Part 10

130 12 0
                                    


"Hah, gue?" tanya Elang menunjuk dirinya sendiri. Tentu saja hal itu membuat Attala gencar mengarang alasan sebelum mereka semua curiga akan sesuatu hal yang lebih gawat darurat.

"Iya!" sahut cewek tomboy itu cepat, "gara-gara lo punya temen curut kek gitu, kerjaannya bikin pusing pala gue aja!" Sambil melirik kedua cowok itu secara bergantian. Attala juga menendang kaki Jack di bawah meja agar dia berhenti berceloteh.

Elang ingin bertanya lebih lanjut soal alasan Attala yang terkesan tidak wajar. Lagi pula semua orang juga tau kalau pertemannya dengan Jack adalah sebuah kesialan. Kesialan yang menimbulkan banyak warna dan tawa di hidupnya. Tapi sayang sekali, bel masuk sudah berbunyi. Mereka pun bubar jalan.

Marin masih duduk di kelas 10. Attala, Sasa dan Ranya di kelas 11. Sementara Elang dan Jack kelas 12. Kejomplangan itu tentu saja membuat Marin dan ketiga cewek kakak kelasnya itu merasa resah karena sebentar lagi akan kehilangan Elang di sekolah.

"Eh ada Atta masih di sini, bareng yuk?" sapa Kiki yang baru saja selesai bayar ke kantin. Attala sebenarnya tidak sudi tapi kesempatan ini sia-sia jika tidak digunakan untuk ngomporin Elang.

"Ngapain lo bareng si kuya, Ta?" tegur Elang.

Attala melipat tangannya angkuh. "Suka-suka gue lah! Toh kita sekelas."

"Gitu ye, Lo, Ta! Sono-sono, gue seneng sekarang lo gak keliatan jomblo-jomblo amat!" Elang tertawa sambil menoyor bahu Attala. Cewek itu telah salah sangka, dikiranya Elang akan cemburu tetapi malah gembira. Sebegitu kasihannya ya Attala di mata Elang?

"Ish, biasa aja kali!" tepis Attala dengan mata berkilat. Lantas dia merangkul Kiki dan juga Ranya dan Sasa untuk ke kelas bareng.

Di sepanjang perjalanan, Kiki mendapat sorakan dan decakan iri dari anak-anak karena cowok seculun dan serapuh dia bisa-bisanya digandeng cewek-cewek cantik.

"Oh iya, Ta, Lo udah nemu si Ferguso belum?" tanya Sasa. Attala yang sedang marah semakin merasa berduka mengingat Ferguso yang sudah hilang selama dua minggu. Terakhir dia berada di pohon mahoni halaman rumahnya.

"Oh iya, dia sekarang pasti udah gede ya? Terakhir gue pergi, dia masih segede tokek, kan?" Ranya ikut bertanya. Entah kenapa Sasa tertawa mendengar kata 'tokek'.

"Kenapa Sa? Mantan lo tokek juga?" tanya Ranya cekikikan. Kepalanya langsung dapat toyoran dari Sasa.

"Diem-diem sok manis, kecut juga ya mulut lo!" celetuk Sasa.

"Gue harus nyari ke mana lagi, Sa?" teriak Attala mendaratkan tangannya di bahu Sasa dan mengguncangnya. Tentu saja tubuhnya yang kurus itu seolah bergoyang.

"Ya mana gue tau, biasa aja kali!" Sasa menepis cengkraman Attala di bahunya.

"Emang selama ini nyari ke mana aja, Ta?" tanya Ranya.

"Udah gue panjatin semua po'on, semua tempat, tetangga, sampe tukang cimol langganan gue tanyain juga tapi katanya gak ngurusin makhluk kek gitu!"

Sasa dan Ranya serempak tertawa mendengar kalimat terakhir sahabatnya. Attala segera menoyor mereka berdua dan kabur menuju kelas.

"Atta! Kok Kiki ditinggal sih? Lagian Kiki belum nanya, Ferguso itu siapanya Atta?" teriak Kiki sambil membenahi letak kacamatanya. Gemas, Sasa langsung menyeret cowok itu untuk menyusul Attala.

"Sa, Ferguso itu siapa?" tanya Kiki.

"Ntar lo juga tau!" Sasa sibuk mengeluarkan buku dan alat tulisnya dari tas selendang. "Jawab tuh, Ta!"

"Ferguso itu kesayangan gue!" tegas Attala.

Kiki bersedih di bangkunya tapi tak sendirian lagi, untung Ranya mau duduk satu bangku dengannya.

"Kiki ... Kiki ... udah tau lo bukan seleranya si Atta, ngapain masih ngejar dia? Kek gak ada cewek lain yang lebih tulen aja!" seloroh Sarmia tiba-tiba, baru masuk kelas. Disertai Sarnia di sampingnya. Mereka tersenyum melecehkan.

Attala yang mendengar itu jelas menggebrak bangku, bangkit dari duduk dan menghampiri murid kembar itu. Sarmia dan Sarnia dibuat kaget sekaligus ngeri. "Apa maksud lo ngomong gitu? Percuma cewek tulen kalo kerjaannya ngegibah kek elo, Sarmi!"

"Panggilan gue itu Mia!"

"Sarmi!"

"Mia!"

"Suka-suka gue lah!"

"Heh jaga ya mulut lo!" Sarnia membela kembarannya.

"Apa lu juga Sarni?" gertak Attala.

"Oy, Bu Dewi!" teriak Dion. Lantas semuanya kembali ke tempat masing-masing. Hening. Ternyata tidak ada guru. Itu hanya tak-tik Dion untuk mendamaikan suasana. Lagi pula siapa yang mau urusan sama ketiga cewek itu?

"Yon, lo ngibul?" tanya Sarmia.

"Enggak, gue lebih suka ngeliat lo bedakan, ketimbang jambak-jambakan." Dion mengeles enteng.

Sarmia langsung tersenyum. "Iya ya biar rambut gue gak acak-acakan."

Attala dan Sasa saling melirik, kemudian belagak muntah.

***

Attala baru saja turun dari jeep kesayangan Elang, sebelum akhirnya dibuat kaget oleh pemandangan di teras rumahnya. Papanya sedang diperebutkan oleh istri tua dan istri mudanya. Sontak peristiwa itu menjadi drama dadakan di mata teman-temannya. Pikiran Attala kacau, lantas dia berlari menghampiri mereka.

Tio tampak menangis di bawah pohon mahoni tanpa ada yang memedulikan. Sementara itu, Attala segera menengahi mereka tanpa peduli sekarang menjadi bulan-bulanan istri muda papanya. "Cukup! Attala capek! Kalian semua jahat!" teriak Attala membuat mereka diam menegang.

"Omaygad, mereka lagi apa?" tanya Sasa jantungan sendiri.

"Lo jangan banyak tanya, Sa. Gue aja bingung dan kaget! Mahmud sama anak kecil itu siapa? Anggota keluarganya?" sambar Elang.

"Setau gue itu bukan keluarganya deh." Ranya menyahut.

Mereka berempat kembali memperhatikan drama keluarga itu. Penasaran apa yang mereka permasalahkan dan apa yang akan dilakukan atau dibicarakan Attala selanjutnya.

"Kalau mau berantem tuh di dalam! Jangan di luar kayak gini! Malu tuh Attala! Orang-orang jadi tau kalau papa punya istri dua! Seneng kan? Pasti bangga!" gerutu Attala dengan mata berkaca-kaca menatap tajam papanya.

Keempat temannya di dalam mobil tampak terkejut mendengar penuturan Attala. Suara mereka cukup lantang. Beberapa tetangga dan pejalan kaki yang penasaran tampak memperhatikan dari jauh dan berbisik-bisik.

"Tuh mama lo yang kurang ajar beraninya ngusir gue!" Lena, istri muda papanya itu dengan tidak sopan menunjuk-nunjuk mamanya Attala. Attala segera menghadangnya sebelum cengkraman itu menjambak lagi rambut mamanya.

"Jelas pelakor kayak lo gak diterima di rumah ini! Rumah-rumah gue ya terserah kita lah mau ngusir siapa pun terutama elo! Bukannya elo gak sudi nginjak rumah ini? Terus kenapa ke sini lagi? Mau nunjukkin kalo lo itu munafik, iya?!"

Plak!

Lena menampar pipi Attala. Gadis tomboy itu mematung sambil mengusap pipinya yang merah padam. Sang papa bergegas menepis tangan istri mudanya. "Cukup, Len! Dari tadi kamu kekerasan terus sama istri dan anak pertama aku!"

"Suruh siapa kamu pulang ke sini terus?" Lena balas menantang suaminya. "Ceraikan dia, Pa!" teriaknya lantang.

"Dasar gak tau diri! Yang ada di sini tuh papa menceraikan benalu kayak lo!" hardik Attala menunjuk-nunjuk wajah Lena dengan beraninya. Tinggi badan mereka yang sama membuat pertarungan jadi seimbang.

"Tanya aja tuh papa lo, pilih gue atau dia?"

Bersambung ...

Never Too LateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang