Attala mengendarai motornya pelan menuju pulang. DI tengah udara hangat sore hari, air mukanya terlihat surut. Seperti sungai yang ditinggalkan mata air. Mengering di bawah terik matahari yang seharusnya menuntun ke luasnya samudera. Bola matanya yang diam menatap lurus, tidak, bahkan tidak menatap apa pun. Hingga melintas sebuah mobil yang melambat dan mensejajari lajunya. Sejenak gadis itu masih belum menyadarinya.
"Attala?" sapa Wiraguna dari balik jendela yang terbuka. Gadis itu menoleh setengah kaget. Lebih kaget lagi ketika mendapati wajah Kasih di seberang pria paruh baya yang sedang menyetir.
"Om, Tante? sore!" sapa balik gadis itu terlihat memaksakan senyumnya.
"Motor baru? kamu terlihat keren!" puji Wiraguna memerhatikan kendaraan yang ditunggangi Attala.
Masih tersenyum, Attala menyahut, "Bisa aja, Om."
"Kebetulan kamu di sini, Om dan Tante mengundang kamu dan ibu kamu buat hadi ke acara selamatan, hanya makan malam."
"Selamatan apa, Om?"
"Kelulusan Elang, sekaligus doa bersama agar dia berhasil masuk kampus favoritnya."
"Oh siap, Om, nanti Attala sampaikan sama ibu. Makasih sudah mengundang kami."
"Pokoknya kamu dan ibu kamu harus datang ya, salam juga dari Tante." Tiba-tiba terdengar suara Kasih dengan nada yang akrab. Mendadak mata sayu Attala kembali bersinar karena merasa bahwa wanita itu tidak marah lagi padanya.
"Siap Tante."
"Kalau gitu, kami duluan, sampai jumpa nanti malam!"
Attala melambaikan tangan ke arah mobil yang melaju semakin kencang, semakin jauh, seperti putra mereka yang kian menjaga jarak. Namun hatinya menggebu, menancap gas ingin terus mengejar mobil itu, seperti harapannya yang mungkin masih ada untuk memperbaiki segalanya.
***
Iguana yang sedang melamun di ayunan tiba-tiba saja terlonjak kaget dan memanjat tambang, ketika gadis pengendara itu tiba-tiba saja muncul dengan suara bising dan menghentikan motornya di bawah rumah pohon. Dan terbirit memasuki rumahnya. "Ibu!" teriaknya tanpa menutup kembali pintu yang terbuka.
Dilihatnya Rumi sang ibu tengah menjahit di ruang kerjanya. Kain-kain sisa berserakan di mana-mana. Dia terkejut sekaligus senang mendapat pelukan tiba-tiba dari putri semata wayangnya. "Anak ibu kenapa? kelihatannya seneng banget."
"Bu, barusan aku diundang Om Wira dan Tante Kasih agar kita hadir ke acara selametan kelulusan Elang. Kita pasti hadir kan, Bu?"
Rumi mengedipkan mata pelan. "Iya, pasti."
"Terus Bu, aku lihat kayaknya Tante Kasih udah nggak marah lagi deh sama Atta. Semoga ini awal yang baik buat Atta bisa memulai lembaran baru sama Elang. Atta nggak seharusnya mengabaikan Elang. Jangan sampai dia terbang semakin jauh sampai nggak bisa Atta raih lagi. Atta bakalan kecewa banget."
Attala semakin tenggelam di dekapan ibunya yang mengelus puncak kepalanya. "Kamu tenang ya sayang. Sejak dulu Elang menyayangi kamu. Terkadang terlihat seperti seorang kakak yang tulus, terkadang seperti seorang pria kasmaran pada wanitanya. Ibu akan terus mendoakan yang terbaik untuk kamu. Berbahagialah terus seperti ini. Jadilah moodbooster untuk ibu," paparnya kemudian mengecup kening putrinya.
***
Rumi menatap ragu gadis berkepang daun menyamping ke bahu itu. Putrinya baru saja belajar mengendarai, tidak mungkin langsung memboncengnya begitu saja. Ia lantas menggeleng tegas dan menarik tangan Attala untuk berjalan kaki. Jarak rumah mereka tidak terlalu jauh. Mengingat ini malam hari dan cuaca selalu dingin, tidak akan memengaruhi penampilannya saat ini.
Setibanya di depan rumah Elang, Attala menarik napas panjang dan mengehalanya dengan berat, sambil meraba dada atas kirinya. Biasanya tidak semenegangkan ini. Ternyata ditinggalkan, membuat seseorang akan lebih merasakan degup jantung kehidupan sekaligus kematiannya secara bergantian, dan terkadang nyaris sulit dibedakan.
Wiraguna dan Kasih menyambut mereka dengan hangat. Setelah itu, sambil melangkah masuk, mata Attala nakal mencari sesuatu. Rupanya Elang tengah mengobrol dengan sanak saudaranya. Jika biasanya Attala akan berlari menghampiri dan mengagetkannya, kali ini sekujur tubuhnya justru terasa gemetar. Cowok itu terasa sudah menjadi asing meski tahu sikapnya tak pernah dingin.
Ketika makan malam besar dimulai, Elang baru menyadari jika ada mantan kekasihnya terselip di antara keramaian dan gadis itu terlihat begitu membeku. Biasanya Elang akan menghampirinya, merangkul kepalanya dari belakang, lalu tertawa bersama. Namun sekarang semua terasa berbeda, hal itu semacam luntur bukan lagi keinginannya. Mereka telah sama-sama saling mengecewakan, maka akan terasa aneh jika masih melakukan ritual yang sama.
"Elang, tuh ada Atta, sibuk sendiri kamu sampe nggak ngeuh gitu?" kata mami pada Elang. Cowok itu berusaha memecahkan balok es dalam dirinya sendiri dan menghampiri gadis itu.
"Hey, Ta, di sini? Tante?" sapa Elang, alih-alih menyambut tangan Attala yang sudah menjulur buat salam tampar, dia malah keburu menyalami Rumi.
"Elang kamu apa kabar? lama nggak main ke rumah, Nak."
"Iya Tante, Elang fokus belajar buat ujian kelulusan dan ikut seleksi masuk kampus. Untungnya Elang masih kelihatan bugar kan, Tante?"
"Iya dong, Tante doakan semoga urusannya dipermudah dan lancar, kalau udah beres, jangan lupa main-main lagi ke rumah." Rumi masih menengadah dari tempat duduknya. Sementara Attala tampak meremas tangannya sendiri. Bukan marah, melainkan merasa sudah tak diinginkan.
"Siap Tante. Terimakasih Tante dan Atta sudah meluangkan waktunya ke sini, mari kita makan malam bersama."
Attala tahu, kata 'siap' yang keluar dari bibir penuh milih cowok itu hanya basa-basi semata. Mendadak Attala tidak berselera makan. Sebenarnya ia heran dengan dirinya sendiri yang samakin hari semakin labil. Emosinya tidak terkendali dan cenderung selalu bersedih dan menangis, jika saja tidak ditahan.
Mulanya suasana rumah yang hangat dan ramai tampak baik-baik saja. Hingga akhirnya salah satu paman dari Elang melemparkan pertanyaan, "Lang, udah lulus sekolah aja nih, gimana pacar udah punya?" Entah mengapa pertanyaan itu seperti denting-denting gelas di tangan mereka yang melukai hati Attala.
Sejenak Elang membisu dan sedikit melirik ke arah Attala yang terlihat jelas sejak tadi curi-curi pandang ke arahnya meski kini membuang wajah. "Belum, ya, belum, Om." Dia menjawab dengan nada yang terasa masih menggelayut di tenggorokan. Membuatnya segera meneguk air putih.
"Hey, Attala," panggil paman itu membuat gadis yang ditegurnya belagak bingung. "Kamu semakin hari terlihat semakin cantik, apalagi dengan outer jaring itu. Kamu dan Elang sudah lama berteman 'kan? kenapa nggak jadian aja?" pujinya dilanjut pertanyaan yang membuat mereka berdua sama-sama tersedak. "Nah 'kan kalian kompak!"
Attala malu-malu melirik ke arah Elang dan mencari jawaban yang tersembunyi di balik sorot mata tajamnya, apakah dirinya masih menjadi mangsanya?
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Too Late
Novela JuvenilJangankan udara, suatu saat nanti namaku akan berhenti hilir mudik ke ruang dadamu. Belom direvisi.