17. Air Mata

1.9K 114 0
                                    

...

        Wajah Viola memucat. Entah sudah berapa kali ia menelan ludah, dan kelakuannya itu malah membuat perutnya tambah mual.

Noe mengasongkan sebatang cokelat pada Viola saat pemuda itu datang. Gadis itu langsung merampasnya dari tangan Noe. Dengan cepat ia merobek kemasan dan melahap cokelat itu dengan rakus.

"Lapar?" tanya Noe menahan tawa memperhatikan tingkah Viola.

Viola cemberut. "Aku gak biasa naik kapal laut," geramnya menahan badai yang tengah melanda perutnya. Baru beberapa jam gadis itu berada di atas kapal laut, ia sudah mabuk. Padahal perjalanannya dari Pelabuhan Sampit akan memakan waktu berhari-hari menuju pulau Jawa.

"Mau bagaimana lagi?" sahut Noe santai. "Kita tidak mungkin beli tiket pesawat. Proses check in di bandara itu diperlukan KTP atau kartu identitas lain untuk verifikasi data penumpang," ujarnya menyadari gadis di sampingnya itu tak memiliki kartu identitas apapun.

Viola mendesis. Tadinya ia pikir, ia akan dibawa ke Bandara Tjilik Riwut dan segera terbang ke Bandara Soeta. Tapi sekarang ia malah terombang ambing di tengah laut dan membuat isi perutnya dikocok habis-habisan.

"Tapi harusnya kamu merasa beruntung karena aku memasukan kita ke kelas 1A, tidak harus berdesakan di kelas ekonomi. Kalau di sana, mungkin sekarang kamu lagi muntah-muntah." Noe beranjak meninggalkan Viola di dek kapal. Gadis itu langsung berbaring. Setidaknya cokelat yang diberikan Noe mampu mengurangi rasa mualnya.

Gugusan jingga merebak. Air laut pun  berkilauan saat senja menyapa mereka yang berada di atas kapal. Viola mencoba mengintip keluar melalui kaca, memandangi sinar matahari yang memberikan warna keemasan pada air laut tatkala bulatan merah itu seakan tenggelam ke dasar lautan.

Viola memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Gadis itu berjalan menuju geladak kapal, di mana tempat itu kini dipenuhi orang-orang yang sedang menikmati sunset.

Langkah kaki membawanya ke pinggiran kapal. Dengan sedikit membungkukkan badannya, gadis itu agak condong memandangi air laut yang sudah berganti warna. Noe yang ternyata mencarinya di dek kapal, langsung mendapati gadis itu sedang membahayakan dirinya sendiri. Noe berlari memburu tubuh Viola dan menariknya agak keras agar menjauh.

"Heh! Apa kau mau aku terjun ke laut?" protes Viola karena pemuda itu membuatnya kaget.

"Ya! Sepertinya kau sendiri memang ingin terjun ke laut. Sana, lakukan lagi!" Noe menggedikan dagunya. Viola hanya diam, menyadari kelakuannya tadi mungkin memang akan membahayakan dirinya. Tapi dia, kan, hanya ingin melihat air laut. Itu akan mengingatkannya pada Tristan. Bagaimana kabar lelaki itu sekarang? Viola kembali murung.

Noe menyeret Viola menuju sebuah cafetaria di buritan kapal. Gadis itu sempat tak mengerti, namun ketika ia dihadapkan pada sebuah meja yang sudah dipenuhi makanan, barulah ia sadar, pemuda itu menyuruhnya untuk mengisi perut lagi. Aish, apa makanan sebanyak itu tidak akan keluar lagi saat rasa mual akan datang kapan saja padanya?

"Kamu membeli dua tiket kelas 1A, lalu sekarang sudah memesan banyak makanan," ujar Viola saat pantatnya sudah terhenyak nyaman di atas kursi. "Jadi, kamu ini banyak uang, kan?" selidik Viola menatap tajam mata pemuda yang tengah duduk di depannya itu.

"Terus kenapa kalau aku banyak uang?" Noe mengajukan pertanyaan dengan risih.

"Sebenarnya apa pekerjaanmu?" Lagi-lagi Viola menampakan wajah curiga.

"Aku menjual wanita-wanita di pasar gelap!" sungut Noe melahap makanan yang ada di hadapannya dengan gemas.

Viola mendelik mendengar jawaban pemuda itu. Ia tahu Noe menjawab pertanyaannya itu dengan asal-asalan.

Falling for You (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang