The First Thread - "Fate is Something Unknown"

34.3K 4.9K 514
                                    

Fate is something unknown, yet some people believe in it.

***

Ada banyak hal di dunia ini yang membuatku kagum.

Aku sadar, aku memang anak yang mudah terpana akan sesuatu yang kecil, aku mudah terpesona. Mama bilang, aku mudah tersanjung dengan hal sederhana yang mungkin tidak bisa dimengerti oleh sebagian orang.

Meskipun begitu, menurutnya itu bukan hal yang buruk. Katanya, aku adalah anak baik yang selalu bersyukur dengan keadaan. Walau tidak sepenuhnya sejalan dengan pikiranku, aku tidak pernah membantah persepsinya.

Jadi, saat pertama kali Mama mengajakku untuk melangkah masuk di salah satu SMP favorit di kota ini, aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Hanya diam dan menatap Ibu dengan tatapan berkaca-kaca.

“Mama ... serius?” tanyaku sambil meremas ujung kemeja yang tengah kupakai saat ini.

Padahal, aku tidak pernah memberitahu Mama kalau aku sangat ingin bersekolah di sini.

“Mama serius. Ini kartu tanda peserta ujianmu. Semoga berhasil, sayang,” ucap Mama sambil menyerahkan sebuah kertas putih berisi identitasku di sana.

Aku menerima kertas itu sambil mencoba menahan air mataku. “Tidak apa-apa? Sungguh?”

“Sungguh,” jawab Mama sambil tersenyum, “Alenna tidak perlu mengkhawatirkan apapun, ya. Belajar saja dengan sungguh-sungguh.”

Aku punya keinginan.

Di masa depan, aku ingin menjadi orang yang berguna dan mandiri, jadi aku bisa membantu Mama dan membuatnya bangga. Aku ingin membalas semua kebaikannya dan menjaga senyumnya tetap terukir seperti biasanya, selamanya.

“Kamu masuk saja, Mama akan menunggu di luar. Semangat!” sahut Mama begitu sudah mengantarkanku ke ambang pintu.

Begitu kakiku memasuki kelas bernuasa putih dan ramai itu, aku mulai mengharapkan satu hal.

Aku ingin bisa diterima di sekolah ini, mengabulkan keinginanku sendiri dan juga keinginan Mama, membuatnya bangga.

Aku memeriksa nomorku. Angka keberuntunganku saat ini adalah nomor dua. Biarlah aku beranggapan begitu, walaupun aku tahu, nomor ini mungkin saja diurutkan berdasarkan abjad.

“Baiklah, semuanya. Silakan duduk di nomor kursi yang tertera di kartu peserta ujian.” Seseorang menepuk-nepuk tangannya saat melihat keadaan tidak kunjung tenang sedaritadi.

Tidak ada perubahan yang berarti, semuanya masih sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka berbicara dengan seru, seolah tidak ada siapapun di depan.

Terganggu, tentu saja. Aku tidak suka keramaian dan aku kurang menyukai mereka yang tidak mau tahu. Aku tidak suka. Mereka mungkin tidak tahu apa-apa tentang perjuangan orangtua mereka yang bekerja setiap hari untuk sesuap nasi mereka.

Sudah sedaridulu aku menyadari ini; anak laki-laki di angkatanku punya sifat yang kekanak-kanakan. Sudah SMP pun, sifat mereka masih saja seperti anak SD.

Aku bukan sedang sok dewasa dan berpura-pura lupa bahwa kami baru dinyatakan lulus SD beberapa hari yang lalu, tapi mereka memang belum merasakan perbedaan dan tetap saja berlagak sama.

“Berisik sekali, sih!” ucap seorang laki-laki agak keras secara tiba-tiba, membuat seisi ruangan itu langsung senyap.

Semuanya menoleh ke sumber suara, begitu pun aku. Orang yang baru saja berseru keras itu duduk tepat di sampingku--atau bisa kusebut peserta ujian nomor satu--membalas tatapan heran mereka semua dengan tatapan tidak suka.

LFS 2 - Red String [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang