Hening, belum ada satupun yang membuka suara lebih dulu sejak memasuki kamar hotel tersebut, kedua gadis itu sibuk dengan urusannya masing-masing. Hanna sedang membereskan kopernya, mengambil barang-barang yang sekiranya lebih penting, lalu meletakkan koper tersebut di sudut ruangan. Sedangkan Renesya baru saja melesat ke dalam kamar mandi menyelesaikan urusannya sendiri.
Setelah selesai membereskan perlengkapannya, Hanna mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan. Kamar hotel yang dia tempati memiliki desain interior mewah bernuansa coklat dan putih minimalis, semua furniture berwarna senada. Memiliki Twin Bed berukuran single, disamping kanan kiri ada meja kecil yang diatasnya terdapat lampu berwarna kekuningan.
Di bagian samping ada jendela geser ukuran besar yang terhubung langsung dengan balkon luar, menampilkan view kota New York di ketinggian lantai lima puluh. Untuk sitting area, ada sofa putih berbentuk U melingkar ditengah ruangan di depannya terdapat televisi berukuran 40 inc. Kamar ini terlihat sangat nyaman, Hanna bersyukur setidaknya dia tidak harus menghabiskan uangnya sendiri untuk menyewa kamar semewah ini.
Hanna melihat Renesya baru saja keluar sari kamar mandi, lalu terdengar deringan ponsel di dalam Handbag yang tergeletak diatas nakas, Renesya berjalan cepat menghampirinya, lalu mengangkat panggilan tersebut.
"Tidak jadi Sir."
"Tolong antarkan saja barang-barang saya ke Candler Hotel "
"Baiklah terimakasih."
Renesya menyudahi pangilannya. Lalu melangkahkan kakinya ke arah kulkas di dekat meja pantry.
Ehem,
Hanna berdehem sebentar sebelum berniat membuka suara, dia memutuskan berbicara lebih dulu jika tidak ingin dijadikan pajangan tak berguma di kamar ini, bagaimanapun juga Hanna merasa harus berterimakasih karena Renesya mau berbagi kamar dengannya. Mengingat sikap angkuhnya saat didepan resepsionis tadi membuat Hanna sedikit malu.
"Kita belum berkenalan secara resmi." Hanna sudah berdiri dibelakang Renesya seraya mengilurkan tangannya.
"Aku Hanna."
"Renesya, kau bisa memanggilku Nesya saja." Renesya menoleh kebelakang setelah meneguk minumannya. Lalu menjabat tangan Hanna dan melemparkan senyuman ringan.
"Terimakasih sudah mau berbagi kamar denganku , dan maaf atas kelakuan kurang sopanku saat dibawah tadi." Hanna menampakkan raut tidak enak.
"Tidak masalah, kau santai saja." Renesya menjawabnya dengan bahasa Korea. Lalu menghempaskan bokongnya pada kursi tinggi di depan meja pantry.
"Sudah kuduga kau pasti berasal dari Korea sama sepertiku." Hanna ikut duduk di samping Renesya.
"Ya! Aku memang berasal dari sana." Renesya menyodorkan kaleng minuman lain yang diambilnya tadi, menawarkan pada Hanna.
Hanna menerima dan langsung meminumannya, kebetulan dia memang sedang haus. "Ngomong-ngomong siapa nama koreamu? Apa yang kau lakukan di negara ini? Maaf banyak bertanya." Hanna merasa.tidak enak telah melontarkan pertanyaan tersebut karena mereka baru mengenal beberapa jam lalu, namun dia tidak bisa mengendalikan rasa ingin tahunya.
"Aku tidak tahu pasti, namun sejak kecil orang - orang terbiasa memanggilku terkadang Reen. Aku disini bekerja menjadi seorang editor dan penulis, well! Setidaknya itulah pekerjaannku satu minggu yang lalu."
"Lalu sekarang?" Hanna tidak bisa mengerem rasa ingin tahunya.
"Aku baru saja kehilangan apartemen sekaligus pekerjaanku." Hanna nampak terkejut mendengarnya.
"Bagaimana bisa??"
"Ceritanya panjang, dan aku tidak berminat mengatakannya, lalu kau sendiri?" Renesya berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Aku sedang kabur dari seorang pria?"
Renesya membulatkan matanya mendengar jawaban Hanna." apa pria itu seorang Mucikari yang akan menjualmu."
Pernyataan spontan Renesya membuat Hanna tersentak diikuti gelengan kuat kepalanya."Hei! Kenapa kau berpikir sejauh itu, aku ini wanita baik-baik." Hanna sedikit sebal, secara tidak langsung ucapan Renesya sudah merendahkannya, atau memang dialah yang salah berbicara, entahlah.
"Maaf, aku hanya menduga karena hal semacam itu sekarang sangat sering terjadi." Renesya merujuk pada pria mucikari sialan yang membuat hidupnya kacau. Tanpa sadar Renesya menggelengkan kepalanya, kenapa dia jadi memikirkan pria itu lagi?
"Kau tidak apa-apa?" Hanna menatap Renesya heran melihat wanita itu menggelengkan-gelengkan kepalanya tanpa sebab.
Renesya tersadar dari tingkah bodohnya. "Aku baik-baik saja, lalu kenapa kau kabur dari pria itu?" Renesya kembali bertanya.
"Sebenarnya kami ada urusan bersama di negara ini, menyangkut pekerjaan, namun karena suatu hal, aku marah padanya dan memutuskan pergi tanpa sepengetahuannya."
"Pria itu pasti sedang panik mencarimu."
"Aku tidak peduli."
***
Aiden merentangkan tubuhnya yang terasa kaku akibat perjalanan jauh kemarin, dia benar-benar kelelahan dan sedikit mengalami JetLag meskipun masih bisa. menguasai dirinya. Aiden semakin dilelahkan karena harus menghadapi sifat kekanakan Hanna yang sulit dia kendalikan. Aiden tidak habis pikir mengapa gadis itu bisa keras kepala sekali jika sudah menyangkut keinginanya. Sayangnya Aiden belum bisa menceritakan apapun untuk sementara ini, karena semuanya belum pasti. Dia tidak boleh gegabah dan harus memastikan lebih dulu. Aiden hanya tidak ingin melibatkan Hanna pada urusannya kali ini.
Mata coklat Aiden melirik kaca jendela besar yang menampilkan teriknya sinar mentari yang sudah meninggi. Ya Tuhan jam berapa ini? Pria itu bergegas bangun dari tempat tidur nyamannya, meraih ponsel di nakas, lalu melihat jam digital di ponselnya yang menunjukkan pukul satu siang. Sial! Sudah sesiang ini, kenapa Hanna tidak membangunkannya, apa gadis itu tidak kelaparan. Aiden segera melesat kekamar mandi, membersihkan dirinya dengan cepat, mengganti kaos tipis tanpa lengan dan boxer selututnya dengan T -shirt Crew Neck tee putih bermotif garis dan celana jeans biru.
Aiden mengetuk pintu kamar Hanna. Lalu menunggu beberapa saat.
Dia mencobanya lagi, namun sudah berkali-kali dia mengetuknya, pintu tersebut tetap tidak menunjukkan tanda-tanda akan dibuka oleh seseorang dari dalam.
Kemana gadis itu?
Tidak mungkin sesiang ini Hanna masih tidur.
Mungkinkah gadis itu turun lebih dulu mencari makanan, kerena sudah lapar menunggunya bangun terlalu lama.
Aiden lalu mengecek ponselnya, namun tidak ada satupun pesan atau panggilan masuk dari Hanna. Dia merasa aneh, ini tidak biasanya terjadi. Hanna adalah orang pertama yang akan membuat ponselnya berisik dipagi hari dengan puluhan pesan dan panggilan mengganggu, apalagi jika Aiden sering bangun kesiangan. Anehnya hal itu tidak terjadi hari ini.
Kali ini Aiden mencoba menghubungi Hanna, namun nomor gadis itu ternyata tidak aktif. Aidem memutuskan turun kebawah dan bertanya pada resepsionis. Mungkin saja mereka melihat saat Hanna lewat, atau petunjuk apa saja yang bisa Aiden ketahui kemana gadis itu pergi. Aiden menduga saat ini Hanna mungkin sedang makan di cafetaria hotel tersebut
"Reservasi atas nama nona Hanna telah melakukan check out pagi ini tuan."
Aiden sangat terkejut tatkala resepsionis memberitahukan kabar tersebut, apa dia tidak salah dengar? Hanna pergi diam-diam dari hotel ini tanpa sepengetahuanya. Aiden memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening.
Apa gadis itu sudah gila!! Kemana perginya dia?
Chieva
01 Juli 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Amor Impredecible - [ On Going ]
RomansaRenesya Clark adalah seorang editor di sebuah perusahaan penerbitan di pusat kota New York dan juga seorang penulis yang gemar menulis genre cerita romance young adult, dengan konflik ringan lovey dovey ala remaja belasan tahun. Sebuah bencana bagi...