begitu teganya menuliskan takdir yang menyedihkan untuknya, tempat yang bahkan ia benci, tapi ini yang terakhir kan? Tidak akan ada waktu yang lain lagi.

Pemakaman yang lumayan jauh dari rumahnya, tempat dimana dua sosok yang seharusnya selalu ada untuk Ino malah terdiam disini, lalai dalam tugas dan mengabaikannya, membiarkan Ino hidup tanpa kasih sayang.

"Halo," Ino terduduk ditengah-tengah, pusara mereka berdampingan.

"Apa kalian tau aku siapa?" setitik air terjatuh ketanah, itu bukan berasal dari mata Ino entah mengapa sekarang malah gerimis.

"Aku yang kalian tinggalkan saat masih bayi, saat seharusnya aku menangis karena lapar bukan karena sedih sudah ditinggalkan." Ino menatap langit berusaha untuk tidak melihat pusara-pusara itu, seolah sedang berbicara pada angin, seolah sedang berada pada tempat yang salah.

"Kalian tidak pernah tau betapa sulitnya aku untuk tertidur saat tiba-tiba datang petir dimalam hari, saat ada serangga yang ku benci terus menerus terbang kearah ku, kalian melewatkan banyak sekali pertemuan orang tua untuk mengambil hasil belajarku."

"Aku berdiri melihat semua orang mengamit lengan orangtuanya, aku tumbuh dengan tidak begitu baik ada kalanya aku harus masuk rumah sakit karena aku memakan es sirup sepuasnya, aku memakan cokelat sampai gigiku sakit, aku begitu menyedihkan bukan?" sekarang pandangannya sudah teralih, pada pusara sang ibu.

"Hingga akhirnya aku tau bagaimana rasanya bahagia, ada seseorang yang selalu ada untukku, yang berhasil membawaku hidup seperti manusia normal, dia menjadi tempatku untuk kembali, ibu tau kan hal-hal yang seperti itu? Jatuh cinta, perasaan seorang wanita yang sangat senang berhasil mendapatkan laki-laki yang baik, kami menikah, berkat dia aku lupa tentang rasa sakit ini, rasa sakit yang kalian berikan padaku semenjak aku kecil." ucapnya bergetar menahan gelombang emosi untuk tidak terhambur begitu saja, dia lelah menangis terus.

"Jangan tanya dia kemana....sama seperti kalian dia pun pergi." matanya menggelap, ini adalah bagian tersakit.

"Aku dianggap tidak layak oleh orangtuanya, aku  terlalu kecil, aku diusir, aku dilupakan..." satu tetes berhasil melesat keluar tanpa bisa ditahan, sungguh ini adalah jenis interaksi yang paling menyesakan.

"Mereka mengambil orang yang kusayangi, aku tidak bisa melakukan apa-apa, aku diperlakukan seperti ini, apa kalian tidak marah?" hanya suara rintik-rintik hujan yang menguasai indera pendengaraannya.

"Sekali saja, tolong lakukan tugas kalian sebagai orangtua, hatiku sakit seperti ini, setidaknya tenangkan aku, berikan aku sebuah pelukan."

"Aku tidak perlu pembelaan, aku hanya ingin menjadi seseorang yang beruntung sekali lagi, saat dia meninggalkan aku. Jika dulu ada dia maka sekarang harusnya kalian kan?" tangisnya pecah, Ino tau ini adalah hal yang bodoh untuk sekali lagi dalam hidupnya menyalahkan tulisan takdir, tapi dia tidak kuat....dia sakit.

"Kenapa kalian pergi dan menyisakan aku sendirian? Kenapa kalian tidak membawa aku untuk ikut mati, jika aku mati dari dulu aku tak perlu mendengar ucapan ayah Neji memanggilku dengan kata tak layak, harusnya kalian tau aku pun tidak ingin sendirian."

Dear InoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang