Part 15

100 11 5
                                    

"Atta?"

Samar-samar terdengar suara panggilan yang menelisik setiap lekukan telinga seorang murid yang sedang terbaring lemah di ranjang UKS. Bola matanya bergerak di dalam kelopaknya yang masih menutup sempurna. Bulu matanya yang lebat melentik-lentik, kemudian perlahan terbuka. Semu dan pandangannya berpendar. Beberapa detik kemudian titik-titik fokus mulai menunjukkan perwujudan teman-temannya yang mengelilingi ranjangnya.

"Elang?" Itu adalah nama yang pertama kali digumamkan oleh bibir tipisnya yang pucat. Attala tidak sedang mengigau, dia memang benar-benar sedang berhadapan dengan Elang yang kini berada di sampingnya.

Gue tau, Lang. Di dalam hati terdalam lo masih menyimpan nama gue dan gak bisa mengelak bahwa kepedulian elo selalu berpusat pada ingatan lo tentang gue. Disadari atau enggak, memang itulah kenyataannya. Batin Attala, mengira bahwa cowok itulah yang membawanya ke sini seperti biasanya, dahulu kala.

"Ta, lo gak akan sakit kan? Ya kali di pesta ulang tahun gue gak ada lo. Gak rame!" ujar Elang masih menatap gadis setengah sadar dan setengah halusinasi itu.

Kepala Attala langsung menggeleng. "Ya, nggak dong! Gue cuman pusing dikit, gak akan lama, bentar lagi juga pulih kok." Dia juga memaksakan diri untuk bangkit duduk agar kelihatan kuat.

"Lo yakin, Ta?" tanya Sasa ragu.

"Harus yakin dong! Terakhir gue ikut kalian pesta ultah waktu SD, nah sekarang adalah waktu yang tepat!" sambar Ranya mengingat perpisahannya selama ini dengan mereka.

"Aduh gue ngajak siapa ya? Masa iya tiap ke pesta ngejomblo terus," celetuk Jack risau.

"Sana lo sewa aja pacar boongan, kalau gak gitu kan gak ada yang mau sama lo!" cibir Sasa gemas.

"Kenapa lo cemburu gak gue ajak gandengan?" Jack semakin mendekat dengan tatapan tajam.

Sasa lagnsung mendorong dada cowok berbalut jaket itu hingga menjauh. "Kalo ngimpi sono tidur gantiin posisi si Atta! Koma sekalian biar kehidupan gue hening dikit tanpa lo!"

"Emang lo yakin bisa hidup tanpa wajah tampan gue yang menghiasi hari-hari hiruk pikuk lo itu?"

Tiba-tiba Attala cekikikkan. Hanya dia yang mengerti apa maksud dari sikap Sasa yang selalu sok membenci Jack padahal tersimpan sebuah rasa dan harapan di balik setiap kedipan matanya.

*

Attala menghentikan langkah kakinya di depan gerbang sebuah rumah yang cukup besar. Dia melihat sekitar dan mendapati satpam sedang tidur siang. Astaga, rasanya Attala ingin sekali menimpuknya dengan sepatu.

"Kang! Kang Arif, bukain atuh gerbangnya!" panggilnya dengan nada tinggi tapi tetap saja tidak berhasil membangunkan satpam itu. Attala mendengus kencang dan membuka mulutnya lebar-lebar untuk berteriak, "Arif bukain pintunya napah?!"

"Iya bentar!" sahut Kang Arif. Attala tersenyum lega karena sekarang satpamnya bangkit lalu ... tidur lagi. Attala menghela napas, ternyata itu satpam lagi ngigau.

Krik krik krik ...

Lama-lama kesal juga. Attala memutuskan untuk manjat gerbang saja. Menjatuhkan ranselnya, kemudian menyusul lompat ke bawah. Agak meringis kesakitan, masih terasa pusing. Tapi tak masalah, dia segera mengetuk pintunya.

"Assalammualaikum ... hello Sasa?" salamnya sambil mengetuk pintu. Belum ada jawaban. "Sa? Ini gue, Sa! Jangan bilang lo sama kebonya kayak satpam lo, jodoh mau sama si Arif?"

"Ta!" teriak seseorang dari atas. Sasa mendongak dan mendapati sahabatnya ada di atas balkon depan kamarnya. "Lo manjat sini aja, Ta!" ledeknya sambil menunjuk-nunjuk pembatas dari ketinggian.

"Barusan aja gue manjat gerbang, makasih, adab lo menyambut tamu sungguh patut diacungkan jempol ... ke bawah!"

Sasa malah tertawa seperti sang ratu biadab yang menertawakan kemalangan rakyatnya. "Kenapa gak lo bangunin aja tuh si Arif?"

"Kebo mana bisa dibangunin, tadi dia nyaut, gue kira bangun eh ternyata cuman ngigau!"

Tawa Sasa semakin menjadi-jadi tak ubahnya siluman angin penguasa langit kelam.

"Ta, lo merem deh, bentar!" pinta Sasa memohon.

Attala terpejam. Tidak lama kemudian pintu depan terbuka. Muncul Sasa sambil berteriak, "Taraaa gue udah di sini, buka mata lo!"

Attala membuka matanya dan menoleh ke arah pintu. Astaga dia benar-benar tidak lucu, Attala hanya menyeringai bosan sambil berjalan masuk.

"Ada apa dengan lo, Ta?" tanya Sasa menutup kembali pintunya. Mereka berjalan menuju kamar.

"Pokoknya lo harus dandain gue! Sekaligus pinjemin gue gaun!" jawab Attala sambil menggerakkan telunjuknya.

Sasa membuka mulutnya membentuk huruf O sebagaimana gerak bola matanya sekarang. "Serius, Ta? Omaygaddd demi apa seorang Atta jadi begini? biasanya dipaksa pakai bedak dikit aja lo kabur-kaburan!" Lantas meraba-raba kepala sahabatnya itu. "Lo gak geger otak kan setelah nabrak buku kemarin?"

"Apaan sih lo?!" Atta menggubrisnya, "cepet, ntar malem kan harus ke acara ultahnya si Elang!"

Sasa kembali memulatkan sepasang bibir seksinya, "Oh gue tau ... lo mau menyadarkan si burung tukang terkam itu kan kalau sebenarnya lo itu cantik beud tapi gak keliatan hehe!"

Attala mencebikkan bibirnya, menyinyir perkataan sahabatnya yang diiringi kekehan yang terlalu dibuat-buat itu. "Kelamaan lo, ayok!" Kemudian menyeretnya menuju kamar.

Mereka tiba di kamar. Sasa selalu membenahi rambutnya, sambil menyaksikan tingkah laku sahabatnya itu yang kini sedang membobol lemari bajunya yang super besar dan mengacak-acak isinya. "Omaygaddd ... kelakuan lo, Ta, udah kayak rampok aja!"

Attala peduli setan dengan ocehan si pemilik kamar yang kini mendekatinya dan membantunya memilihkan gaun seperti apa yang cocok di tubuh Attala. Sasa menyeringai membandingkan antara gaunnya dan lekuk tubuh Attala yang lurus-lurus saja, sama sekali tidak seperti perempuan.

Tiba-tiba aura sumringah terpancar dari wajah polos Attala saat sepasang mata berbinarnya menemukan long dress berwarna toska polos dengan potongan sabrina. Dia memakainya dan lantas berputar-putar seperti seorang putri yang menggilai dirinya sendiri setelah menyadari betapa cantiknya dia di cermin. Lalu menjatuhkan diri di kasur.

Sasa menatapnya aneh sekaligus kasihan. Betapa cinta mengubah segala yang ada pada diri sahabatnya itu. Sama sekali tidak bisa dikenali jika itu adalah seorang Attala. Tidak butuh waktu lama bagi Sasa untuk mencarikan sepatu hak yang cocok untuk sahabatnya itu.

Dan sekarang wajah Attala tampak berseri-seri di depan cermin, sedang membayangkan hal indah bersama Elang yang belum tentu sesuai dengan ekspektasinya. Sasa teramat peka dengan hal itu. Tapi dia hanya bisa bungkam dan fokus merias wajah dan menata rambut sahabatnya.

Sasa mengoleskan lipstik bergradasi merah muda di bibir tipis Attala, menghasilkan warna ranum yang merekah diiringi senyumannya. Garis putih di bibir kelopak matanya dan seulas maskara yang semakin mempertebal bulu mata lebatnya. Sasa menghela napas sejenak, sulit dipungkiri sahabatnya itu memang benar-benar cantik. Bahkan keraguannya tentang reaksi Elang terhadap penampilan Attala sekarang, mendadak pudar.

"Woy! Diem aja sih?" tegur Attala. Sasa yang sejak tadi terkesima kini sadar.

"Diem napah, biar muka lo gak cemong!" Sasa memegang kepala sahabatnya agar tidak bergerak.

"Pake apaan sih itu, mata gue kayak belekan jadinya!" protes Attala.

"Suuuttt!" Sasa menjulurkan telunjuknya. "Gue lagi bikin efek biar mata lo keliatan makin berbinar!"

"Suka-suka lo deh!"

Bersambung ...

Never Too LateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang