The Thirtieth Thread - "Fear is Something to Be Faced Of"

19.4K 3.2K 958
                                    

Fear is something to be face of, because you'll never get rid of it, unless you fight it.

***

"Kamu masih lama?" tanya Arlan Pratama yang muncul tiba-tiba dari ujung lorong supermarket. 

Aku tersentak karenanya. Segera saja aku memundurkan langkahku dan menyimpan ponselku dengan buru-buru. Padahal aku sudah sengaja memilih lorong terjauh dari posisi Arlan Pratama sebelumnya, hanya agar dia tidak bisa menemukanku. Padahal aku sudah membuat kalkulasi berapa lama kira-kira dia akan menemukanku dan aku tidak tahu bahwa dia bisa menemukanku secepat ini.

"Kamu duluan saja," jawabku agak gugup. 

Arlan Pratama menaikkan alis, lalu memperhatikan sekitarku sejenak, "Ups, maaf, Len. Aku tidak tahu kalau kamu lagi sibuk. Aku ada di lorong stationary, kalau kamu sudah selesai. Take your time."

Selanjutnya, Arlan Pratama tak lagi tampak di ujung lorong. Aku sempat bertanya-tanya juga apa yang membuatnya begitu pengertian dan meninggalkanku, sebelum aku menyadari bahwa aku berada di lorong khusus untuk belanja keperluan wanita. 

Astaga, aku tidak menyadarinya. Ini benar-benar memalukan!

Segera kukeluarkan ponselku lagi dan memeriksanya. Saat ini aku sedang bertukar pesan dengan Papa. Papa tidak membalas dengan cepat, terkadang jeda lima belas menit dan bahkan pernah jeda lima jam. Aku mencoba mengerti dengan keadaan Papa yang juga sibuk. 

Sebenarnya aku sudah mulai bertukar pesan dengan Papa sejak kemarin malam, atau lebih tepatnya, tepat setelah Arlan Pratama kembali ke apartemennya. 

Kemarin malam, aku menceritakan hal yang kuketahui tentang sosok 'Ibu'-nya. Aku menjelaskan bahwa aku pernah bertemu dengan ibunya saat awal kepindahan mereka, tentu saja aku juga menjelaskan soal kejadian di elevator, saat dia tidak melihat dan aku menggunakan kesempatan itu untuk turun. Aku menjelaskan alasanku; hanya tidak ingin dia merasa canggung dan ... ya, begitu. Dan hal terpenting, aku juga menjelaskan bahwa dua wanita itu adalah dua orang yang berbeda. 

Dan reaksi Arlan Pratama bisa dikatakan cukup datar untuk kasus tidak sepele seperti ini. 

"Oh? Terus, mamaku bilang apa saja?" 

... datar sekali. 

"Ya, hanya itu," balasku gugup. 

Kini dia sudah tahu soal aku yang dengan sengaja tidak mempertemukannya dengan keadaan saat dia kelilipan. Merahasiakan hal seperti itu dalam jangka waktu yang lama, kurasa aku memang orang yang jahat. 

"Aku tidak marah soal penculikan yang kamu lakukan, sebenarnya aku sudah tahu dari dulu," ucapnya dengan santai. 

"Penculikan...?" Aku langsung sadar bahwa Arlan Pratama mereferensikan itu pada kejadian ketika aku membawanya turun agar dia tidak perlu menyaksikan hal seperti itu. Masalahnya, Arlan Pratama ternyata sudah lebih dulu mengetahui perihal itu dan itu membuatku makin bertanya-tanya. "Lalu ... kenapa?" 

"Saat itu aku sedang tidak terlalu ingin bertemu dengannya, jadi ... ya begitu," ucapnya. "Pertengkaran kecil. Mungkin kamu tidak akan mengerti, karena kamu tidak pernah bertengkar dengan ibumu."

Sebenarnya perkataannya tidak sepenuhnya benar. Aku tidak pernah karena tidak ingin. Pertengkaran terjadi karena adanya perbedaan yang tidak diinginkan. Aku selalu berusaha agar aku bisa sesuai dengan harapan dan ekspektasi Mama, menjadi anak paling baik di dunia. Namun, aku mengerti maksudnya, karena aku pernah merasakan demikian, ketika dengan Papa. Kami tidak bertengkar, tetapi aku pernah ada di titik di mana aku tidak terlalu ingin bertemu Papa. Sekarang, aku merasa bersalah ketika mengingat hal itu. 

LFS 2 - Red String [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang