Pagi itu, Jimin telah bersiap memetik apel di kebun belakang rumahnya. Beberapa masih hijau, tapi beberapa juga sudah merah tanda siap dipanen. Ibu Jimin, atau yang lebih dikenal dengan Nyonya Ahn dan Nenek Jimin tidak menjual seluruh apel petikan mereka. Mereka menyisihkan beberapa dan membagikan kepada tetangga dekat rumahnya.Jimin dengan santai memetik apel dan melemparnya ke dalam keranjang, sesekali duduk di bawah pohon apel sambil memakan apel petikannya sendiri. Ia mengunyah apel tersebut dengan senang sambil menggerak- gerakkan kepalanya. Lalu ia kembali berdiri dan memeriksa dengan teliti, masih adakah apel merah yang menggelantung di pohon- pohon? Jika tidak ia kembali masuk ke dalam rumah menemui nenek yang sedang memasak.
Jimin menepuk pundak Neneknya pelan. 'Ibu sudah pergi bekerja?' Gerak bibir Jimin.
"Sudah. Baru saja ibumu berangkat. Mungkin saat ini masih ada di ujung jalan dekat sungai. Kenapa?" Kedua tangan Nenek Jimin dengan lihai menjawab pertanyaan Jimin dengan bahasa isyarat.
Jimin menunjuk apel- apel di keranjang. Ah, Nenek Jimin langsung paham. "Kau mau membawakan ibumu apel?"
Jimin mengangguk pelan.
"Masukkan ke dalam sini." Nenek Jimin menunjuk kresek merah dan memerintah Jimin untuk memasukkan beberapa apel ke dalamnya. "Hati- hati.."
Jimin berjalan santai menyusuri jalan berbatu dengan ilalang tinggi di samping kanan kirinya. Menenteng sekresek apel merah pilihan Jimin untuk ibunya tercinta. Jimin melihat sosok ibunya di ujung jalan bersama ibu- ibu yang lain, menunggu angkutan umum menuju pabrik. Ya, Nyonya Ahn bekerja di satu- satunnya pabrik gula terbesar yang berada di desanya.
Jimin berlari kecil membuat rambut coklatnya bergerak kesana kemari mengikuti hembusan angin. Nyonya Ahn yang menyadari kedatangan Jimin langsung menyambutnya.
"Ada apa kemari?" Nyonya Ahn dengan lihai menggunakan bahasa isyarat kepada Jimin.
'Apel' Jimin menggerakkan bibirnya lalu tersenyum sambil memasukkan sekresek apel ke dalam tas bekal Ibunya.
"Terimakasih." Nyonya Ahn mengecup dahi Jimin.
"Jimin ya? Lama tidak bertemu. Masih ingat bibi kan??" Tanya salah satu teman Nyonya Ahn yang juga sama- sama menunggu angkutan umum.
Jimin meletakkan telunjuk di dagu sambil mengerucutkan bibirnya. 'Bibi Han?' Jimin terlihat bersemangat saat berhasil mengingat nama teman ibunya, mungkin jika ia bisa berbicara suara bersemangatnya akan sangat menggemaskan ketika didengar.
"Ingat rupanya." Bibi Han tersenyum sambil mengacak pelan puncak kepala Jimin. "Tampan sekali dirimu. Berapa usiamu?" Tanya Bibi Han.
Jimin mengernyitkan dahi, bingung. Bibi Han berbicara terlalu cepat sehingga Jimin tidak bisa membaca gerak bibir beliau dengan jelas.
"Umur, sayang..." Nyonya Ahn mengulang kembali kata- kata Bibi Han namun dengan tempo yang lebih lambat.
Jimin mengacungkan jari telunjuk pada tangan kirinya, dan jari jempol pada tangan kanannya. Lalu tersenyum menunjukkan deretan gigi dan matanya yang menyipit.
"Cepatlah pulang, udaranya dingin." Nyonya Ahn bergidik kedinginan memberi isyarat dari kata 'dingin' untuk Jimin.
'Ibu juga harus tetap hangat.' Jimin menunjuk ibunya mengisyaratkan kata 'ibu' dan memeluk dirinya sendiri mengisyaratkan 'hangat' lalu merapatkan jaket milik Ibunya dan melambaikan tangan tepat saat angkutan umum yang akan ditumpangi pekerja pabrik datang.
Jimin menyeret kakinya untuk kembali ke rumah. Dingin memang, tapi Jimin sangat suka dingin di pagi hari. Sangat menyegarkan, apalagi sambil mencium aroma masakan para tetangga. Jimin berhenti di sebuah rumah yang tepat berada di samping rumahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Quiet Love [PJM] ✔
FanfictionYang Jimin tau, ia sangat tertarik dengan gadis bernama Yoo Jeongyeon, tetangga barunya. Gadis itu aneh, unik. Tapi Jimin suka. Terkadang muncul ide aneh di kepala gadis itu untuk bisa ikut Jimin menggembala domba- domba nenek di padang rumput diam...