Promise is something to fulfil, but we don't have to promise, because I trust you.
***
"Ini."
Mungkin bukan hanya aku yang mengira bahwa dia salah masuk kelas, tetapi juga semua orang.
Arlan Pratama bukan saja membuat kehebohan yang luar biasa dengan memasuki kelas 7-1 tanpa ragu. Dia juga langsung menghampiri mejaku dan menunjukkan sekantong plastik berwarna putih di depanku.
Kelihatannya dia tidak menyadari bahwa saat ini kami sedang menjadi pusat perhatian kelas karena ulahnya, karena dia tidak terlihat segelisah diriku yang menoleh kiri-kanan hanya untuk melihat bagaimana raut wajah mereka saat ini.
Perhatianku terebut kembali saat Arlan Pratama dengan sengaja menggerak-gerakkan plastik dan membuat suara plastik saling bergesekan. Suaranya tidak keras, tetapi terdengar jelas karena keadaan kelas yang mendadak hening. Padahal tadi semuanya sibuk dengan topik pembicaraan tentang ujian akhir semester minggu depan. Keheningan telah berlangsung sejak Arlan Pratama melangkah dua langkah memasuki kelas kami.
"Hah?"
Aku yang sedang duduk di kursi dan tengah menunggu lonceng berbunyi, dibuat terheran oleh hal yang dilakukannya.
"Apanya yang 'hah'? Kamu sudah sarapan memangnya?" tanya Arlan Pratama sambil meletakan kantong plastik di mejaku, lalu melangkah menjauhi mejaku.
Dia meninggalkan kelas tanpa memberi petunjuk apapun kepadaku. Tentu saja aku kebingungan di tempatku.
"Wow." Tanpa menoleh ke kanan, aku sudah dapat menebak bahwa itu adalah Rania. "Rupanya kamu bisa jadi magnet juga, ya."
"Maksudmu?" tanyaku.
"Mungkin tipe cewek Arlan itu yang pintar atau mungkin pendiam."
Aku tidak berkomentar apapun, hanya diam dan mulai membuka kantong plastik tadi. Ada dua buah roti yang cukup familier untukku.
Di detik yang sama, aku menemukan selembar kertas yang terlipat di dalam sana.
Kuraih kertas itu dan membukanya.
Kamu berangkat pagi sekali, hari ini. Roti yang sudah Mama belikan buatmu kemarin malah ketinggalan. Mama titipin ke Arlan, kamu bilang terima kasih dengan benar, kan?
Langsung dimakan ya, Sayang.
Aku menganggukan kepalaku pelan. Mama menitipkannya kepada Arlan Pratama, rupanya. Karena Arlan Pratama meninggalkan kelas tanpa memberikan keterangan apapun, aku juga belum mengucapkan terima kasih kepadanya.
"Kamu dipanggil Sayang?"
Tanpa kuduga-duga, Rania sudah berdiri di sampingku dan ikut membaca surat itu tiba-tiba. Aku refleks merapatkan surat itu kembali dan menatap Rania dengan tatapan kaget.
"Eh, tenang. Aku hanya kebaca di akhir-akhir saja, kok," kata Rania tanpa merasa bersalah.
"Bukan itu masalahnya," sahutku.
"Aku juga tidak akan bilang ke siapapun, kok," janji Rania sambil mengangkat tangan kanannya.
Rania bereaksi terlalu berlebihan, menurutku. Bukankah sangat lazim bila orangtua memanggil anak mereka dengan sebutan sayang? Atau Rania beranggapan kalau itu terlalu kekanak-kanakan karena kami sudah SMP?
"Arlan memang keren, sih, tapi kamu tenang saja, yang terlalu pintar bukan tipeku," ujar Rania sambil duduk kembali di tempatnya.
Aku mengerjapkan mataku, mencerna kata-kata yang dilontarkan Rania, "Tunggu, sepertinya kamu salah pa--"
KAMU SEDANG MEMBACA
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...