"Ayahku akan kembali ke sini nanti malam. Boleh aku ikut denganmu?".
.
.
.
.
.
.
."Tidak boleh ya?" Gadis bernama Jeongyeon itu meremat-remat ujung kausnya. "Kalau begitu aku pergi." Tepat saat Jeongyeon itu berbalik badan, tangan Jimin berhasil membuat gadis itu kembali berbalik menghadap dirinya.
Jeongyeon tersenyum hingga deretan giginya terlihat saat melihat Jimin menganggukkan kepalanya. Berarti ia boleh ikut dengan Jimin. Jimin kembali mengelompokkan domba- dombanya dan berjalan pelan menyusuri jalan. Jeongyeon berjalan mengekori Jimin sesekali melihat langit sore di kanan dan kirinya. Convers putihnya mulai menguning karena terkena debu di sepanjang jalan.
Jimin sesekali menoleh ke arah belakang, memastikan gadis itu tidak kembali pulang atau juga menghilang. Entah alasan apa yang membuat Jimin mengiyakan permintaan gadis itu. Kepalanya saja tiba- tiba dengan lancang mengangguk. Jimin memukul- mukul jidatnya sendiri.
Bodoh kau Jim. Batinnya.
"Hey, kenapa kau diam saja? Apa ini masih jauh?" Jeongyeon bertanya takut- takut pada Jimin dari belakang. Merasa pertanyaannya tidak di jawab, gadis itu mengerucutkan bibirnya. "Apa aku berbuat salah?"
Hingga saat gadis itu menyadari ia pergi terlalu jauh, kakinya berhenti melangkah. Menatap punggung Jimin yang juga mulai menjauh, dan tikungan jalan di belakangnya yang telah tak terlihat. Haruskah ia pulang, atau kembali mengikuti lelaki di depannya yang bahkan kini semakin menjauh dari tempat ia berdiri. Bibir bawahnya ia gigit, menimbang- nimbang pilihan.
Akhirnya, Jeongyeon memutuskan untuk kembali pulang. Meski ia tidak begitu hafal jalannya, setidaknya ada butiran kotoran kambing dan bekas langkah kaki mereka yang berceceran di jalan. Jeongyeon belum pernah pergi sejauh ini, apalagi sendirian. Gadis itu sedikit was- was pada sekitarnya. Ditambah lagi langit mulai menggelap dan jalanan mulai sepi, angin semilir yang membuat dirinya merinding.
"Eh, belokannya?" Gadis itu berhenti di tengah perjalanan, merasa terlalu jauh berjalan. Belokan yang ia lewati sebelumnya tidak ada. "Ta- tadi di sini? Eh, apa aku kelewatan?" Jeongyeon menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Hmm.. mungkin kelewatan." Gadis itu berbalik dan kembali mengikuti tapak kaki kambing- kambing juga butiran kotoran kambing yang berceceran.
●●●
Jimin sudah tiba di padang rumput biasa ia memberi makan domba - domba. Betapa terkejutnya ia saat menyadari gadis yang mengikutinya tidak ada. Jimin mengedarkan pandangan dengan cepat, menoleh dan melongok ke jalanan kosong lagi. Nihil, gadis itu tidak ada. Jimin pun panik dan melupakan soal domba- dombanya. Ia kembali menyusuri jalan dengan langkah kaki cepat. Ia tidak menemukan tanda- tanda keberadaan gadis itu.
Tidak mungkin Jimin membiarkan gadis itu sendirian kedinginan di luar sana. Apalagi ini baru untuknya, di desa dengan penampakan samping kanan kiri serupa rumput dan sawah akan membuat gadis itu semakin bingung. Jimin kembali teringat tikungan yang hampir sama dengan tikungan arah ke rumahnya.
Mungkin saja gadis itu salah belok. Batin Jimin.
Benar saja, Jimin melihat gadis itu meringkuk sendirian sambil menutup kedua telinganya, menangis.
"Ayah..." Jeongyeon mengedarkan pandangannya ke sekitar yang telah gelap. Hingga ia tersadar sebuah tangan menariknya lembut. Tidak ada percakapan diantara mereka setelah itu. Hanya suara sesenggukan menangis Jeongyeon saat Jimin mengusap bahu gadis itu pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Quiet Love [PJM] ✔
FanficYang Jimin tau, ia sangat tertarik dengan gadis bernama Yoo Jeongyeon, tetangga barunya. Gadis itu aneh, unik. Tapi Jimin suka. Terkadang muncul ide aneh di kepala gadis itu untuk bisa ikut Jimin menggembala domba- domba nenek di padang rumput diam...