The Eighteenth Thread - "Happiness is Something We Create"

19.7K 3.4K 650
                                    

Happiness is something we create, not to be found. Let's be happy, you have to create yours first, because you are my happiness.

***

Pada akhirnya, kami tidak jadi membeli obat tetes mata hari itu. Karena tiba-tiba saja mata Arlan Pratama sudah membaik begitu lift sudah sampai di lantai dasar. Aku menatap tombol 10 dengan perasaan gugup. Bukan gugup karena penjaga elevator di lantai dasar menatap kami dengan tatapan aneh lantaran tidak segera turun dari lift. 

Untungnya saat Arlan Pratama belum menekan angka 10, kami melihat Mama di pintu masuk. Mama juga melihat kami, karena beliau langsung melambai-lambaikan tangannya, meminta kami untuk keluar dari elevator. 

Mama pulang cepat hari itu dan kupikir itu adalah ketidaksengajaan yang paling menguntungkan. Aku selalu senang bila Mama pulang cepat dan hari ini aku senang karena hal lain. Mama mengajak kami untuk makan di tempat makan yang baru dibuka hari itu dan Mama sudah memesan meja. 

Dalam keadaan terjadwal dan terburu seperti itu, kami jadi tidak perlu naik ke atas lagi untuk menyimpan tas kami dalam apartemen. Ternyata sudah ada taksi yang menunggu, begitu kami keluar. 

"Alenna senang sekali, ya? Sudah tidak sabar, mau makan di sana?" tanya Mama dari tempat duduk depan, menatap ke arahku sambil tersenyum.

Padahal, ujung bibirku tidak menekuk ke atas sama sekali, tetapi Mama tahu bahwa aku memang senang. Sebenarnya aku bukan senang, tetapi aku merasa sedikit lega. Lega karena tidak perlu membawa Arlan Pratama melihat kejadian yang menyakitkan itu. 

"Memangnya kamu lagi senang?" tanya Arlan Pratama sambil menekuk alisnya, berbisik dengan suara kecil.  "Aku nggak pernah lihat kamu senyum, tuh."

"Kamu saja yang kurang memperhatikan," balasku sambil menatapnya datar. 

"Kurang memperhatikan? Serius?" tanya Arlan Pratama sambil mengendikkan bahu. "Tapi ... ya, tadi kamu memang kelihatan antusias kayak lagi ngeliatin soal yang bisa kamu tahu kalau kamu jawab."

Aku masih mempertahankan wajah datarku, "Kita nggak sekelas, nggak pernah belajar bareng, juga. Memangnya kapan kamu pernah lihat aku ngerjain soal?"

Arlan Pratama tersenyum sambil menaikkan sebelah alisnya, menatapku seolah aku telah melupakan sesuatu. 

"Apa?" tanyaku, menatapnya aneh. 

"Kamu tidak tahu ya, kalau kita pernah duduk sebelahan saat ujian tes masuk?" tanya Arlan Pratama yang sukses membuatku terdiam. 

Mana mungkin aku tidak tahu. Arlan Pratama sangat dominan dengan menjadi alarm diam untuk seisi kelas. Yang paling membingungkan itu, bagaimana ceritanya dia bisa menyadari keberadaanku dan mengingatku pula?

"Lagi diskusiin apa, sih? Kenapa ngomongnya harus bisik-bisik?" Mama bertanya dari bangku depan. 

"Nggak diskusiin apa-apa, kok, Ma," balasku sambil menunduk dan memainkan jari-jariku. 

"Kalau ada Mama, jangan diskusiin pelajaran ya. Ajak Mama ngomong juga," ucap Mama sambil tertawa. 

Saat itu bukannya merasa canggung, Arlan Pratama malah ikut tertawa. Sementara aku lebih suka berpikir dengan berpura-pura melihat ke arah jendela, mencoba mengalihkan pikiranku dengan mengobservasi keadaan di luar. 

Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Arlan Pratama saat dia kembali ke rumahnya hari itu, tetapi melihat Arlan Pratama tidak menunjukkan tanda-tanda frustrasi lainnya, kupikir kalau ayahnya dan juga wanita itu sudah tidak ada di rumah. Arlan Pratama terlihat baik-baik saja dan sebenarnya itu membuatku lega sekali.

LFS 2 - Red String [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang