Truth is something to deal with, even if you can't handle the reality.
***
"Ini kamu langsung datang ke sini karena kurang puas dengan jawaban Papa atau karena Papa balasnya lama?" tanya Papa kepadaku dengan mata menyipit.
"Karena mau ketemu Papa juga, kok," balasku, berusaha meyakinkan.
Lima belas menit yang lalu, aku sampai di rumah sakit. Mengerti bahwa Arlan Pratama akan sibuk menjenguk keluarganya, aku izin untuk langsung mencari Papa.
Arlan Pratama kelihatannya tidak terlalu keberatan dengan keputusanku, karena dia memintaku untuk pergi ke kamar yang ada di ujung lorong, jika aku sudah selesai. Ya, lorong yang sama dengan tempat aku menemukannya duduk sendirian, dulu.
Dan sekarang, gantian Papa yang mengintrogasiku.
"Kalau memang kamu ingin tahu lebih detail, mengapa tidak tanya Arlan saja?" tanya Papa.
Aku menggeleng enggan, "Tidak mungkin aku menanyakan itu padanya."
Papa menatapku selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk mengerti, "Tapi ya, Papa setuju sih, kamu jangan bertanya padanya. Keluarganya yang sakit itu, pasiennya Papa. Keadaan mereka memang sesulit itu."
Baru saja ingin bertanya, tiba-tiba seorang suster menginterupsi kami. "Dokter, ada keluarga pasien yang mencari dokter."
"Baiklah, aku akan segera kembali," sahut Papa, lalu kembali menoleh ke arahku, "Lihat kan? Papa tidak berpura-pura sibuk."
"Aku tahu," balasku.
"Mungkin mamamu yang tidak tahu," bisik Papa sembari berdiri dari duduknya. "Papa selesai jam 8, jam berapa kamu pulang?"
"Nanti aku pulang sama Arlan," ucapku mengingat kata-kata Arlan sebelum kami berpisah tadi.
"Sudah kabari mamamu?" tanya Papa.
"Sudah, kok."
Papa mengelus tengkuknya resah, "Mamamu tenang-tenang saja ya, kamu dibawa anak cowok orang."
"Dokter." Teguran suster tadi kembali terdengar.
"Iya, aku datang." Kali ini Papa benar-benar melangkah menjauh. "Ya sudah ya, Lenna, Papa kerja dulu. Kamu jangan sering-sering berdua sama Arlan, kalian masih kecil."
Aku ingin membantah perkataan Papa, tetapi itu hanya akan membuat pasien Papa menunggu lebih lama, jadi aku hanya mengiyakan saja.
Setelah yakin bahwa Papa memang sudah tidak terlihat lagi, aku pun memutuskan untuk bangkit dari tempatku duduk. Lorong yang dimaksud Arlan Pratama sudah ada di depan mata. Kebetulan ruangan Papa memang tidak terlalu jauh dengan lorong itu, atau tepatnya masih dalam lorong yang sama, tetapi jaraknya dari ujung ke ujung.
Kulangkahkan kaki sambil sesekali tersenyum kepada pasien yang menatapku heran--mungkin karena aku memakai seragam sekolah SMP dan berjalan sendirian di rumah sakit. Mungkin aku harus mencari tempat duduk yang dekat dengan tempat itu dan belajar sembari menunggu Arlan Pratama selesai membesuk.
Kuperhatikan jam pada ponselku yang sudah menunjukan pukul empat sore, lalu bertepatan dengan itu, aku menemukan posisi duduk paling strategis: dekat dengan tempat kerja Papa dan ujung lorong, atau tepatnya di pertengahan.
Aku duduk, kemudian membuka tas dan mengeluarkan beberapa lembar soal. Sepertinya aku harus menatap lama-lama ke soal-soal yang salah kujawab.
Namun baru hendak memulai ritual itu, tiba-tiba kudengar suara langkah kaki mendekat. Kuangkat kepalaku dari posisi menunduk dan bersitatap dengan seorang wanita.
KAMU SEDANG MEMBACA
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)