EPILOGUE

33.4K 3.4K 2.1K
                                    

Setiap manusia memiliki benang merah di kelingking mereka. 

Benang merah itu tak kasat mata dan tidak terasa.

Jika dirimu percaya dengan perasaanmu, tanpa perlu melihat benang merah pun, kamu bisa bahagia. 

Yang dapat menentukan kebahagiaanmu adalah dirimu sendiri. 

*

Lama, tetapi masih jelas di ingatannya, keputusan itu yang mempertemukan mereka. 

Perdebatannya dengan ibunya masih terngiang-ngiang di pikirannya, kala dia duduk di bangku pertama tes masuk. Beliau yang paling menentang keinginannya untuk bersekolah di sekolah umum, alasannya pasti karena dia sedikit berbeda. Sudah berusaha membujuk dengan mendaftarkan diri di sekolah swasta paling favorit di kota rasanya tetap tidak cukup. Ibunya ingin dia tetap home schooling seperti ketika SD dulu.

Arlan Pratama, atau setidaknya nama itu yang tercantum di daftar ujian. Sebut saja dia begitu, karena dia harus segera terbiasa dengan nama itu. 

Dia baru boleh sekolah di sekolah publik jika sudah SMA. Itu berarti tiga tahun setelah ini, terlalu lama.

Hasilnya? Perdebatan tidak berakhir, bahkan sampai saat itu. 

Suasana hatinya sangat buruk, sampai-sampai dia memilih tetap duduk di bangkunya tanpa berusaha bersosialisasi dengan siapapun, padahal itulah tujuan awalnya ingin bersekolah di sekolah publik. 

Berada di ujung kekesalan terhadap suasana hati yang buruk, dia melampiaskannya kepada seisi kelas, "Berisik sekali, sih!" 

Alhasil, atmosfir ruang ujian yang tadinya semangat menjadi tegang. Sempat terbesit perasaan bersalah, tetapi Arlan mencoba menepisnya dan meyakinkan diri bahwa tindakannya barusan sudah tepat. Memang, suasana kelas terlalu ribut untuknya. 

Saat itulah, Arlan tidak sengaja bersitatap dengan seorang gadis yang duduk di meja yang ada di sebelahnya. Namun kurang dari sedetik, karena gadis itu buru-buru membuang muka. 

Ketika itu, Arlan tidak mencurigakan apapun tentang gadis itu.

Setelah selesai ujian, Arlan menunggu di dekat gerbang. Namun tidak ada satu pun jemputan yang mendatanginya. Pasti karena dia baru saja membangkang. Terus menunggu dan tidak ada yang kunjung menjemputnya, Arlan mulai berpikir apa jadinya kalau dia tidak pernah membangkang. Bukan menyesali, karena dia tahu apa yang akan terjadi jika dia tidak pernah mencoba.

Arlan percaya dengan pilihannya. Kakaknya juga mendukungnya, jadi mengapa tidak?

Memperoleh ranking pertama dalam tes masuk dan kemampuannya untuk beradaptasi akhirnya bisa memenangkan kepercayaan ibunya. Kini Arlan yakin bahwa keputusannya sejak awal memang tidak salah, dia memang hanya butuh sedikit usaha untuk mencapai keinginannya.

Akan tetapi, di tahun baru pertama setelah memasuki SMP, ketika insiden itu, pertama kalinya Arlan menyesal. Andai saja dia tetap home schooling, pasti dia bisa menjaga kakaknya lebih lama lagi. 

Namun apa yang telah dimulai harus diselesaikan, karena itulah dia melanjutkan semuanya, walau dengan sangat berat. Merasa bersalah, merasa salah dalam membuat keputusan, merasa salah dalam segalanya. Hidupnya, keberadaannya, juga pasti adalah kesalahan sejak awal.

Dalam masa yang berat dan harus tetap melanjutkan hidupnya, Arlan memutuskan untuk pindah setidaknya untuk menghindari terlalu lama di rumah yang mungkin membuatnya depresi. Namun tak disangka, dia malah bertetangga dengan gadis yang duduk di sebelahnya waktu itu. Alenna. 

Saat itulah, dia menyadari sesuatu tentang Alenna.

Suatu malam usai kepindahannya, Arlan merenungi segala hal yang dilakukannya hingga saat itu. Banyak hal yang dipikirkannya, tapi semua permasalahan seolah tidak memiliki jalan keluar. Terbesit di pikirannya bahwa ujung pisau mungkin adalah jalan keluarnya, sebelum akhirnya--

LFS 2 - Red String [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang