The Second Thread - "Tomorrow is Something New"

28.1K 4.3K 381
                                    

Tomorrow is something new, that make me wonder today.

***

Aku dan Mama hanya tinggal berdua, di apartemen warisan Kakek.

Apartemen yang mempunyai sepuluh lantai ini, bisa dikatakan sangat mewah. Kami tidak perlu masuk menggunakan kunci besi, melainkan nomor password. Mama selalu mengingatkan kepadaku untuk tidak membocorkan nomor itu kepada siapapun, jadi aku tidak akan pernah menyebutkannya.

Kami tinggal di lantai sepuluh, di apartemen nomor 1009 dan nyaris menghabiskan waktu untuk naik dan turun menggunakan elevator sepanjang hari.

Menurut kabar, katanya hampir sebagian besar kamar di apartemen ini dimiliki oleh satu keluarga pengusaha yang kaya. Itu pengakuan orang-orang yang menyewa kamar apartemen jangka tahunan. Aku merasa sangat beruntung bisa tinggal di sini.

"Sudah siap menghadapi semester genapmu?"

"Siap," balasku mantap.

"Kamu cocok dengan teman-teman di kelasmu?"

Kunyahanku pada nasi goreng buatan Mama terhenti begitu saja. Kutatap matanya yang menatapku penuh harap, mengharapkan jawaban paling membahagiakan yang mungkin kujawab. Aku tidak tega merusaknya.

"Kami biasa-biasa saja, Ma," jawabku sembari tersenyum tipis.

Itu bukan jawaban bohong. Kelas yang saat ini kutempati bukan kelas paling baik atau paling buruk. Semuanya netral, biasa saja. Yang terjadi kemarin sama seperti saat SD, kecuali bagian seragam, itu beda cerita.

Saat ini tempat dudukku ada di tengah-tengah. Aku lebih suka menyebutnya lokasi yang paling mematikan, karena orang yang duduk di belakangku punya hobi berbicara tentang lawan jenisnya.

Perbincangan mereka seperti tidak pernah ada habisnya. Bisa tentang kakak kelas kami yang ditolak, padahal sudah dengan tidak tahu malunya berpuisi di depan umum. Lalu pembahasan mereka semakin heboh sampai-sampai mereka harus berdiri di depan kelas.

Dalam keadaan yang seperti itu, mendadak aku merindukan tempat dudukku semasa SD.

Saat aku SD kelas 1 dulu, Mama datang menemaniku pagi-pagi hanya agar mendapat jaminan aku mendapatkan kursi terdepan. Mama teman sekelasku yang lain juga begitu. Semuanya ingin anak-anaknya mendapat kursi paling depan dengan harapan agar mereka bisa menerima pelajaran dengan baik dan mengerti apa yang disampaikan guru di depan.

Namun kebannyakan dari mereka mungkin belum tentu menyukai kursi terdepan. Hari pertama di semester ganjil kemarin, begitu Rania datang di kelas dan melihatku duduk tenang di kursi paling depan, dia malah mengomeliku dan mengatakan bahwa aku terlalu disiplin dan menyebalkan.

Katanya, Mamanya akan melakukan perbandingan di antara kami, jika sampai beliau tahu bahwa aku sengaja memilih kursi terdepan di saat orang-orang justru menghindarinya. Saat ditanya mengapa alasannya, kujawab dengan sederhana, "Aku lebih suka melihat papan tulis langsung daripada melihat kepala orang-orang."

Ada tiga kelas di sekolah ini, dan adalah suatu kebetulan yang tidak diprediksikan bahwa aku akan sekelas dengan Rania di kelas 7-1. Kalau kata Rania kemarin, kebetulan ini dinamakan takdir. Oh ya, dia mengatakannya dengan dramatis seolah dia paham benar soal itu.

"Kamu dan Rania sekelas, kan?" tanya Mama.

Aku mengangguk, "Iya, semester kemarin, dia duduk di belakangku."

Ya, benar. Saat aku berbicara tentang seseorang yang sibuk bercerita sampai harus berdiri di depan kelas, aku membicarakan tantang Rania. 

Pemilihan tempat duduk yang acak kemarin, secara kebetulan membuatku duduk di depan Rania. Dan Rania kembali mendramatis tentang defenisi takdir. Aku mulai kebingungan menghadapi sifat anak itu, karena dia sering sekali tiba-tiba memunculkan sifatnya yang sangat tidak bisa kutebak.

LFS 2 - Red String [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang