PROLOGUE

60.9K 5.5K 634
                                    

Setiap manusia memiliki benang merah di kelingking mereka.

Benang merah itu tak kasat mata dan tidak terasa.

Jika dirimu mengikuti jalan takdir yang telah ditentukan, maka kamu akan menemukan ujung benang yang dihubungkan oleh satu benang yang sama.

Ujung itu adalah kebahagiaanmu.

*

Lama, tetapi masih jelas di ingatanku, Mama yang bercerita.

Aku masih berumur sepuluh tahun waktu itu. Mama menceritakannya saat aku memintanya untuk mendongengkan sesuatu untukku. Saat itu, Mama baru kembali dari kantornya, hampir larut malam.

Itu permintaan yang egois. Sampai sekarang, aku masih tidak mengerti mengapa Mama tetap mengabulkannya, walaupun beliau sudah lelah waktu itu.

Baru dua tahun berlalu setelah itu, banyak hal tidak menyenangkan telah terjadi.

Mama bilang, Mama dan Papa sudah tidak bisa hidup bersama.

Papa bukanlah benang merah-nya.

Tinggal lebih lama bersama Papa hanya akan membuatnya menderita dan akan memperparah segalanya.

Mama juga bilang, ada perasaan yang aneh, ada sesuatu yang salah. Mungkin sama seperti saat aku tidak bisa datang ke sekolah dengan alasan apapun. Aku pasti akan merasa bahwa ini salah, aku tidak seharusnya berada di sini, seharusnya aku berada di sekolah.

Sebagai anak satu-satunya, hal yang bisa kulakukan hanyalah mengerti.

Lalu, karena aku lebih dekat dengan Mama daripada Papa, maka aku memilih untuk ikut bersama Mama.

Kata Bu Guru di kelas, ujian adalah tentang memilih opsi yang benar dalam pilihan ganda. Hidup juga, tentang memilih opsi yang benar. Jadi, tidak salah juga kalau ada yang menyebutkan bahwa hidup itu adalah ujian dan penuh pilihan. Salah dalam memilih, bukan berarti hidup akan berakhir. Masih ada kesempatan untuk memilih hal yang benar di soal selanjutnya.

Menurutku, Mama adalah wanita tercerdas di dunia, dan dia mengatakan bahwa dia salah memilih benang merahnya.

Aku benar-benar menyayangkan hal itu, karena jika seseorang secemerlang Mama saja bisa salah, seharusnya aku sudah boleh memulai untuk mengkhawatirkan diriku sendiri.

Tapi, Mama juga bilang ...

Kalau Mama dan Papa tidak melakukan kesalahan ini, maka aku tidak akan pernah ada.

Dan katanya, aku bukan kesalahan. Kalaupun semuanya bersikeras mengatakan salah, Mama bilang, aku adalah kesalahan terindahnya.

Aku menyayangi Mama, lebih dari apapun yang pernah kusukai di dunia ini. Lebih daripada strowberry shortcake yang dibeli di toko kue langganan kami, lebih daripada langit berawan yang menyembunyikan matahari, dan lebih daripada pemandangan saat titik hujan menyentuh genangan air. Aku benar-benar sangat menyayanginya.

Ada satu sore saat aku tengah menunggu bus di halte, seperti biasa. Karena tahun ini adalah Ujian Nasional pertamaku, maka Mama menganjurkanku untuk mengikuti kursus. Hanya kursus untuk matematika, karena aku merasa agak payah di pelajaran itu.

Saat itu, kursi untuk menunggu telah penuh dan aku hanya gadis kecil yang beruntung karena mendapatkan sebuah tempat kosong di sana. Letak tempat aku mengikuti kursus, dekat dengan tempat perkantoran dan toko, jadi mereka kebanyakan adalah orang-orang yang telah selesai bekerja.

Meskipun ramai, tidak ada yang benar-benar berbicara di sini. Suara bising yang muncul di sekitarku hanyalah orang-orang yang menonton video dari ponsel mereka, atau sedang menerima telepon.

Dari kejauhan, aku melihat dua orang lanjut usia yang saling bergandengan dengan punggung telah membungkuk. Pelan tapi pasti, keduanya berjalan ke arah halte, memunggungi matahari senja dan bayangan mereka memanjang ke arahku.

Itu sungguh, benar-benar adalah pemandangan paling memukau yang pernah kulihat di sepanjang hidupku. Aku seperti melihat sebuah ujung kehidupan, tujuan yang didambakan setiap manusia.

Aku refleks berdiri, saat melihat Kakek itu kebingungan mencari tempat duduk. Kakek itu tersenyum ke arahku, lalu mempersilakan Nenek untuk duduk di kursi. Dia berdiri samping Nenek, melindunginya dari cahaya matahari yang menyorot ke arahnya. Kebetulan, tempat duduk yang kuberikan barusan adalah yang paling ujung, paling dekat keberadaannya dengan matahari.

"Terima kasih," ucapnya.

Aku menunduk, lalu mengangguk pelan. "Sama-sama."

Saat keduanya saling bertatapan dengan tatapan hangat. Tidak ada percakapan yang berarti. Hangat, ini jelas bukan dari matahari senja yang menyorot ke arahku.

Lalu, mataku tak sengaja menangkap sesuatu yang janggal.

Benang merah.

Aku ingat persis bahwa saat mereka saling bergandengan tadi, tidak ada apapun yang mengikat pada kelingking keduanya. Sekarang, aku menemukan benang merah pada kelingking kanan Kakek itu dan benang yang terikat di kelingking kiri Nenek itu adalah ujungnya.

Apakah ini benang merah yang diceritakan Mama?

Saat aku mengalihkan pandanganku ke arah lain dan kembali memperhatikan tangan mereka, aku tidak lagi menemukan apapun.

Ilusi.

Saat sebuah bus berwarna perak datang menghampiri halte, satu persatu dari merekapun beranjak dari kursi halte dan mengantre untuk masuk di dalam bus, termasuk Kakek dan Nenek tadi.

"Kamu tidak naik?" Seorang pria yang mungkin seumuran Ayah menegurku. Mungkin ia berpikir bahwa aku sedang melamun.

Mama sering mengatakan kepadaku bahwa berbicara dengan orang yang tidak dikenal adalah suatu larangan besar. Namun karena tampaknya dia juga terburu-buru hendak naik ke bus dan juga karena keadaan di halte masih ramai, aku memutuskan untuk tetap ramah.

"Bus tujuanku belum datang," balasku sambil membungkuk sopan, "terima kasih sudah bertanya."

Pria itu tersenyum, lalu mengangguk singkat dan berjalan ke arah bus.

Saat itu, aku tidak sengaja melihat benang merah di kelingkingnya. Benang merah itu mengambang di udara, bergerak tenang, panjang, dan ujungnya tidak terlihat karena terhalang oleh jarak.

Aku terpana diam.

Tidak sempat memeriksa benang itu, pintu bus tertutup dan membawa mereka semua menjauh dari halte. Benang merah itu pun menghilang beberapa saat kemudian.

Yang kutahu, sejak hari itu, aku bisa melihat benang merah.

***

15 November 2018

Cindyana's Note

Halo dan selamat datang kembali di Little Fantasy Series!

*Oops, maksudku, Secret.

Ini adalah seri kedua dari LFS dengan heroine Alenna. Yang sejak LFS 1 tamat dari dua tahun lalu terus ditagih-tagih oleh pembaca-pembaca sekalian.

Akan aku publish setiap seminggu sekali~

BTW, ketemu cerita ini dimana? :)

Cerita-ceritaku yang sudah tamat dan bisa dinikmati tanpa gantung-gantungan:
1. LFS 1 - Air Train
2. DN
3. Flashback
4. MIZPAH
5. APPETENCE
6. ZEMBLANITY

Selamat membaca!

Cindyana

LFS 2 - Red String [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang