Attala dan Sasa baru saja bangkit dari bangkunya sesaat setelah bel istirahat berbunyi. Tapi Kiki menghentikan langkah mereka.
"Atta?" sapa cowok berponi itu dari bangkunya. Masih membereskan alat tulisnya. Dia ini agak lelet memang.
Sasa menatap kedua teman sekelasnya itu secara bergantian. Lantas tidak peduli dan kembali berpaling pada cermin kecil yang sejak tadi dipegangnya. Dan selalu menjadi barang bawaan wajib kemana-mana. "Arght!" teriaknya tiba-tiba.
"Kenapa sih? Ngeliat monyet dalam cermin lo?" gerutu Attala kaget dan kesal.
Mata Sasa membelalak saat telunjuknya menyentuh semacam polkadot kecil berwarna kemerahan di puncak hidungnya. "Jerawat!" pekiknya kemudian.
"Ya terus kenapa kalau jerawat?"
"Aduh Ta, gue tuh gak bisa gini! Muka gue ...." Sasa mengusap resah wajahnya. "Gimana dong, Ta?" lanjutnya sambil nepuk-nepuk bahu Attala.
"Aelah, wajar kali namanya juga kulit manusia bukan kulit kadal!"
"Kok kalian berdua malah berantem sih? Kan di sini Kiki yang ada perlu." Kiki bangkit setelah pekerjaannya selesai.
"Berisik lo!"
Kiki terperanjat saat dua cewek itu balas membentaknya dengan kompak. Kiki gemetaran dan sedikit ketakutan. Takut-takut kalau dua cewek buas beda karskter itu kompak menjambak rambutnya juga.
"Perlu apa? Ngomong dong!" tanya Attala kemudian.
Cowok culun itu menatap ragu Attala di depannya. "Atta udah mikirin saran aku kemarin?"
Kening cewek itu berkerut. "Lah ngapain musti gue pikirin?"
"Tau, gaje banget nih orang!" sambar Sasa, "cabut yuk!" Lantas dia menggandeng tangan sahabatnya untuk segera pergi.
♡♡♡
"Lama banget sih lo berdua? Bedakan dulu ya ampe abis? Percuma, muka lo gitu-gitu aja!" gerutu Jack dari bangkunya. Menatap remeh ke arah Sasa yang baru saja tiba bersama Attala.
Attala terbahak-bahak mengingat sahabat ceweknya itu berusaha mati-matian menutupi jerawat di puncak hidungnya. Dan dari jarak dua meter beruntunglah Jack belum menyadarinya. Jika tidak, habislah sudah riwayat Sasa.
Lantas cewek tomboy itu menarik tangan Sasa untuk duduk di meja kantin yang sama. Seolah tidak ada yang berani menempati meja di tepi pembatas kantin yang langsung menjorok ke taman itu. Semua penghuni sekolah tau apa akibatnya jika ada yang lancang duduk di sana.
Kiki cukup beruntung hanya diusir oleh Jack, mengingat sebelumnya banyak tragedi miris sekaligus bikin ketawa hanya karena masalah sepele. Jack menunjuk seseorang yang duduk dibangkunya seolah-olah mentraktir semua murid. Lantas si korban menjadi buronan anak-anak yang maniak gratisan.
"Ta, kaki lo udah pulih total?" tanya Elang di sela-sela mereka menikmati makan siang.
"Lumayanlah."
"Yah bahaya, bisa abis kita ditendangin!" seloroh Jack mengingat cewek itu sering menggunakan kakinya untuk menendang apapun. "Atau jangan-jangan ... luka kaki lo kemaren itu suatu bentuk karma atas mala petaka yang lo tebar selama ini!"
BLETAK!
"Aw!"
"Tuh rasain mala petaka dari gue!" gerutu Attala setelah berhasil menendang kaki Jack di bawah meja. Lantas semuanya ikut tertawa puas termasuk Sasa.
"Mampus lo Jack! Itu balasan buat cowok yang suka mendzolimi cewek secantik gue!" cerca Sasa sambil mengelinting ujung rambut urai panjangnya yang kemerahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Too Late
Teen FictionJangankan udara, suatu saat nanti namaku akan berhenti hilir mudik ke ruang dadamu. Belom direvisi.