The Twelfth Thread - "Regret is Something Useless"

19.6K 3.6K 353
                                    

Regret is something useless. Instead of doing it, trying to fix it better.

***

Hari ini tepat dengan berakhirnya minggu kedua sejak aku berada di kelas delapan.

Tidak seperti malam biasanya, aku memperhatikan layar ponselku lebih lama dibandingkan buku pelajaranku. 

Ini karena Papa mengirimkan pesan singkat kepadaku. 

Nanti malam Papa telepon, begitulah kira-kira isi pesan itu. 

Hubunganku dan Papa masih baik-baik saja, seperti ayah dan anak pada umumnya. Papa menelepon beberapa kali dalam seminggu, biasanya tanpa peringatan seperti ini. Biasa kami membicarakan tentang hari-hariku di sekolah, ranking, atau bahkan Papa bisa tiba-tiba mempertanyakan rumus matematika hanya untuk memastikan bahwa aku memang mengingatnya. 

Hal yang aku tahu tentang Papa, jika sampai Papa menetapkan rencana, maka topik yang akan dibicarakan di telepon adalah topik yang penting. Ini semacam memberikanku waktu untuk mempersiapkan mental. Tentu saja ini akan mendebarkan dibandingkan saat aku kurang yakin dengan jawaban rumus yang benar.

Namun belum lagi aku menerima panggilan masuk, suara ketukan pintu membuatku tersentak. Mama yang rupanya adalah pelaku pengetukan pintu, menatapku heran. 

"Sudah selesai belajarnya? Arlan sudah datang, lho." 

"Uhm, tinggal sedikit," balasku sembari melirik bukuku. Kenyataannya aku baru memulai sepertiganya karena terlalu sibuk memeriksa ponsel. 

"Nanti saja baru dilanjut," sahut Mama. "Kasihan perut dan kepalamu." 

Akhirnya, kututup buku pelajaranku dan beranjak dari dudukku dengan perasaan tidak puas. Seharusnya aku bisa selesai, kalau saja aku tidak seberlebihan itu menanggapi kontak Papa. 

Saat masuk ke ruang makan, kulihat Arlan Pratama melemparkan senyumnya kepadaku. Kubalas senyumnya dengan mengangkat kedua alisku tinggi-tinggi, memberinya isyarat bahwa aku memang melihat keberadaannya dan juga senyumannya itu. 

"Belajar lagi, ya?" tanyanya yang terdengar seperti ledekan bagiku. 

"Iya, untuk bab minggu depan," balasku sambil berpura-pura sibuk mengambil tiga piring dari rak.

"Oh. Pelajaran apa?" 

"Matematika."

"Bab garis singgung lingkaran, ya?" 

Mama langsung berdeham sebelum aku mengiyakan pertanyaan Arlan Pratama, "Apa kalian berdua bisa berhenti memikirkan pelajaran dulu? Setidaknya saat kita makan?." 

Aku langsung buru-buru menyendok nasi ke piring dan pura-pura tidak mengatakan apapun barusan. 

Mama tertawa melihat reaksiku, "Alenna senang ya, punya teman yang memiliki minat dan kesukaan yang sama?"

"Tidak, kok," sanggahku sambil membawa piring ke meja. 

Arlan Pratama lagi-lagi melemparkan senyum, saat aku menaruh piring di depannya, "Terima kasih," katanya. 

"Sama-sama."

Bisa-bisanya dia hanya bersikap manis seperti ini saat di depan Mama. 

Melihatnya tertawa seperti itu kadang membuatku salah tingkah, dalam artian mengkhawatirkan, tentu saja. Aku masih ingat dengan percakapan kami malam itu, saat Arlan Pratama mengakui bahwa malam saat aku pertama kali mengajaknya makan malam, pikirannya sangat kacau sampai terlintas di benaknya untuk mencoba hal yang bodoh. 

LFS 2 - Red String [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang