The Seventh Thread - "Moment is Something Rare"

21.7K 3.9K 438
                                    

Moment is something rare, it happens once and won't same anymore. Every second is a moment.

***

Kutekan lembaran sticknote pada buku paket pelajaran Sejarah. Entah sudah berapa catatan kecil yang kutempelkan di sana. Banyaknya kronologi yang saling berhubungan membuatku memilih meringkasnya lebih dulu. 

Aku ingat persis, saat aku mulai meringkasnya di kelas dan Rania melihatku berusaha menulis informasi sebanyak-banyaknya dalam kertas kecilku, dia menyerahkan sebuah stabilo dan memintaku mencoretnya saja. Tentu saja aku menolak kebaikan hatinya itu dengan alasan karena lebih mudah melafalkannya dengan meringkasnya lebih dulu. 

Mencoret buku paket agak disayangkan, menurutku. Harganya mahal. Biasanya ada adik kelas yang ingin membeli buku paket bekas dengan harga yang lebih murah daripada membeli langsung di toko buku. 

"Alenna sudah selesai?" Mama membuka pintu kamar belajar dan berhenti di pintu. 

Segera kututup buku dan berdiri mendekati pintu, "Sudah, kok. Mama sudah mau mulai?"

Tidak biasanya Mama pulang lebih awal hari ini. Sudah lolos dari tugas kantor yang menggunung setelah akhir tahun selesai, Mama bilang pekerjaannya mulai mereda dan lebih santai dari sebelumnya. Itu membuatku agak senang.

"Hati-hati ya, potongnya. Jangan sampai kena tangan," pesan Mama.

"Iya." 

Kuluruskan papan potong lebih dulu, mencari posisi nyaman. Selanjutnya, aku memasang dan mengetatkan ikatan pada celemek sebelum meraih pisau. Menggunakan celemek ketika membantu Mama memasak membuatku terlihat seperti asisten Mama. Padahal kenyataannya, aku tidak bisa memasak. 

Alasan mengapa aku menggunakan celemek karena aku benar-benar ceroboh. Pernah sekali Mama memintaku untuk mengoper kecap asin dan aku tidak sengaja membuatnya tumpah terkena seragamku. Itu bukan pengalaman yang menyenangkan, mengingat bahwa saat itu terjadi, pakaianku yang kotor adalah seragamku dan saat itu masih Senin pagi. 

"Kamu sudah tahu siapa anak sebelah?" Mama bertanya tiba-tiba, setelah keheningan yang menguasai dapur.

Aku terdiam selama beberapa saat, "Sudah, Ma."

Mama juga diam sebentar, kemudian bertanya lagi, "Teman sekelas?" 

"Bukan. Dia kelas 7-2," balasku. 

"Ooh." Mama mengaduk kuah daging yang ada di dalam panci. "Sudah kenalan?"

Bayangan saat aku bersalaman dengan Arlan Pratama kembali terputar jelas di kepalaku. Kujawab dengan sedikit percaya diri, "Sudah." 

"Siapa namanya?"

Aku berusaha untuk tidak menghela napas saat menjawab, "Namanya Arlan Pratama." 

Kuserahkan sayur-sayuran yang telah kupotong kepada Mama, menyaksikan sayuran yang kupotong terjun ke dalam panci. 

"Mama dengar dari petugas kebersihan, katanya orangtuanya jarang pulang, ya?" 

Jelas, itu adalah hal yang tidak kuketahui. Namun setelah kupikir-pikir, aku baru sekali bertemu dengan mereka setelah kepindahan mereka yang nyaris memasuki minggu ketiga. 

"Enggak tahu, Ma." 

Akhirnya kujawab juga pertanyaan Mama dengan jawaban yang paling tidak ingin kusebutkan. Semua hal mempunyai jawaban. Menjawab "tidak tahu" hanyalah sekadar alibi, menurutku. Namun untuk pertanyaan Mama kali ini, aku benar-benar tidak tahu jawabannya. 

Satu-satunya hal yang aku tahu tentang kedua orangtua Arlan Pratama adalah bahwa benang mereka tidak tersambung. 

Selesai memotong sayuran, kini aku beralih menyusun piring dan gelas yang telah dicuci. Aku juga sempat melirik Mama yang tampak tengah mengaduk kuah. Pembicaraan tentang Arlan Pratama sudah selesai, kan?

LFS 2 - Red String [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang