The Twenty Eighth Thread - "Doubt is Something Dangerous"

19.7K 3.3K 909
                                    

Doubt is something dangerous, because one decision can affect the whole future.

***

Aku sudah kehilangan hitungan.

Sudah berapa kali aku kalah dari Arlan Pratama?

Kutatap lagi papan mading untuk memeriksa bahwa itu benar-benar menunjukkan ranking paralel untuk akhir semester ganjil, bukan untuk mid semester ganjil. Masalahnya, berapa kali pun aku memeriksa tulisan itu, tulisan itu benar-benar ditujukan untuk akhir semester ganjil. Yang mana halnya, aku benar-benar menduduki posisi ranking dua, lagi.

"Makanya, kalau aku ajak belajar bareng, iyain aja," ucap Arlan Pratama sambil tersenyum puas.

"Aku nggak bisa konsentrasi kalau belajar sama orang lain," balasku sambil membuang muka. "Di sekolah juga, aku nggak bisa konsentrasi karena terlalu ramai."

"Ya, kan kita berdua belajar bersama di perpustakaan. Nggak akan ramai," ucapnya.

"Kayaknya aku tidak bisa fokus kalau belajar sama kamu, soalnya kan kamu suka ngajak--."

Arlan Pratama bersidekap tangan, memotong perkataanku, "Ya, fokusnya sama materi, bukan sama aku."

Aku menatapnya dengan tatapan datar. Jawabannya benar-benar keterlaluan menyebalkan. Padahal maksudku dalam konteks ini adalah karena Arlan Pratama kelihatan seperti tipe yang akan mengajakku mengobrol dan bercanda di sela acara belajar. Itu tentu bukan hal yang baik bagiku.

"Bercanda, tahu." Arlan Pratama malah tertawa.

Mama berjalan mendekati kami dan menyerahkan rapor kami masing-masing. Memang, Mama akhirnya memutuskan untuk juga mengambil milik Arlan Pratama karena selama ini, rapornya benar-benar ditahan karena tidak ada perwalian yang mengambilnya. Biasanya Arlan Pratama baru bisa mengambilnya setelah sekolah masuk selama seminggu. Rapornya ditahan bersama rapor anak-anak yang bermasalah, padahal dia juara umum. Sepertinya aku mulai mengerti perasaan Rania dulu.

Selama dua bulan ini, semuanya berjalan normal seperti biasa. Kami ke sekolah, sama-sama pulang, makan malam bersama, dan terkadang Arlan Pratama bisa menghilang sehari-dua hari tidak pulang ke apartemennya. Namun dia selalu memberi kabar, jadi sepertinya tidak masalah.

Kami bertiga berjalan sampai ke gerbang, sampai akhirnya Mama berhenti ketika kami hendak berjalan ke arah halte.

"Sebenarnya barusan ada panggilan dari kantor yang penting sekali. Kalian berdua bisa pulang sendiri kan?" tanya Mama.

"Kalau pulang berdua, tidak sendiri, Tante," jawab Arlan Pratama dengan konyolnya.

Mama tertawa, tetapi aku tetap menatapnya tidak suka. Tidak lucu.

"Biasa juga pulang sendiri, Ma. Mama tidak perlu khawatir," ucapku.

"Maaf ya, rencana makan siang kita malah batal. Nanti malam kita makan enak, ya!" janji Mama sambil mengangkat sebelah tangannya, lalu mengeluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang. "Kalian nanti makan siang dulu ya, sebelum pulang."

"Iya," balasku sambil menerima uang dari Mama.

Tak kunjung mendapatkan respons dari Arlan Pratama, Mama dan aku langsung menoleh heran ke arahnya.

"Uh..?" Arlan Pratama menatap ke arahku dengan ragu, lalu kembali menatap Mama. "Tante tidak makan siang?"

"Tidak, tapi di sekitar gedung kantor Tante ada banyak cafe dan--" Mama tiba-tiba terdiam, menatap Arlan Pratama selama beberapa saat, lalu kembali menatap ke arahku. "Lenna sedang ingin makan apa?"

LFS 2 - Red String [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang