The Fourteenth Thread - "Meeting You is Something Miracle"

19.5K 3.6K 717
                                    

Meeting you is something miracle, because out of 7,7 billion people in the world, I found you.

***

Kemarin malam, Papa memintaku untuk datang ke rumah sakit. Katanya, dia ingin bertemu denganku hari ini. Kebetulan karena hari ini adalah hari minggu dan tampaknya Mama akan pulang sore nanti, jadi aku menyanggupi permintaan Papa. 

"Papa mana?" tanyaku kepada seorang suster yang wajahnya memang familier. 

Aku memang sering berkunjung di rumah sakit ini untuk mencari Papa. Suster yang baru saja kutanyai itu juga sudah mengenalku dengan baik. Jadi, dia membawaku ke sebuah ruangan dan memintaku menunggu di sana. 

Terakhir aku mengunjungi Papa di rumah sakit ini adalah saat SD. Kelas berapa, aku sendiri kurang mengingatnya. Namun yang teringat dalam pemikiranku saat itu adalah kata-kata Papa yang terdengar jelas dan mengerikan. 

"Pokoknya, Lenna juga harus jadi dokter. Kamu anak Papa satu-satunya, hanya kamu yang bisa Papa andalkan."

Sejak Papa dan Mama resmi berpisah, aku tidak pernah lagi mendengar segala tuntutan dari Papa. Mama tidak pernah memintaku untuk belajar keras, tetapi karena kebiasaan yang telah dimulai sejak dulu, aku jadi melakukan semuanya karena terbiasa.

Saat menelepon pun, Papa tidak pernah lagi membahas tentang segala tuntutan yang pernah diserahkannya kepadaku. Kupikir semua ketegangan kami telah berakhir. Namun rupanya hanya bersitatap dengan Papa empat mata membuatku kembali gelisah. Padahal, tidak ada yang perlu kucemasi. Papa sudah berubah, kurasa? 

"Lenna, sudah lama nunggunya?" Papa tiba-tiba datang dari belakang, saat aku baru saja duduk di kursi tunggu di ruangan Papa. 

"Baru datang, Pa," balasku. "Papa nggak lagi sibuk?" 

"Enggak, tadi baru dari kantin," balas Papa. "Lenna udah makan siang?" 

"Sudah, kok," balasku. 

Papa langsung duduk di depanku. "Kamu bilang kemarin baru UTS ganjil lagi kan? Ranking berapa?"

Aku menarik napas dalam-dalam, "Pertama, kalau kelas."

Papa mengangkat sebelah alisnya, "Kalau paralel?"

"Dua," balasku.

"Oh." Papa menjawab sangat singkat, membuat ruangan itu terasa makin dingin.

Aku diam saja, tidak mempertanyakan alasan Papa memintaku datang, karena jelas aku tahu bahwa ada sesuatu yang hendak didiskusikan oleh beliau. Namun siapa tahu bahwa jawabanku ini mungkin mengecewakan hatinya dan membuatnya membatalkan maksudnya memanggilku.

Aku tahu apa yang akan dikatakan oleh Papa.

"UAS nanti harus kamu yang ranking satu!"

Itu yang dikatakan Papa saat aku masih kelas lima SD dulu. Kata-kata yang membuatku seolah tersambar petir, membuatku menangis malam itu, lantaran terlalu banyak berpikir bahwa aku sudah mengecewakan Papa.

Kukira semua itu akan terulang lagi, sampai akhirnya kulihat senyum tulus Papa mengarah ke arahku.

"Semangat ya, nanti Lenna pasti bisa juara satu," ucapnya yang membuat semua persepsi dalam kepalaku buyar begitu saja.

Apa ini? Apakah semuanya sudah berubah dalam empat tahun? Terakhir Papa bermain rumus denganku, aku juga masih bisa mengingatnya. Ada apa sebenarnya ini?

"Mungkin ... Seharusnya dulu Papa tidak terlalu memaksamu," kata Papa dengan raut wajah menyesal. "Mamamu benar tentang semuanya."

"Tentang apa?" tanyaku penasaran.

LFS 2 - Red String [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang