Sekolah yang ramai. Kantin yang berdesakkan. Kendaraan yang berderet-deret di lokasi parkiran. Tampaknya sudah seperti masa yang terjeda. Attala berjalan di antaranya. Ekor matanya semakin jarang melihat keberadaan Elang. Sesekali rambutnya terlihat hanya karena terlanjur tenggelam di keramaian kemudian berbelok dan hilang di balik apapun.
Sepasang kaki berbalut sepatu menghentak-hentak keras, tidak peduli jika nanti bisa saja paping blok itu tercuat ke atas. Pandangan Attala menjalar ke atas, seorang cewek yang mengapit totebag di ketiaknya. Dua rambut kuncirnya menari di pundaknya. Seolah telah kepergian ayahnya, eh bukan.
Ada Sarmia yang baru saja melambaikan tangan ke arah kembarannya yang berada di boncengan Jack. Apalagi ketika tangan itu mengelus lengan yang telah memeluknya dari belakang. Sarmia menoleh dan pura-pura kaget melihat cewek manja yang berantakkan di belakangnya. Kemudian berlalu seolah tidak penting.
"Jeki kok jahat banget sih sama Sasa? Mana itu kembar goib gerayangan mulu." Sasa akhirnya terjongkok dengan wajah cemberut.
Attala biasanya akan menegur sahabatnya itu dengan hentakkan keras sampai orang yang bersangkutan merasa seperti korban kriminal. Namun sekarang situasinya berbeda, keduanya sama-sama sebagai gadis yang dicampakkan.
"Lo terlalu cotton candy buat si Jeki yang permen jahe mprit, Sa."
Sasa mendongak ke samping begitu mendengar suara yang sangat dikenalinya itu. Sasa juga peka ada yang menggelayuti wajah murung itu. Di dalam pikirannya, Ia bertanya-tanya mengenai hubungannya dengan Elang.
"Atta?" lirihnya. Sahabatnya yang tomboy itu membantu menarik tangannya untuk bangkit. Sambil mengucek matanya yang sedikit berair, Sasa malah lanjut menangis. "Sasa salah apa sama Jeki, Ta? Emang Sasa manja, tapi harusnya Jeki gak buka-bukaan nunjukin gitu ke Sasa. Kembar goib juga, kenapa sih mereka tuh sirik sama kita?"
"Kalau orang benci sama kita, itu gak selamanya karena sirik, bisa jadi kita emang nyebelin buat mereka. Tapi, ya kayaknya mereka emang sirik deh sama kita gegara deket sama cowok-cowok populer itu. Hmm, gak populer amat sih, badung iya!"
Sasa kembali tertawa mendengar argumen sahabatnya yang terdengar begitu plinplan. Kemudian cewek itu mengapit lehernya menggunakan tangan dan menyeretnya segera pulang.
"Seharian ini, lo liat Elang gak?" tanya Attala di perjalanan.
"Sempet, dia nyapa gue pas mau belok ke perpus."
"Oh sekarang dia mainnya di perpus."
"Kalian masih baikan kan?"
"Gak tau. Udah lama jarang ketemu dia. Cari di perpus kali ya."
"Eh jangan."
"Kenapa?" Attala berhenti sejenak.
"Kayaknya dia sengaja jaga jarak sama lu biar fokus ujian. Tau sendiri kan gimana rumitnya kalian."
"Oh." Attala berjalan lebih dulu.
Sasa masih terdiam di tempatnya sambil memerhatikan punggung tegap itu dengan rasa bersalah.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Too Late
Teen FictionJangankan udara, suatu saat nanti namaku akan berhenti hilir mudik ke ruang dadamu. Belom direvisi.